Terkejut. Itulah yang dialami oleh gadis cantik nan jelita saat mengetahui jika dia bukan lagi berada di kamarnya. Bahkan sampai saat ini dia masih ingat, jika semalam dia tidur di kamarnya. Namun apa yang terjadi? Kedua matanya membulat sempurna saat dia terbangun di ruangan lain dengan gaun pengantin yang sudah melekat pada tubuh mungilnya.
Di culik?
Atau
Mimpi?
Yang dia cemaskan adalah dia merasakan sakit saat mencubit pipinya, memberitahukan jika saat ini dia tidak sedang bermimpi. Ini nyata!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana_nanresje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15_Hanya Orang Asing
Aya sudah mulai kehabisan kesabarannya. Isi kepalanya seperti akan meledak detik itu juga. Kali ini Ramon benar-benar membuatnya marah, bahkan darahnya pun ikut mendidih saat gadis kecil itu memanggil Ramon Papi kembali " Diam ku membuat kalian diam juga? Apa aku perlu berteriak agar kalian menjelaskan semuanya?"
" Kak Zain, kak Mian? Apa kalian tidak ingin menjelaskan sesuatu padaku?" Hampir dua jam mereka terdiam di suatu ruangan dan enggan untuk membuka suara. Zain dan Mian entah kenapa kedua pria itu tiba-tiba ada di mansion Ramon saat Aya hendak meninggalkan mansion.
" Shit. Percuma aku tetap disini, toh nyatanya kalian nggak pernah menganggap aku ada!"
" Aya, tunggu!" Aya menatap tajam pada Mian saat pria itu mencekal tangannya, dengan sekali hentakan tangan itu terlepas dari lengannya " Apa lagi? Sebenarnya apa mau kalian dariku? Pertama kalian membawaku kesini lalu menikahkan ku secara paksa dan satu lagi aku menikahi pria yang sudah memiliki anak?"
" Kenapa kalian diam? Dugaanku benar bukan?" Aya menatap ketiga pria itu secara bergantian. Zain dan Mian terlihat bingung tidak memiliki hak untuk menjelaskan semuanya, sedangkan Ramon dengan tatapan dinginnya masih enggan untuk membuka suara.
" Ay,"
" Jangan mencegahku lagi!" Mian terkejut saat Aya meninggikan suaranya. Sepertinya wanita itu benar-benar dikuasai oleh emosi " aku akan segera mengurus berkas perceraian kita. Kamu hanya perlu duduk manis di kursi kebesaranmu dan datang di persidangan nanti."
" Apa yang kamu katakan?" Zain tidak percaya jika Aya akan mengambil keputusan sebesar itu " Apa kamu lupa keinginan terakhir kakak mu?"
" Masa bodoh dengan perjanjian kalian. Aku tidak ingin lagi terlibat di dalamnya. Dan lagi apa ini yang kakak ku inginkan? Melihat adiknya menderita?"
" Bukan seperti itu Ay, kamu tidak tahu kebenaranya!"
" Lalu kebenaran seperti apa yang kalian sembunyikan? Kenapa kalian tidak mau menjelaskannya padaku?" Raya kembali meninggikan suaranya, nafasnya memburu dengan mata yang memerah " Jangan menghalangiku jika kalian tidak mau memberitahuku kebenarannya."
Mian dan Zain ikut geram saat Ramon masih saja diam saat Aya ingin meninggalkan ruangan itu. Keduanya nampak kecewa namun tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak memiliki hak untuk menjelaskan kebenarannya.
" Berani kamu keluar dari mansion, maka jangan harap besok kamu bisa melihat dunia luar lagi!" Gertakan yang keluar dari mulut Ramon membuat langkah Aya terhenti. Tumitnya berputar dengan cepat membuat keduanya kembali berhadapan.
Mata hitam itu mulai berani menatap Aya, tatapannya yang dingin dan tajam tidak membuat seorang Aya gentar " mengancam ku huh?" Aya menyisir rambutnya lalu tertawa sumbang. Ekspresi wajahnya berubah seketika saat tatapan mereka kembali bertemu " Aku tidak takut dengan omong kosong mu Caramondy!"
Situasi semakin panas saat Ramon melangkahkan kakinya untuk mengikis jarak antara dia dan Aya. Zain dan Lian kedua pria itu mewanti wanti takut terjadi sesuatu karena pertengkaran mereka " mulai detik ini mari kita hidup masing-masing. Anggap saja kedekatan kita adalah mimpi buruk!"
" Kamu melupakan sesuatu!"
" Lepaskan tanganku," Aya berusaha melepaskan cekalan tangan Ramon. Pria itu mencekal lengannya dengan erat membuat dia kesulitan untuk melepaskannya.
" Biar ku ingatkan, Saya tidak akan melepaskan sesuatu yang sudah menjadi milik saya. Jadi jangan harap kamu bisa pergi dari sini!"
" Dasar bastrad!" Aya mendorong tubuh Ramon membuat pria itu mundur beberapa langkah. Aya mengusap lengannya yang terasa panas dan memerah " semua omonganmu tidak berlaku untuk ku. Kau yang membuatku mengambil keputusan ini, jadi stop untuk menghalangiku!"
" Tidak Ay, kamu tidak boleh pergi," Zain berusaha membujuk. Tapi keputusan Aya sudah bulat dan dia akan tetap pada pendiriannya.
" Berikan satu alasan kenapa aku harus tetap bertahan disini? Apa ini juga yang kak Mian inginkan? Membuat hidupku seperti boneka yang bisa kalian mainkan? Apakah begitu?" Baik Zain dan Mian mereka merasa terpukul karena gagal untuk melindungi Aya. Terutama Mian yang memang sangat dekat dengan Azka, dia benar benar merasa bersalah.
" Mon mungkin ini waktu yang tepat untuk menjelaskannya. Kau tidak bisa menutupinya lebih lama lagi," Zain berusaha untuk membujuk Ramon agar pria itu mau menceritakan kebenarannya.
" Apa yang ingin kamu ketahui?"
" Semuanya. Semua kebenaran yang kalian tutupi dariku. Termasuk Zahra dan Putri!"
" Kau ingin tau siapa Putri? Dia putriku anak kandungku. Apa kamu puas?" Nafas Aya terasa tercekik saat kata kata itu melintas di gendang telinganya. Aya terdiam beberapa saat, sarafnya seperti mati seketika.
" Kanaya," Zain segera menangkap tubuh Aya saat dia hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya. Aya menggelengkan kepalanya pelan, lalu kembali menatap Ramon.
" Dan Zahra?" Tanya Aya.
" Apa kamu tidak bisa mengartikannya sendiri? Dia ibu dari anakku!" Kenapa Ramon mengatakannya seperti tidak memiliki beban? Apakah Aya seperti barang untuknya? Seolah olah tidak masalah jika wanita itu akan terluka atas penjelasannya.
" Wah aku tidak menyangka jika Aku menjadi perusak rumah tangga orang lain. Zahra pasti sangat terluka mengetahui suaminya menikah lagi. Tunggu," ucapan Aya menggantung " Apa kau yakin hanya aku yang kau nikahi diam-diam? Apakah ada wanita lain diluar sana yang sudah kau nikahi? Berapa istri yang kau punya? Tiga? Empat? Atau selusin?"
" Jaga ucapanmu Kanaya." Rahang Ramon mengetat saat kata kata itu terlontar dari mulut Aya. Urat tangannya menonjol dengan jelas dengan tatapan mata yang semakin mengintimidasi.
" Kenapa kau marah? Apa ucapanku ini benar?"
" SUDAH KU KATAKAN JAGA UCAPANMU!" Teriakan Ramon menggema di dalam ruangan. Gadis kecil yang menyembulkan kepala di balik pintu itu ikut terkejut bahkan sampai menangis.
Ramon segera menghampiri Putri yang sepertinya hilang dari pengawasan Zahra. Gadis kecil itu menangis, terisak pilu di bahu lebarnya " Maafkan papi, kamu pasti terkejut." Ramon mengusap sayang kepala putri yang baru menginjak umur lima tahun itu. Aya hanya bisa menyaksikan kedekatan antara Ramon dan Putri sampai dunianya teralihkan saat Zahra ikut andil disana.
" Kenapa putri bisa sampai disini?"
" Aku pergi ke kamar mandi sebentar, tapi dia sudah menghilang setelah aku kembali."
" Bawa dia ke kamarnya," Zahra mengambil alih Putri yang masih terisak. Gadis kecil itu menyembunyikan wajahnya yang memerah sedikit takut saat melihat papinya setelah berteriak tadi.
" Tunggu," Aya menghentikan langkah Zahra, Wanita itu menoleh kearahnya " apa kau tidak ingin mengatakan sesuatu? Mengumpat atau memarahiku misalnya? Aku sudah merusak rumah tanggamu!"
Zahra tidak langsung menjawab, wanita itu menatap pada Ramon lalu kembali menatap pada Aya " Aku tidak memiliki hak untuk semua itu."
" Kenapa? apa kau takut pada Mondy?" Tanyanya sambil melirik pada Ramon " Katakan saja semua isi hatimu sekarang, aku akan menerimanya"
" Hei. Kenapa kau diam?" Tanya Aya kembali " Katakan sesuatu karena aku pantas mendapatkannya"
" Zahra, apa kau mendengarkan ku? Kau tidak perlu takut ada kami disini jika kau takut pada Mondy." Ucapnya membujuk.
" Dia hanya berusaha untuk menepati janjinya. Dan itu sudah membuatku senang karena dia menjadi pria yang bertanggung jawab atas ucapannya"
" Wah baik sekali hatimu Zahra!, Aya terkesima dengan penuturan Zahra yang membuat dirinya benar benar merasa bersalah " Dia memang menjadi pria sejati setelah menepati janjinya pada kakak ku, tapi di waktu yang sama dia menjadi pria brengsek karena telah menduakan mu."
" Ay cukup. Kau melebihi batasanmu,"
" Kenapa kak Mian selalu menghalangiku? Justru dia yang tid....
" Cukup Kanaya. Berapa kali saya katakan jaga ucapanmu itu!" Ramon kembali memperingatinya tapi Aya tidak takut dengannya " Zahra cepat keluar dari ruangan ini!"
" Hei. Aku belum selesai berbicara denganmu. Zahra!" Aya terlihat kesal saat Zahra pergi begitu saja dari ruangan itu. Amarah Aya kembali memuncak saat melihat tatapan Ramon yang terlihat meremehkannya.
" Kau benar-benar pria brengsek Ramon!" Ucapnya " berapa lagi istri yang kau sembunyikan dari Zahra!"
" HANYA KAMU ISTRI SAYA KANAYA. HANYA KAMU!!" Apa? Hanya Aya? Lalu bagaimana dengan Zahra? Aya melemas sarafnya kembali tak berfungsi dengan semestinya.
" Kak Zain, apa lagi sekarang?" Suaranya terdengar pelan dan nyaris tercekat. Mata Aya mulai berembun di penuhi genangan air.
Zain menopang tubuh Aya agar dia tidak tumbang. Lian terdengar mengesah panjang sebelum akhirnya dia membuka suara " Yang di katakan Ramon memang benar hanya kamu istri satu satunya Ramon."
" Bagaimana bisa? Zahra?"
Mian menoleh kearah Ramon meminta persetujuan untuk menjelaskannya dan setelah mendapatkannya, Lian kembali melanjutkan penjelasannya " Ramon melakukan kesalahan dimasa lalu. Dia... dia mengacaukan malam pertama Zahra dan Kavin!"
" APA?" Cairan itu meluncur membasahi pipinya. Mata Aya melirik pelan pada Ramon yang kini tengah membelakanginya " Tapi itu sebuah kecelakaan. Ramon dalam keadaan mabuk dan tidak menyadarinya." Ucapnya melanjutkan.
Tuhan Aya benar benar tidak menyangka jika kisah hidupnya akan seperti ini. Dia benar benar merasakan sakit di bagian dada kirinya " Jadi Zahra adalah istri Kavin?" Dengan mata yang masih berembun Aya menatap punggung kokoh itu, dia benar benar tidak menyangka jika Kavin telah memberikan petunjuk padanya. Dan sekarang apakah dia akan bertahan di sisi Ramon?
" Lihat aku," Aya meminta Ramon untuk menghadapnya dan Ramon langsung memutar tumitnya " A-aku akan berusaha menerimanya. Meskipun ini berat aku akan berusaha menerimanya." Aya menghapus air mata yang terus meluncur dari sudut matanya. Bibirnya bergetar hebat menahan isakan yang sepertinya akan lolos dari mulutnya " Tapi, Biarkan Zahra kembali pada Kavin!"
" Itu tidak mungkin, karena Kavin menolak mereka." Seru Zain.
" Aku akan membujuknya. Aku yakin bisa meyakinkannya. Aku tidak mempermasalahkan Putri, dia hanya korban dan kita tidak boleh menyalahkannya karena sudah hadir diantara kalian. Aku akan mencoba menjadi ibu yang baik untuknya tapi biarkan Zahra pergi dari mansion!"
" Kamu tidak memiliki hak untuk memutuskan semua itu!" Ucap Ramon " Jika kamu tidak bisa bertahan silahkan pergi. Zahra lebih dulu datang ke mansion ini dibandingkan denganmu!"
" Tapi dia istri sah mu Ramon. Kau tidak boleh melupakan itu," ucap Mian mengingatkan.
" Ya dia memang istriku," Jawabnya " Tapi dia hanya orang lain setelah kami tidak memiliki hubungan apa-apa!" Ketiga orang itu terkejut dengan penuturan Ramon. Jika diawal dia mempertahankan Aya kali ini dia sendiri yang menyingkirkan Aya.
" Berbeda dengan Zahra, dia adalah ibu dari anakku. Wanita yang telah melahirkan darah dagingku. Jadi kamu tahu siapa yang lebih pantas untuk tetap tinggal di mansion bukan? Kamu hanya orang luar setelah hubungan kita berakhir!" Ucap Ramon menekan kalimat terakhirnya pada Aya.
" Dasar Brengsek. Hiks!" Aya langsung melemparkan sebuah benda kecil pada Ramon. Benda itu berakhir tergeletak di lantai " Kau memang bajingan Ramon. Kau bajingan."
" Ingat ini baik-baik. Hiks. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah memberitahu calon anakku siapa Ayahnya. Hiks. Aku sangat kasihan padanya karena dia tidak dianggap olehmu. Hiks. Dan lagi aku sangat malu mengakui dirimu sebagai ayahnya. Hiks. Jangan harap kau bisa menemuinya. Camkan itu baik-baik!" Aya segera berlari meninggalkan ruangan itu. Mian dan Zain segera mengambil benda yang sempat Aya lemparkan tadi. Dan mereka terkejut setelah melihat benda apa itu.
" Aya benar. Kau benar-benar brengsek Ramon!" Mian segera berlari untuk menyusul Aya, tinggalah Zain dan Ramon diruangan itu " Ini," zain menyerahkannya " Dia sedang mengandung darah dagingmu. Tapi sayang mereka hanya orang asing di keluarga ini!"
Masih ingat tujuan Aya pergi ke kantor? Dia ingin memberikan kejutan untuk Ramon, dan benda itulah yang akan dia tunjukkan pada suaminya. Harapan dan sambutan penuh haru tergantikan dengan rasa sakit yang terlontar dari mulut Ramon sendiri. Bagi Ramon Aya hanyalah orang asing, bahkan hak dirinya sebagai istri tidak ternilai di hadapan Ramon. Aya sudah berusaha untuk bertahan, tapi Ramon sendiri yang menyingkirkannya.
Apakah hanya Aya yang sudah memiliki Rasa? Kenapa Aya sangat kesakitan saat kata 'orang asing' terlontar dari mulutnya? Sekejam itukah Ramon?