Syahila dinyatakan koma semenjak kecelakaan yang menimpanya.
Sementara Athar, suami Syahila dipaksa menikah lagi oleh ibunya dengan seorang wanita pilihan sang ibu.
Berbagai cara dilakukan oleh Hilda, mamanya Athar, agar sang putra kembali memiliki istri yang bisa merawat dan melayani putranya.
Thifa, wanita berusia dua puluh tahun yang dijodohkan dengan Athar adalah seorang pengajar di sebuah pesantren. Karena baktinya pada orang tua, ia pun menerima pinangan Hilda. Tanpa mengetahui kenyataan bahwa istri pertama Athar masih hidup.
Di tengah perjalanan pernikahan Athar dan Thifa, Syahila siuman dari komanya.
Bagaimana dengan kelanjutan kisah mereka?
Siapakah yang akan dipilih Athar untuk tetap menjadi istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inka Aruna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 15
🌹🌹🌹
Athar tak bisa tidur nyenyak, ia memilih untuk tetap tinggal dan menemani istri pertamanya. Kini ia hanya bisa duduk merenung di ruang makan. Secangkir kopi hitam menemaninya sejak satu jam yang lalu.
Waktu sudah menunjuk ke angka dua dini hari. Rasa dingin menjalar di tubuhnya. Ia ingin kembali ke istri kedua. Namun, ia tak tega jika harus meninggalkan istri pertamanya sendiri di tengah keterpurukannya.
Athar ingin sekali meminta pendapat tentang masalahanya itu. Tapi, tak ada satu pun orang yang bisa ia mintai saran. Seandainya saja sang ayah masih hidup, seandainya saja ia mau menuruti perkataan ayahnya.
Ia merasa ini adalah hukuman untuknya. Tak ada kebahagiaan yang bisa ia raih setelah menikah dengan Syahila. Kenikmatan sesaat, membawa hatinya tersiksa seperti saat ini.
"Argh!" erangnya seraya meremas rambutnya.
Matanya memerah, tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi esok jika ia bertemu dengan Thifa dan keluarganya. Keputusan penuh di tangannya. Ia nggak boleh gegabah.
Athar menyesap kopi terakhirnya sebelum kembali ke pembaringan. Menyusul sang istri yang sudah terlelap sejak tadi karena lelah.
🌹🌹🌹
Esoknya, di kediaman rumah Athar. Hilda sudah siap dengan sebuah berkas di tangan. Ia akan menemui Syahila untuk menandatangani sebuah perjanjian. Di mana berisi agar dirinya meninggalkan sang putra.
Pernikahan mereka memang tidak tercatat secara hukum. Jadi sebenarnya Hilda bisa saja tak perlu susah-susah membuat kesepakatan itu. Kata cerai dari mulut anaknya, sudah dapat memisahkan mereka. Tapi, ia yakin kalau Athar tak mungkin tega melakukannya. Sementara ia tak ingin menunggu lama.
🌹🌹🌹
Pagi ini di kediaman keluarga Thifa. Ia yang tidur bersama adik perempuannya. Kini tengah duduk menatap ke arah cermin. Adiknya berjalan mendekat.
"Mbak, aku boleh tanya?" tanyanya sangat hati-hati.
"Tanya apa?"
"Perasaan Mbak sama Ustadz Fikri?" Pertanyaan sang adik membuatnya menoleh. Lalu ia menghela napas pelan dan menggeleng.
"Mbak nggak punya perasaan apa-apa," jawab Thifa.
"Tapi Mbak kan pernah suka sama dia."
Sang adik yang usianya hanya berjarak dua tahun itu masih penasaran. Karena, ia tahu dulu kakaknya itu sering bercerita tentang ustadz yang dimaksud. Betapa Thifa menjadi pengagum rahasia sang ustadz. Saat ustadz masih mengajarnya ia sering mencari perhatian. Sampai ia lulus pun dan ikut mengajar. Namun, semenjak ia dijodohkan dengan Athar, Thifa berubah.
"Mbak, bisa secepat itu mencintai Mas Athar? Sampai Mbak rela jadi istri kedua." Deeva, sang adik pun penasaran.
"Ini bukan masalah cinta, tapi rasa. Datangnya dari sini." Thifa menunjuk ke dadanya.
"Mbak benar-benar mencintai Mas Athar?"
"Dulu, Mbak memang pernah kagum dengan Ustadz Fikri. Tapi beliau cuek. Seolah Mbak nggak pernah ada. Mbak tahu, Mbak bukan wanita sempurna, masak aja nggak bisa. Setiap hafalan selalu ngumpet atau nebeng sama teman yang lain. Mungkin Ustadz Fikri malu kalau Mbak suka sama dia. Sementara Mas Athar, meskipun dia jutek dan kadang kata-katanya bikin Mbak sakit hati. Tapi, dia peduli, dia juga perhatian." Thifa tersenyum membayangkan hari-harinya yang lalu bersama sang suami.
Deeva menunduk, ia sebenarnya juga menaruh hati pada Ustadz Fikri. Tapi, sang ustadz selalu bertanya kabar kakaknya. Pernyataan kakaknya barusan membuat hatinya lega. Paling tidak sang ustadz tak akan mengharapkan kakaknya lagi.
"Jujur, nggak ada yang mau jadi yang kedua. Termasuk Mbak. Seandainya Mbak tahu lebih dulu kalau hanya akan menjadi yang kedua, Mbak akan menolak," sambung Thifa lagi.
"Lalu sekarang? Mbak sudah tahu semua, gimana hubungan Mbak sama Mas Athar?"
"Mbak nggak bisa memutuskan. Biar nanti Mas Athar yang memilih. Mbak yakin pilihan dia adalah yang terbaik."
"Kalau dia lebih memilih istri pertamanya, Mbak siap?"
"Ya, meski hati Mbak sakit. Tapi, mungkin Mbak Syahila lebih sakit lagi."
Thifa menunduk, tanpa terasa air matanya jatuh. Ia menyeka dengan kedua telapak tangan. Sang adil mengusap bahu kakaknya.
"Aku nggak nyangka, semua akan terjadi sama Mbak. Padahal Mbak orang baik. Kenapa sih, Abi sama Ummi bisa kenal sama mereka?"
"Sudah, mungkin ini sudah jalannya Mbak harus seperti ini. Jodoh, takdir dan rezeki sudah afa yang mengatur." Thifa berusaha tegar.
Mereka berdua saling berpelukan erat, menguatkan satu sama lain. Pelukan itu terlepas saat Deeva melihat sosok umminya berdiri di tengah pintu kamar.
"Ada apa, Ummi?" tanya Deeva.
"Thifa, suamimu ada di luar."
Thifa terkejut, ia tak menyangka secepat itu sang suami akan menjemputnya. Ia mengusap wajahnya yang basah dengan handuk. Lalu memoles bedak ke wajah agar tak terlihat pucat karena habis menangis semalaman.
Ia lalu menggenggam erat tangan adiknya dan tersenyum. Sang adik mengangguk membalas senyuman kakaknya. Ia bahagia melihat kakak perempuan satu-satunya itu juga bahagia.
Thifa segera keluar kamar menemui sang suami. Di sana sudah ada Abi juga Ummi. Sepertinya sejak tadi suaminya sudah berada di situ. Karena ia melihat gelas yang berisi teh, airnya sudah hampir habis.
Saat Thifa tiba di ruang tamu, Abi dan Ummi bangkit dari duduk.
"Selesaikan masalah kalian secepatnya!" ujar Abi sebelum melangkah keluar meninggalkan mereka berdua.
Sementara umminya pun ikut keluar. Tak ingin ikut campur dengan urusan anak-anaknya. Mereka tahu kalau Athar dan Thifa sudah dewasa. Paling tidak tadi abinya sudah memberikan pencerahan.
Athar bangkit dari duduk, ia berdiri dan merentangakn kedua tangannya. Thifa tersenyum dan menghampiri. Dengan serta merta Athar memeluk erat istrinya itu.
Thifa membalas pelukan itu, ia sandarkan kepalanya di bahu sang suami. Mereka memejamkan mata melepas kerinduan.
(Elah baru semalem, Thar, Fa. Lebay lu pada).
Athar mencium pucuk kepala sang istri. "A-aku," ucapnya gugup.
"Mas bilang apa?" tanya Thifa tak percaya kalau suaminya baru saja menyebut kata 'aku' bukan 'gue' seperti biasanya.
Athar merenggangkan pelukannya. Mengajak Thifa keluar rumah sejenak. Dan mereka berdiri di teras. Menatap bangunan tiga lantai di depannya. Di sana tempat para santri menuntut ilmu.
"Kamu dulu sekolah di sana?" tanya Athar menunjuk bangunan itu.
Thifa tersenyum, akhirnya sang suami bisa memanggilnya dengan tidak menyebut kata 'loe' tapi 'kamu'.
"Iya, Mas."
"Kalau aku jadi murid, masih pantas?"
Thifa tersenyum kecil. "Nggak ada kata terlambat untuk belajar, Mas."
"Tapi, aku maunya kamu yang jadi gurunya." Athar memandang ke arah sang istri yang kini wajahnya merona merah.
"Mas datang ke sini mau jemput aku?" tanya Thifa mengalihkan pembicaraan.
Athar menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Sebenarnya ia tak ingin membahas itu. Karena bisa jadi akan membuat Thifa kecewa.
Ia mendekati sang istri, meraih tangannya dan mengecupnya.
"Mas sayang kan sama aku? Mas Cinta kan sama aku? Mas nggak pernah kaya gini sama aku. Aku sayang sama kamu, Mas." Thifa berusaha untuk menyatakan perasaannya.
Athar menunduk, ujung matanya pun telah basah. Ia tahan agar air mata itu tak tumpah.
"Mas nangis? Masa jagoan nangis, istri Mas kan dua. Berarti Mas jago. Mas jangan nangis." Thifa berusaha memahami perasaan sang suami. Meski ia tak tahu apa yang sebenarnya ingin disampaikan. Ia hanya berharap, saat itu suaminya mengajaknya kembali pulang.
"Maafkan aku, Thifa," ucap Athar lirih.
"Aku sudah maafin kamu, Mas. Aku tahu kamu nggak mungkin bisa memilih. Aku rela, Mas. Kalau Mbak Syahila jadi kakak maduku."
"Bukan itu."
"Lalu?"
Athar memejamkan matanya, hingga air di pelupuk matanya menetes. Ia menangis di hadapan sang istri kedua.
"Aku … aku … aku ingin memberikanmu talak satu, Thifa." Berat Athar harua mengatakan itu.
Genggaman tangannya merenggang, dan lepas.
Thifa terdiam, dadanya terasa sakit. Namun, bukankah ini yang ia harapkan saat itu. Agar Athar melepasnya. Lalu kenapa ia harus sedih? Kenapa harus sakit hati.
Ia tahu, ia cukup paham. Kalau suaminya memang tak pernah menyukainya, apalagi mencintainya. Ya itu sudah takdir, dan kini talak satu sudah diucapkan sang suami.
Athar pun tak bisa menatap wajah istrinya, ia bahkan tak berani mengungkapkan perasaannya sendiri. Kalau ia mulai menyukai Thifa bahkan lebih.
"Maafkan aku, maafkan aku," ucap Athar lirih.
"Pergilah, Mas. Kembalilah pada Mbak Syahila. Memang ini yang seharusnya. Aku tidak berada di antara kalian. Maafkan aku juga." Thifa menahan sesak dan tangisnya.
Athar berbalik badan, berjalan perlahan meninggalkan Thifa yang masih berdiri mematung di teras rumahnya.
🌹🌹🌹
Tbc
😭😭😭
Vote dan komen ya gaes...
MASYARAKAT INDONESIA LBH MALU TRHADAP SSAMA MNUSIA, DRIPADA MALU KPD TUHAN..
MAKANYA BNYK ORTU YG SALAH LGKAH MNIKAHKN ANAK GADISNYA DLM KONDISI HAMIL HNY KRN AIB, DN CELAKANYA BNYK PENGHULU YG DIBOHONGI PIHAK ORTU KDUA MMPELAI, DN BNYK JUGA PNGHULU YG MASA BODOH, YG PTG DPT AMPLOP, PADAHAL TGGUNG JAWAB MRK SANGATLH BESAR DI HADAPN ALLAH, KLO PENGHULU YG SSUAI SYARIAT MRK AKN MNANYAKN KPD ORTU KDUA MMPELAI, APAKH MRK NIKAH MURNI, ATAU NIKAH MBA,, KLO PENGHULU YG TEGAS PEGANG SYARIAT ISLAM, MRK AKN MNOLAK MNIKAHKN PASANGAN YG BRZINAH DLU HINGGA HAMIL, SECARA DLM SYARIAT ISLAM, PELAKU ZINAH DI HUKUM RAZAM.
TTPI YG SSUNGGUHNYA MMG HARAM DINIKAHI, MSKI OLEH LAKI2 YG MNGHAMILINYA, SEANDAINYA ADA LAKI2 LUAR YG INGIN NIKAHI WANITA HAMIL TESEBUT JG TK BSA, TTP HRS NUNGGU BAYI ITU LAHIR, SETELH 40 HRI BRU BOLEH DINIKAHI