Seorang wanita modern, cerdas dan mandiri, mendapati dirinya terbangun di tubuh seorang wanita dari masa lalu,seorang janda muda di Tiongkok kuno. Tanpa tahu bagaimana dan mengapa, ia harus menjalani kehidupan baru di dunia yang asing dan penuh aturan kejam, di mana seorang janda tak hanya kehilangan suami, tapi juga martabat, kebebasan, bahkan hak untuk bermimpi.
Di tengah kesendirian dan perlakuan kejam dari keluarga mendiang suami, ia tak tinggal diam. Dengan akal modern dan keberanian yang tak lazim di zaman itu, ia perlahan menentang tradisi yang mengekangnya. Tapi semakin ia menggali masa lalu wanita yang kini ia hidupi, semakin banyak rahasia gelap dan intrik yang terungkap,termasuk kebenaran tentang kematian suaminya, yang ternyata tidak sesederhana yang semua orang katakan.
Apakah ia bisa mengubah takdir yang telah digariskan untuk tubuh ini? Ataukah sejarah akan terulang kembali dengan cara yang jauh lebih berbahaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14.Kebakaran.
Zi ning yang telah mengetahui kebenaran tragis di balik kematian suaminya, tidak lagi bisa tinggal diam.
Rasa sakit dan pengkhianatan itu terpatri dalam hatinya seperti luka yang tak kunjung sembuh. Dalam kesunyian malam dan bayang-bayang kenangan, ia mulai menyusun rencana pembalasan.
Dengan langkah hati-hati, Zi ning mendekati Yue yaitu pelayan setia yang selama ini menjadi saksi bisu penderitaannya. Keduanya saling memahami tanpa banyak kata, karena mereka tahu, keadilan tak akan datang dengan sendirinya. Maka, diam-diam mereka menyusun rencana berani yaitu membakar aula leluhur keluarga Wu yang merupakan tempat yang dianggap suci, namun menyimpan terlalu banyak kebusukan dan rahasia kelam.
"Mereka yang membuat ku menghabiskan waktu untuk mendoakan mereka, sudah sepantasnya itu terbakar sebagai abu. "
"Nyonya benar. "
Bagi Zi ning, membakar tempat itu bukan sekadar aksi balas dendam, melainkan simbol pemutusan seluruh ikatan dengan masa lalu yang telah menghancurkannya.
Dalam gelapnya malam, saat bulan diselimuti awan, keduanya bergerak. Tak ada yang tahu... kecuali angin yang membawa aroma dendam dan api yang akan menjadi saksi bahwa kebenaran, walau dibungkam, selalu mencari jalan untuk menyala.
Dengan kecerdikannya yang telah berasal dari pikiran modern dengan kehati-hatian, Zi ning tahu bahwa pembalasan butuh lebih dari sekadar amarah,ia butuh rencana yang sempurna. Ia sudah mempelajari kebiasaan keluarga Wu, hanya saat tengah malam aula leluhur tidak ada yang melewati tempat itu.
Malam itu, saat keluarga Wu tengah tertidur pulas bahkan para pelayan tidak menampakkan hidungnya disana, aula leluhur tampak sunyi seperti biasanya. Tak ada yang menyadari bahwa api kecil telah disulut di bagian belakang bangunan, disembunyikan dalam dupa dan kain-kain tua yang mudah terbakar.
Yue, dengan tangan cekatannya, menaburkan minyak dan menempatkan sumbu api di sudut-sudut strategis yang akan menyulut api dalam waktu yang sudah diperhitungkan. Mereka sudah pergi jauh sebelum api mulai menjilat dinding-dinding kayu tua itu.
Saat kobaran api mulai membesar dan langit malam dipenuhi cahaya jingga yang mengerikan, keluarga Wu berhamburan keluar rumah,panik dan tercengang melihat api yang melahap simbol kehormatan mereka.
Tak ada jejak siapa pun di tempat kejadian, dan tidak ada seorang pun yang melihat atau mencurigai Zi ning ataupun Yue.
Semua yang mereka tahu hanyalah satu hal yaitu aula leluhur keluarga Wu, lambang kebanggaan dan garis darah mereka, musnah dalam semalam,dibakar oleh tangan-tangan yang tak kasat mata, namun membara oleh kebenaran yang telah lama dikubur.
Saat seluruh keluarga Wu dan para pelayan sibuk memadamkan api yang melahap aula leluhur yang menjadi tempat pusaka, catatan leluhur, dan simbol kehormatan keluarga disimpan,tak seorang pun menyadari dua bayangan yang bergerak cepat di tengah kegelapan malam.
Dengan langkah ringan dan cekatan, Zi ning menggenggam erat tangan Yue. Di balik kerudung hitamnya, mata Zi ning tak lagi menyiratkan kesedihan atau kelembutan. Yang ada hanya tekad membara dan bara dendam yang belum padam.
Di punggungnya sekarang, tergendong peti kayu kecil berukir naga dan phoenix yaitu harta seserahan pernikahannya dulu yang masih tersisa, dan selama ini disimpan di ruang tersembunyi.
“Apakah nyonya yakin ingin membawa itu?” bisik Yue lirih sambil terus memandangi bayangan api yang membara dari kejauhan.
Zi ning hanya mengangguk. “Itu bukan hanya milikku. Itu harga atas pengkhianatan mereka. Aku hanya mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku,dan juga ini biaya kita untuk hidup di luar.”
"Nyonya benar, mereka juga tidak pantas mendapatkan milik nyonya itu. "
Suara jeritan, aba-aba, dan air yang disiramkan ke kobaran api terdengar memantul di udara malam. Tapi suara-suara itu perlahan menghilang saat Zi ning dan Yue lenyap di balik hutan pinus yang memisahkan kediaman utama keluarga Wu dengan dunia luar.
Tapi sebelum pergi paviliun Zi ning di bakar dengan cara yang sama dengan yang terjadi di aula leluhur, Zi ning melakukannya untuk menghilangkan jejak mereka berdua.
Dan rencana terakhir Zi ning juga menyulut api di gudang uang mereka, semalam sudah tiga tempat yang sudah terbakar bersamaan.
Mereka tidak menoleh ke belakang. Tidak pada api. Tidak pada kenangan. Tidak pada keluarga yang telah menghancurkan hidup mereka.
Malam itu, aula leluhur musnah, paviliun Zi ning dan gudang uang mereka. Dan bersama nyalanya yang membubung tinggi, menguap pula nama baik keluarga Wu yang selama ini mereka agung-agungkan.
Dalam semalam kehidupan mereka di titik terendah untuk sekali lagi, api terus menyulut seperti cahaya terang dalam keluarga Wu.
Malam semakin larut. Kabut tipis menyelimuti jalanan berbatu yang memanjang menuju gerbang kota Qing Shi. Sisa bara api dari kebakaran aula leluhur masih tampak samar-samar di kejauhan, menggantung di udara seperti kutukan yang belum selesai.
Zi ning dan Yue berbaur di antara rombongan pedagang yang bersiap meninggalkan kota sebelum fajar. Rombongan itu terdiri dari kereta berisi kain sutra, rempah-rempah, dan peti-peti kayu yang disegel rapat. Di antara para pedagang tua berpenampilan biasa, hanya sedikit yang menyadari dua sosok wanita yang naik ke kereta paling belakang yang salah satunya mengenakan topi lebar dan penutup wajah, satunya lagi menunduk tanpa suara.
"Nyonya, bagaimana anda kenal mereka? " Tanya Yue.
"Sebenarnya saat keluar bersama tuan muda ketiga, tidak sengaja aku menolong ayahnya yang terluka. Dan saat mereka menawarkan hadiah, aku meminta untuk membawaku kabur dari kota Qing shi. Dan mereka menyanggupinya dan menyuruh ku untuk datang ke penginapan di kota Qing shi jika mau keluar dari kota ini. "
"Nyonya hebat, tapi nyonya bagaimana anda bisa ilmu pengobatan?. " Tanya Yue heran.
"Itu.., diam-diam aku perhatikan tabib keluarga kita saat mengobati prajurit yang terluka" Jawabnya yang gugup.
"Kenapa aku tidak tahu itu? . "
Gadis ini seperti wartawan saja, nanya sampai keakar-akarnya. Masa aku bilang aku belajar di Universitas pengobatan tradisional?, pikir Li hua.
Tanpa menjawab pertanyaan Yue itu, ia berusaha mengalihkan pembicaraan mereka.
“Simpan sisa perhiasan itu baik-baik,” bisik Zi ning sambil mengawasi para penjaga kota yang berjaga di gerbang timur.
Zi ning menyerahkan kantung kecil dari balik jubahnya kepada Yue. Di dalamnya tersisa hanya sebagian dari harta seserahan seperti cincin giok, dua gelang emas, dan liontin warisan. Sisanya telah ia serahkan kepada pemimpin rombongan sebagai pembayaran untuk membawa mereka keluar tanpa tanya, tanpa catatan.
“Separuhnya cukup untuk membuat mereka diam,” ujar Zi ning pelan, suaranya dingin tapi pasti. “Separuh lagi akan kita pakai untuk hidup baru di ibukota.”
Kereta mulai bergerak perlahan. Roda-roda kayu berderit di jalanan sempit, dan bau kuda bercampur dengan aroma rempah menguar di udara. Penjaga di gerbang hanya mengangkat obor dan melirik sekilas. Uang yang tepat di tangan yang tepat telah melicinkan jalan keluar mereka.
Saat kereta melewati gerbang kota Qing Shi, Yue menggenggam tangan Zi ning. “Kita benar-benar pergi…”
Zi ning menatap ke luar, ke arah jalan panjang yang terbentang menuju pegunungan di kejauhan.
“Tidak. Kita belum pergi,” katanya. “Tapi sebentar lagi,masa depan menunggu kita.”
Ucapan Zi ning membuat Yue tenang, dan mereka mengenggam erat kedua tangan mereka setelah malam panjang yang sudah mereka lalui.
tunggu saja kamu tuan muda hu akan ada yg akan membalasnya Zi Ning😡😡😡