Hidup terkadang membawa kita ke persimpangan yang penuh duka dan kesulitan yang tak terduga. Keluarga yang dulu harmonis dan penuh tawa bisa saja terhempas oleh badai kesialan dan kehancuran. Dalam novel ringan ini kisah ralfa,seorang pemuda yang mendapatkan kesempatan luar biasa untuk memperbaiki masa lalu dan menyelamatkan keluarganya dari jurang kehancuran.
Berenkarnasi ke masa lalu bukanlah perkara mudah. Dengan segudang ingatan dari kehidupan sebelumnya, Arka bertekad mengubah jalannya takdir, menghadapi berbagai tantangan, dan membuka jalan baru demi keluarga yang dicintainya. Kisah ini menyentuh hati, penuh dengan perjuangan, pengorbanan, keberanian, dan harapan yang tak pernah padam.
Mari kita mulai perjalanan yang penuh inspirasi ini – sebuah cerita tentang kesempatan kedua, keajaiban keluarga, dan kekuatan untuk bangkit dari kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Michon 95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Kembali Ke Sekolah dan Rahasia Tersembunyi
Hari ini adalah hari pertama Ralfa menjadi siswa tahun kedua di SMA. Dengan semangat yang menggebu, ia berangkat sekolah seperti biasa diantar Pak Mul dengan mobil. Setibanya di sekolah, Ralfa menaiki lantai dua gedung sekolahnya dan memasuki ruang kelas sebelas IPA tiga. Di dalamnya, ia melihat beberapa teman kelasnya dari kelas sepuluh. Menurut informasi, mereka semua sekelas lagi tahun ini, bahkan walimuridnya tetap sama.
Ralfa duduk di bangku pojok ketiga sebelah kiri, dekat jendela yang menghadap keluar kelas. Dia melihat dua bangku di samping kanannya terlihat dua buah tas milik cewek, tapi ia tidak tahu punya siapa. Satu per satu teman-temannya muncul setelah sekian lama tidak bertemu selama liburan sekolah. Mereka saling menyapa dan bertanya kabar.
Saat Ralfa sedang berpikir betapa senangnya dia kemarin bisa bertemu dengan orang yang menulis cerita yang selalu diceritakan Viona padanya di kehidupannya yang sebelumnya, dia terkejut melihat Adelia dan Cindy masuk ke kelasnya. Ralfa berpikir, "Apa mereka ada perlu denganku?"
Mereka sedang berjalan menghampirinya. "Hai kalian, ada perlu apa ke kelasku?" tanya Ralfa dengan nada senormal mungkin, meskipun perasaannya canggung melihat mereka mengingat kejadian waktu itu.
"Tidak ada perlu apa-apa," jawab Cindy.
"Terus kalian ngapain ke kelasku?"
Cindy duduk di bangku depan di sampingnya, sedangkan Adelia duduk di sampingnya. Saat itulah Ralfa menyadari sesuatu.
"Ini kelas kalian?" tanya Ralfa kaget.
Mereka berdua hanya mengangguk menyetujui.
"Ralfa, mulai sekarang kita akan jadi teman sekelas," kata Adelia malu-malu.
Terdengar beberapa dehaman dari teman-teman Ralfa yang lain. Temannya yang bernama Devina menghampiri Ralfa dan berkata, "Sepertinya ada yang senang nih, karena gebetannya sekarang satu kelas bahkan duduknya bersebelahan," dengan nada jail.
"Dev, ini baru hari pertama masuk sekolah, tolong jangan usil," jawab Ralfa.
"Maaf-maaf," Devina tertawa. "Ngomong-ngomong, Adelia, perkenalkan namaku Devina," memperkenalkan diri.
"Salam kenal," jawab Adelia.
"Dan kamu..?" tanya Devina sambil menatap Cindy.
"Aku Cindy, temannya Adelia," jawab Cindy.
"Salam kenal," jawab Devina.
Setelah mereka selesai berkenalan, Cindy berbisik, "Tenang, aku akan merahasiakan hubunganmu dengan Adelia."
Tidak lama setelah itu, wali kelas datang dan pelajaran dimulai seperti biasa. Saat dalam perjalanan pulang, Ralfa berkata pada Pak Mul, "Pak Mul, habis ini tolong ajari aku menyetir mobil setiap aku pulang sekolah!"
"Eh, kenapa tiba-tiba, Tuan Ralfa?" tanya Pak Mul penasaran sambil terus menyetir.
"Aku ingin belajar menyetir mobil, lagi pula sebentar lagi aku berumur tujuh belas tahun dan akan punya SIM."
"Baiklah, setelah Anda ganti baju, saya akan langsung mengajari Anda menyetir mobil, dengan menggunakan mobil ini."
Setelah sampai di rumah, Pak Mul mengajari Ralfa menyetir mobil. Mobilnya bertransmisi manual, dan dalam beberapa hari, Ralfa langsung bisa menyetir mobil.
Hari ini adalah hari Sabtu, dan Ralfa pergi ke sekolah seperti biasa. Meskipun sekarang sudah bisa menyetir mobil, dia masih diantar Pak Mul. Saat tiba di dalam kelas, Ralfa duduk di bangku nya dan Adelia menyapa, "Pagi Ralfa."
"Pagi Adelia," jawab Ralfa.
Tiba-tiba, Dika, salah satu temannya, berdiri di depan kelas dan kami semua ikut memandanginya. "Teman-teman, aku minta perhatiannya sebentar! Aku akan mulai diskusi kita tentang apa yang akan kita lakukan saat festival budaya."
"Oh iya, sebentar lagi festival budaya," gumam Ralfa.
"Eh, Dika yang jadi perwakilan panitia," kata seorang murid dalam kelas.
"Aku akan membuat festival budaya yang menakjubkan," kata Dika penuh semangat. "Berdasarkan daftar voting yang diterima tiap kelas, kita akan memainkan drama untuk festival sekolah. Dan drama yang akan kita mainkan adalah Romeo dan Juliet."
"Hari ini aku ingin memutuskan siapa saja pemerannya! Dan berdasarkan catatan, aku sudah punya rekomendasi orang yang pantas bermain sebagai Romeo dan Juliet."
"Dan orang itu adalah Ralfa dan Adelia," kata Dika penuh semangat sambil menunjuk kami berdua.
Aku dan Adelia sama-sama terkejut mendengar itu.
"Tunggu sebentar, hey Dika!"
"A-Aku mau bermain sebagai Juliet," kata Adelia malu-malu.
Aku menatap Adelia dan terkejut. Tapi kalau Adelia yang mau bermain sebagai Juliet, maka aku juga akan bermain sebagai Romeo, karena aku tidak yakin kalau dia yang bermain sebagai Juliet tapi Romeonya bukan aku.
"Baiklah, aku mau bermain sebagai Romeo."
Semua orang di kelas setuju.
"Kalau begitu, sepulang sekolah kita akan mulai berlatih di kelas."
"Yaa!" teriak semua orang penuh semangat.
Sepulang sekolah, mereka latihan di kelas Dan beberapa anak bertugas membuat kostum. Ralfa bertekad melakukan yang terbaik untuk perannya.
"Oh Juliet, aku hanya mencintai dirimu."
Adelia yang mendengar itu hanya tersipu dan tidak menjawab dengan dialognya.
"Adelia, seharusnya kau mengatakan 'aku juga Romeo'."
"Ah, maaf Ralfa."
Akhirnya, hari ini sudah selesai latihan. Saat Ralfa ingin pulang, dia menerima pesan dari nomor tidak dikenal yang berisi, "Ralfa, datang sekarang ke kelas dua belas IPA satu. Putri ketua OSIS."
Eh, Kak Putri dari mana dia dapat nomorku? Tapi yang lebih penting, ada apa dia memanggilku ke kelasnya?
Akhirnya, Ralfa sampai di kelas dua belas IPA satu yang berada di lantai tiga dan kelasnya berada di ujung koridor. Saat Ralfa membuka pintu, terlihat Kak Putri sedang duduk di kursi. Kak Putri yang melihat Ralfa berkata, "Ralfa, masuklah."
Ralfa masuk ke dalam dan terkejut, di sana bukan cuma ada Kak Putri, tapi juga Danny.
"Dan, ngapain kamu di sini?" tanya Ralfa penasaran.
"Aku disuruh Kak Putri ke sini," ucap Danny, dan Kak Putri mengangguk menyetujui.
Pintu kelas terbuka lagi dan menampakkan Adelia.
"Adelia, kamu juga disuruh Kak Putri ke sini?"
"Iya," jawab Adelia.
Lalu kami bertiga duduk di kursi yang mengelilingi sebuah meja yang sudah disusun Kak Putri, totalnya ada empat dan saling menghadap satu sama lain.
Ralfa berpikir, ada apa ini sebenarnya, dan kenapa Kak Putri memanggil kami bertiga ke kelasnya.
"Tampaknya semua pemain sudah berkumpul di sini, jadi ayo kita mulai pembicaraannya," kata Kak Putri.
"Ngomong-ngomong Ralfa, aku sebelumnya minta maaf karena tidak membantumu menyelesaikan masalah pencemaran nama baikmu yang disebabkan oleh Aulia dan pacarnya. Sebagai ketua OSIS, aku sungguh minta maaf."
"Eh, nggak apa-apa Kak Putri."
Kenapa dia tiba-tiba membahas itu?
"Aku sungguh nggak tega melihat adikku Adelia difitnah begitu," kata Kak Putri.
"Eh, adik?" tanya Ralfa bingung.
"Adelia belum memberitahumu, aku adalah kakak sepupunya."
"Ehhh!" kata Ralfa kaget.
Kak Putri adalah kakak sepupunya Adelia yang sekarang adalah pacarku. Di kehidupanku yang sebelumnya, Kak Putri adalah hakim yang menuntut keluargaku. Takdir macam apa ini?
"Dan ayah Aulia adalah orang yang memprovokasi dan menghasut orang-orang untuk memberontak di perusahaan keluargamu beberapa tahun lalu, benar?" kata Kak Putri.
"Benar."
"Dan baru-baru ini ada beberapa orang mata-mata yang tertangkap di perusahaan keluarganya Danny,mereka juga memprovokasi dan menghasut para karyawan untuk melakukan pemberontakan " sambung Kak Putri, dan Danny mengangguk menyetujui.
"Saat diintrogasi, mereka mengaku bahwa mereka disuruh untuk mengadu domba perusahaan keluarganya Danny dengan perusahaan keluarganya Adelia dengan memfitnah kalo orang yang menghasut para karyawan dan mencuri data perusahaan adalah mata-mata dari perusahaan keluarganya adelia, dan mereka adalah para bawahan ayah Aulia."
Ralfa yang mendengar hal itu terkejut.
"Dari nada bicara Kak Putri, sepertinya Kak Putri sudah tahu apa tujuan mereka," kata Ralfa.
"Kamu benar sekali Ralfa, aku memang sudah mempunyai kecurigaan dan yakin ancaman yang kita hadapi jauh lebih bersumber pada dunia material."
"Apa maksudnya itu?"
Kak Putri menjawab dengan suara pelan namun jelas, "Sekelompok pengacau dengan tujuan ingin menghancurkan beberapa keluarga yang sudah berteman dekat sejak sangat lama."
"Dan tidak ada yang diketahui tentang mereka," sambungnya.
"Orang-orang ini adalah musuh untuk keluarga-keluarga kita. Apa Kak Putri ingin memberitahu bahwa ada orang-orang seberbahaya ini di dunia, dan semua orang membiarkannya begitu saja?" kata Danny.
"Tentu saja tidak, mereka ada di mana-mana dan mereka adalah mata-mata. Membaur dengan masyarakat dengan kelicikannya dan tidak mencolok sedikit pun," kata Kak Putri.
"Mereka bisa berada di mana saja dan siapa saja, dan tidak ada cara untuk mengetahuinya sehingga sangat sulit menyikirkan mereka."
Lalu Kak Putri menoleh padaku dan berkata "ralfa aku yakin kamu pasti sudah bisa menduga ini ,tapi untuk formalitas aku akan..", lalu kak putri berdeham dan berkata, "Aku Putri Kazanatus Zahra secara resmi meminta bantuanmu Ralfa membentuk front persatuan untuk melawan kelompok tersebut, dan partisipasimu dalam menghentikan aktivitas mereka!"
Tunggu... apa hanya aku, atau aku sedang dalam masalah serius kali ini?
"Seperti yang sudah kujelaskan, ular ada di mana-mana. Itu sebabnya hanya kamu yang bisa aku ajak bicara sekarang."
"Hmmm, tunggu sebentar, penghasut utama semua insiden itu adalah ayah Kak Aulia, tapi anggota lainnya lah yang melakukan kerja keras," kata Adelia.
"Begitu, bukan hanya perkumpulan itu yang kita hadapi, tapi juga orang-orang yang mereka manipulasi," renung Danny.
"Tepat sekali," kata Kak Putri. "Mereka adalah orang-orang licik yang akan sangat berhati-hati dalam bertindak dan menghindari membuat situasi yang mungkin membuat mereka menjadi ular. Paling-paling, mereka akan mengirim salah satu orang yang mereka manipulasi."
"Kalau dibilang begitu, sungguh suatu keajaiban Ralfa berhasil menangkap ayah Kak Aulia," kata Adelia kagum.
"Semua itu tidak akan mungkin terjadi tanpa bantuan Ralfa. Aku senang memilihmu sebagai teman," kata Kak Putri sambil tersenyum pada Ralfa.
"Jangan sebut begitu, kita teman dan sebagai teman harus saling membantu."
Sejak kapan Kak Putri menganggapku teman?
"Jika Ralfa ikut, maka aku pasti ikut. Perusahaan keluargaku juga menjadi korban langsung dari pembuatan mereka, aku pasti akan membantu dengan senang hati," kata Danny sambil mengangguk tegas.
Tunggu... aku ikut? Kapan aku bilang ikut? Aku cukup yakin aku tidak pernah bilang setuju.
"Aku juga, perusahaan keluargaku juga menjadi sasaran mereka dan aku juga pernah jadi sasaran mereka melalui Kak Aulia. Aku lebih senang bekerja sama dan berbagi informasi dengan orang yang bisa aku percaya," kata Adelia.
Ralfa dihadapkan pada realita yang dia tidak ingin terlibat, tapi di satu sisi tidak bisa menghianati kepercayaan mereka. Dia sangat berharap kejadian itu adalah mimpi, tapi itu kenyataan.
"Baiklah, untuk sekarang kalian fokus saja pada festival budaya," kata Kak Putri, dan dengan begitu kami semua bubar.
"Oh, kuharap aku masih memiliki buku harian itu agar aku bisa menghindari semua bahaya di masa depan," gumam Ralfa sambil berjalan.
Yang membuatnya kecewa, buku hariannya masih hilang.
"Ngomong-ngomong, aku akan ke perpustakaan untuk membaca buku sejarah, siapa tahu ada hal yang relevan."
Ralfa menuju perpustakaan yang terletak di lantai satu. Tempat itu seharusnya ada penjaga dan staf perpustakaan, tapi sekarang tidak ada orang kecuali dirinya.
Ralfa menjelajahi setiap buku dari depan hingga ke belakang, tapi tetap tidak ketemu. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya buku berjudul "Tuan Ralfa Sage Agung." Rasanya aneh menatap buku yang judulnya adalah namanya, apalagi ada kata sage agung.
Ralfa tetap berusaha mencari, tapi tetap tidak menemukan buku berjudul "Tuan Ralfa Sage Agung."
Karena lelah, Ralfa duduk di kursi terdekat. Dia menatap dengan sedih ke langit-langit, berharap ada sesuatu yang bisa memandu jalannya.
"Mungkin sesuatu akan jatuh dari langit."
Tiba-tiba, kilatan cahaya keemasan menyerang matanya.
"Hyaah?"
Ralfa menjerit kaget.
"Apa yang sedang terjadi?"
Ralfa dengan cepat menjauh dari sumber cahaya. Saat cahayanya memudar, sosok samar seseorang muncul. Ralfa menggosok matanya memastikan apa yang dia lihat.
"Apa itu?"
Ralfa kembali menyadari bahwa hanya ada dia seorang diri di perpustakaan yang besar dan kosong. Itu adalah situasi yang cukup menyeramkan.
"Apa itu hantu? Nggak, nggak, jangan konyol. Hanya anak-anak yang percaya hantu."
Derai... Derai...
Ralfa membeku. Suara itu datang dari cahaya, yang tiba-tiba dia sadari semakin dekat. Itu berkedip-kedip dan meredup, memperlihatkan lebih banyak sosok manusia di dalamnya saat dia merangkak ke arahnya.
Ralfa berteriak, tapi suaranya hilang karena ketakutan. Kemudian sosok itu mengulurkan salah satu lengannya yang ramping, dan pemandangan itu membuat Ralfa tersentak dan berlari dengan kecepatan penuh melewati pintu perpustakaan dan melewati gerbang sekolah yang hampir ditutup satpam sekolah. Setelah itu, ia menuju mobilnya, masuk ke dalam mobil, dan menyuruh Pak Mul mengantarkannya pulang ke rumah.
Keesokan harinya, Ralfa tidak mengikuti saran Dika untuk berlatih bermain peran Romeo dan Juliet dengan Adelia. Ralfa malah pergi berkencan dengan Adelia seperti sebelumnya untuk menenangkan pikirannya.