Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Kenyataan ini begitu memukul diriku. Aku hanya ingin tahu tentang ibuku, tapi tidak aku sangka jika aku menjadi tahu akan diriku yang sebenarnya. Jawaban siapa aku kini sudah terjawab. Aku memang benar anak kandung dari Pak Arga dan ibu Heni. Aku adalah pewaris dari perusahaan Hilmar.
Kebenaran ini sulit aku terima, tapi inilah diriku saat ini. Aku harus menerima diriku yang saat ini. Baik suka atau tidak suka.
Mobil berbelok masuk ke rumah Oma Melati. Pak Arga menepuk tanganku perlahan. Jika bukan dia yang memberikan bukti tentang semua ini. Mungkin aku masih belum percaya, tapi tes DNA yang sudah dilakukan oleh Pak Arga secara diam-diam membuat aku yakin.
"Ingat. Tetap lakukan apa yang mereka minta. Sampai hari di mana aku mengumumkan tentang dirimu."
"Pa, aku takut."
"Tidak perlu takut. Jika kau butuh sesuatu, telfon ke nomor ini. Dia adalah tangan kananku yang selalu membantuku."
"Terima kasih, Pa."
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di wajahku saat aku baru saja keluar dari kamar Pak Arga. Elvi terlihat tidak bersahabat saat tahu aku membawa Pak Arga pergi.
"Kau membawa Arga kemana?" tanya Elvi padaku.
"Kalian bilang, aku harus mendekat agar dia percaya padaku sepenuhnya," kataku.
Elvi berkacak pinggang. Wajah marahnya kini mulai mereda. Setidaknya aku bisa menggunakan alasan ini sampai waktunya tiba. Aku juga harus menyusun rencana agar Oma Melati tidak bisa menjerat diriku lagi. Mungkin saat ini dia masih mengira aku di pihaknya, tapi jika dia sudah tahu. Mungkin aku akan bernasib sama dengan Ibu Heni juga Ibu Rima.
"Kau tidak melenceng bukan?"
"Untuk apa. Aku bahkan sudah mendapat bayaran dari Oma Melati. Jika Pak Arga tahu tentang diriku yang sebenarnya, bukan hanya aku yang rugi. Kalian juga akan rugi."
"Jika kau berani berkhianat, aku akan membuatmu diam selamanya."
Aku mengangguk. Setelah itu Elvi meninggalkan aku sendirian berdiri di depan kamar Pak Arga. Beban yang aku kira akan berakhir, kini semakin bertambah di pundakku.
"Heera."
"Oma."
"Aku dengar kau membawa Arga keluar? Ke mana?"
"Hanya jalan-jalan Oma. Papa pernah bilang jika ingin jalan-jalan di luar."
"Terima kasih."
"Sama-sama Oma. Aku permisi dulu," kataku.
"Hati-hati di jalan."
Kalimat yang diberikan Oma Melati memang tenang, tapi dari tatapannya aku merasa sangat di tekan. Bahkan saat berjalan keluar aku masih merasa diperhatikan. Kenapa hidupku jadi seperti ini, tanpa sadar aku sudah menyesal karena penasaran dengan siapa aku.
*.*.*.*
"Nona sudah pulang?"
Eni menyambutku begitu aku masuk ke dalam rumah. Terlihat sepi, mungkin Mada dan Leona masih belum kembali.
"Mbak Eni. Tolong buatkan coklat hangat untukku."
"Baik, Nona."
Aku duduk di depan TV. Tidak menyalakannya. Hanya duduk dan melihat isi ponselku. Ternyata ada beberapa pesan yang sudah masuk dari Mada.
[ Datang ke restoran Delima. Aku menunggu. ]
[ Kau kemana saja? Orang tua Leona bertanya tentangmu. ]
[ Aku tunggu satu jam lagi. ]
Aku melihat waktu pengiriman pesan itu. Sudah hampir satu jam. Aku mau pergi juga sudah tidak sempat. Jadilah aku berinisiatif mengirim pesan pada Mada agar membawa orang tua Leona datang ke sini untuk makan malam.
[ Undang mereka makan malam. Aku akan memasak. ]
Lima menit kemudian.
[ Baiklah. Aku akan membawa mereka kembali. ]
Jika dilihat dari maps satu jam lebih sedikit mereka akan sampai. Jadi, aku meminta Eni untuk menyiapkan semua bahan. Mereka berasal dari sini, sudah lama tinggal di luar negri. Jadi, aku memilih menu masakan yang mudah dan tentunya tidak membutuhkan waktu lama.
"Coklat hangatnya jadi nggak Non?"
"Nggak usah."
Aku dan Eni sibuk melakukan semuanya di dapur. Setelah menyelesaikan ini, aku juga harus bersiap agar saat mereka datang aku sudah terlihat segar dan enak di pandang. Aku tidak mau sampai Leona berhasil merendahkan aku.
Ayam goreng mentega, cap cay, ikan bakar, tumis kangkung, dan juga sup daging. Aku sengaja membuat beberapa menu karena memang tidak tahu selera makan mereka.
Selesai sudah dengan dapur. Aku naik ke kamar untuk bersiap, mau mandi tapi jelas waktu sudah tidak sempat. Jadilah aku hanya merapikan rambut, berganti pakaian, dan sedikit membenarkan makeup tipisku.
Masih ada waktu lima menit lagi. Aku mengirim pesan pada Mada. Apa perlu aku turun menyambut atau aku hanya perlu menyambut di rumah saja.
[ Di rumah saja. ]
Aku jadi memiliki waktu yang cukup untuk melihat artikel tentang keluarga Rana. Setelah melihat profil dasar Pak Doni dan Ibu Zela aku mengangguk tenang. Setidaknya aku sedikit tahu tentang mereka.
Suara bel berbunyi. Tidak lama pintu terbuka. Aku menyambut mereka dengan senyuman dan sapaan sederhana. Pak Doni terlihat tenang dan murah senyum. Berbeda dengan Bu Zela yang terlihat hampir seperti Leona. Namun dia terlihat elegan dan punya sopan santun.
Tidak lama di belakang mereka Leona datang. Dia membawa beberapa barang. Mungkin belanjaan orang tuanya atau barang yang sengaja dia bawa.
"Selamat datang di rumah kecil kami," kataku.
"Pak Doni, Bu Zela, silahkan duduk. Aku dan istriku akan menyiapkan makan malam untuk kalian," kata Mada.
Mada terlihat begitu segan pada dua orang ini. Balas budi macam apa yang membuat Mada sampai bisa melakukannya. Padahal dengan Pak Aji, Mada tidak sehormat itu di mataku.
"Bagaimana?" tanya Mada.
"Semuanya sudah siap."
"Terima kasih."
Aku mengangguk paham. Sampai di ruang makan aku menyiapkan semuanya. Bahkan aku sendiri yang menyajikan semua menu. Sementara Eni hanya aku minta membawa kudapan kecil untuk nanti setelah makan. Mungkin, Mada dan Pak Doni akan membahas sesuatu.
"Istrimu cantik dan pintar masak," ucap Pak Doni.
"Jangan terlalu memuji, Pak."
"Benar kata suamiku. Kamu menemukan di mana wanita seperti Nona Heera?" tanya Bu Zela dengan senyuman.
"Kami bertemu tidak sengaja saat aku bekerja," kataku sopan.
"Aku bahagia Mada mendapatkan wanita yang tepat. Leona, berikan hadiahnya."
Leona terlihat kesal tapi dia mengambil apa yang Bu Zela minta. Ternyata beberapa tas belanja tadi adalah barang yang Bu Zela ingin berikan padaku.
"Bu Zela tidak perlu repot seperti ini."
"Tidak repot. Terima saja, sebagai tana terima kasih sudah menjaga anak saya di sini."
"Saya sudah menganggap Leona seperti adik saya sendiri," ucapku penuh kebohongan.
Mata Leona melotot, Mada hampir tersedak. Jika dilihat saat ini, Leona tidak bisa berkutik saat bersama orang tuanya. Mungkin dia memang penakut dan manja di depan orang tuanya. Mereka tidak tahu anak mereka yang bernama Leona ini sangat menyebalkan bagiku.
"Leona. Seharusnya kamu senang tinggal di sini," kata Pak Doni.
"Pak Doni, maaf sebelumnya. Bukan aku tidak menerima Leona. Hanya saja beberapa hari terakhir aku mendengar kabar yang tidak menyenangkan." Tentu aku mencari celah agar Leona pergi dari sini.
"Kabar apa Heera?" tanya Bu Zela.