Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Terbongkar
Setelah berhasil menguatkan diri, Ivy kembali ke rumah kontrakannya yang sempit. Hari itu, dokter menyarankannya untuk pulang sejenak. Dia membuka pintu dan kaget melihat rumah itu kosong. Barang-barangnya dipindahkan. Hanya ada amplop di atas meja.
Tolong ikut saya sebentar. Noah.
Ivy meremas surat itu, geram. “Noah memang penguntit yang handal! Dia pikir dia bisa main seenaknya lagi?”
Namun, rasa penasaran lebih kuat. Sore itu, sebuah mobil hitam berhenti di gang kecil. Ivy mendapati Noah berdiri di depan pagar rumah mungil dengan taman kecil dan pohon mangga tua.
“Apa maksudmu memindahkan barang-barangku?” Ivy menatap tajam.
“Aku beli rumah ini karena sepertinya kamu lebih suka tinggal di Malang daripada Surabaya. Tapi, kalau dipikir-pikir, memang suasana dan kualitas udaranya jauh lebih baik daripada Surabaya. Jadi, aku memutuskan untuk pindah ke sini saja,” jawab Noah tenang.
Ivy tertegun. “Kamu pikir bisa menebus semua salahmu dengan rumah ini?”
“Bukan untuk menebus. Hanya agar kamu bisa tidur lebih nyaman. Itu saja.”
“Kenapa kamu selalu bertingkah seperti orang baik, tapi menyakitiku dalam diam?” suara Ivy pecah.
Noah diam. Dia ingin menjawab hal itu dilakukan karena mencintai Ivy dengan caranya, tanpa harus diketahui oleh Ivy. Namun, lelaki itu tak mengucapkannya.
***
Pada akhirnya Ivy pindah karena terpaksa. Rumah itu terlalu nyaman untuk ditolak dan terlalu strategis. Dia bisa menjenguk ibunya kapan pun. Akan tetapi, setiap malam dia duduk di teras, menatap langit, bertanya-tanya siapa sosok “malaikat anonim” itu.
Noah tinggal di kamar terpisah. Mereka jarang bicara. Hanya bertemu di dapur, ruang tengah, atau lorong. Ivy menjaga jarak. Noah juga.
Suatu malam, Ivy melihat punggung Noah sedang memasak nasi goreng. Aroma harum menelusup ke ruang tengah.
“Kamu masak banyak,” gumam Ivy.
“Buat kamu juga,” jawab Noah tanpa menoleh.
Noah menyodorkan piring dan berkata, “Makanlah. Kamu kelihatan lelah. Aku akan balik ke Surabaya hari ini.”
"Hm, hati-hati di jalan." Ivy menyuapkan sendok ke dalam mulut dan mulai mengunyahnya perlahan.
Mereka akhirnya makan dalam diam. Tak ada pembicaraan penting. Hanya tenggelam dalam pikiran dan kegelisahan masing-masing.
Setelah Noah berangkat, Ivy bergegas untuk bersiap pergi ke rumah sakit. Ketika hendak melangkah keluar dari rumah, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Ivy mengerutkan dahi, mendadak perasaannya menjadi tidak karuan.
Pihak rumah sakit menghubunginya di jam yang tak biasa. Dia menelan ludah kasar sebelum akhirnya menggeser tombol hijau. Perlahan Ivy menempelkan benda pipih tersebut ke telinga dan mendengarkan suara di ujung sana dengan saksama.
"A-apa? Aku akan segera ke sana!" Ivy mengakhiri sambungan telepon, dan berlari cepat menuju motor yang sedang dipanaskan.
Ivy melajukan sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Membelah jalanan Malang yang sedikit lebih padat karena jam berangkat kerja. Setelah sampai di rumah sakit dan memarkirkan motor, Ivy setengah berlari menuju ruang ICU.
Tangannya sedikit gemetar ketika hendak memutar tias pintu. Suara derit pintu terbuka memecah keheningan ruangan tersebut. Langkah Ivy begitu pelan ketika mendekati brangkar tempat sang ibu terbaring.
"Bu ...." Suara Ivy terdengar lemah, hampir tak terdengar.
Ibu Ivy sadar. Tak bisa bicara, tetapi bisa membuka mata dan menggenggam tangan Ivy. Ivy menangis di sisi ranjang.
"Ibu akhirnya bangun. Maafin Ivy karena nggak bisa selalu nemenin Ibu! Ivy janji mulai sekarang akan ada di samping Ibu terus!" tangis Ivy semakin pecah.
Sementara itu, secara diam-diam sepasang mata tengah mengamati Ivy dan ibunya di balik kaca jendela ruang ICU. Noah tersenyum dengan hati lega. Dia bisa bertemu dengan ibu mertua dan berkomunikasi satu arah sebelum Ivy datang.
Meski tidak merespons, Noah yakin kalau sang mertua mendengarnya. Lelaki itu akhirnya melangkah pergi meninggalkan Ivy dan benar-benar kembali ke Surabaya untuk urusan bisnis.
Sisa uang jaminan perawatan tinggal satu bulan lagi selesai, hal itu juga sebagai pengingat bahwa sebentar lagi masa kontrak nikahnya dengan Noah juga akan berakhir. Ivy merasa akhir-akhir ini kehidupannya menjadi lebih mudah dan damai. Terlebih sikap Noah kepadanya jauh lebih baik bahkan tidak pernah ada tuntutan dan tekanan.
"Seperti bukan Noah," gumam Ivy kemudoan bangkit dari atas kursi.
Perempuan tersebut mulai melangkah menuju bagoan administrasi untuk kembali memperpanjang uang jaminan biaya perawatan sang ibu. Akan tetapi, lagi-lagi dia dikejutkan oleh satu hal. Biaya sudah kembali dibayar hongga tiga bulan ke depan, tepat ketika masa kontrak pernikahannya dengan Noah berakhir.
"Sebenarnya siapa yang melakukan ini?" Ivy terus merenung ketika menapaki lorong rumah sakit.
Perempuan tersebut memilih untuk pulang ke rumah. Saat masuk ke rumah, dia mendapati pintu kamar Noah terbuka. Dia mengerutkan dahi karena mengingat sang suami belum pulang lagi sejak sang ibu sadar dari koma.
"Noah? Kamu pulang?" panggil Ivy sambil berjalan ke arah kamar Noah.
Ruangan tersebut terlihat gelap. Ivy menyentuh permukaan dinding untuk mencari-cari saklar dan menghidupkan lampu. Tatapannya tertuju pada laci nakas yang tidak tertutup secara sempurna.
Ivy kembali melangkah perlahan mendekati benda itu. Di dalamnya terdapat tumpukan buku. Perempuan tersebut kembali mengernyitkan dahi ketika melihat ada beberapa amplop yang terselip di antara buku-buku tersebut.
Ivy perlahan membuka salah satu amplop. Dia membaca kepala suratnya dan langsung terbelalak. Setelah itu perempuan tersebut kembali membuka amplop-amplop yang lain, isinya sama.
"Noah harus menjelaskan semuanya!"