"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Cahaya dari Ujung Derita
Angin pagi di Batupute bertiup lembut, membawa aroma asin dari pantai Lasonrai. Matahari terbit dengan malu-malu dari balik kabut, seperti malu melihat luka yang perlahan disembuhkan oleh doa dan perjuangan.
Setelah malam penuh ujian itu, kondisi Aisyah berangsur membaik. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, semangatnya menyala-nyala seperti obor yang baru disulut. Setiap ayat Al-Qur’an yang ia baca, seperti mengalirkan kekuatan baru ke dalam nadinya.
Masyarakat Batupute mulai berubah. Fitnah yang dulu menghitamkan nama Aisyah mulai sirna setelah banyak yang menyaksikan sendiri kekuatan zikir dan ayat suci mengalahkan sakit yang tak tersentuh obat. Perlahan, kepercayaan warga kembali tumbuh. Mereka mulai mendatangi Aisyah dan Khaerul untuk belajar membaca Al-Qur’an, bertanya tentang shalat, tentang zakat, tentang agama yang selama ini terasa jauh dari jangkauan mereka.
Namun jalan dakwah tak pernah sepi dari rintangan. Pak Samad, yang selama ini menjadi batu besar di tengah jalan mereka, belum berhenti. Ia merasa posisinya sebagai tokoh adat tergeser oleh kedatangan pasangan muda yang membawa cahaya baru. Harga dirinya terusik.
"Kalian pikir kalian siapa? Baru datang sudah bikin orang lupa adat!" hardiknya suatu hari di depan warga.
Khaerul berdiri tegak, menatap Pak Samad dengan penuh hormat namun tanpa gentar. "Kami tidak menghapus adat, Pak Samad. Kami hanya ingin mengajak masyarakat kembali mengenal Tuhannya, karena agama tak pernah bertentangan dengan adat yang baik."
Warga menyaksikan perdebatan itu dengan campuran rasa canggung dan penasaran. Tapi ketegasan Khaerul dan kelembutan Aisyah yang selama ini mereka lihat telah menanam benih kepercayaan yang sulit dicabut.
Suatu sore, seorang pemuda datang tergopoh-gopoh ke rumah mereka. Namanya Rauf, anak dari Pak Samad sendiri. Wajahnya pucat, matanya cemas.
"Ustadz... Bunda Aisyah... Ayah saya... sakit. Sudah berhari-hari menggigil. Tidak mau dibawa ke puskesmas. Dia minta... minta Ustadz yang datang."
Khaerul menatap Aisyah. Tanpa sepatah kata pun, mereka tahu apa yang harus dilakukan. Malam itu juga mereka datang ke rumah Pak Samad. Di sana, lelaki tua itu terbaring lemah. Matanya menatap kosong, tubuhnya menggigil, dan bibirnya komat-kamit tak jelas.
Aisyah mendekat, duduk di sampingnya dan mulai melantunkan Al-Fatihah. Khaerul mengambil air, membacakan ayat-ayat perlindungan. Perlahan, tubuh Pak Samad tenang.
Air matanya mengalir. Dengan suara lirih ia berkata, "Maafkan saya... Saya telah salah menilai kalian. Saya terlalu takut kehilangan kuasa... sampai buta melihat kebenaran."
Aisyah menggenggam tangannya. "Kami datang bukan untuk mengambil kuasa, Pak. Tapi untuk bersama-sama membangun jiwa-jiwa yang lebih kuat, lebih dekat pada Allah."
Hari itu menjadi titik balik. Pak Samad mulai membuka diri, meski belum sepenuhnya berubah. Tapi hatinya mulai retak, dan di celah-celah retakan itu, cahaya perlahan masuk.
Namun cobaan belum selesai. Kesulitan ekonomi kembali menghantam. Bantuan dari luar tak kunjung datang, dan warga yang masih baru belajar agama pun belum bisa banyak membantu secara materi.
Khaerul mulai mencari cara. Ia membuka kelas kecil mengaji berbayar seikhlasnya, mengajar anak-anak dan remaja. Aisyah mengajar ibu-ibu membuat kerajinan tangan dari limbah laut seperti kerang dan sabut kelapa. Hasilnya mereka jual di kota.
Mereka juga memulai kebun kecil di belakang rumah. Menanam cabai, tomat, dan sayuran lain untuk makan sehari-hari. Meski sederhana, mereka merasakan keberkahan.
"Rizki itu bukan hanya uang, tapi hati yang merasa cukup dan bersyukur," ucap Aisyah saat melihat panen pertama mereka.
Satu per satu warga ikut membantu. Ada yang menyumbangkan bibit, ada yang menawarkan tenaganya. Dakwah tak lagi sekadar kata-kata. Ia tumbuh dalam perbuatan, dalam kerja keras, dalam senyum yang tulus.
Di sebuah senja, Aisyah dan Khaerul duduk di pantai Lasonrai. Matahari tenggelam perlahan, meninggalkan semburat merah di langit.
"Kau tahu, Yah? Aku rasa... semua luka, semua air mata, bahkan rasa sakit itu... adalah jalan agar kita sampai ke sini."
Khaerul merangkul bahunya. "Dan semoga Allah terus menjaga langkah kita, meski jalan ini panjang dan penuh duri."
Mereka menatap laut yang luas, hati mereka tenang. Karena mereka tahu, perjuangan belum usai. Tapi mereka juga tahu, mereka tidak berjalan sendirian lagi.
Hari-hari di Batupute perlahan berubah. Meski perlahan, nuansa di desa itu mulai menghangat. Rumah-rumah yang dulu tertutup kini terbuka untuk diskusi agama. Anak-anak yang dulu menghabiskan waktu di pantai tanpa arah kini mulai memegang mushaf kecil, terbata-bata membaca huruf demi huruf.
Namun dakwah bukanlah perjalanan lurus tanpa rintangan. Malam demi malam, Aisyah masih sering terbangun karena sakit yang datang tiba-tiba, meski kini tak seberat sebelumnya. Kadang mimpinya dipenuhi wajah-wajah asing, suara-suara yang berbisik tak jelas. Tapi ia selalu bangkit dengan keyakinan bahwa tidak ada satu pun musibah tanpa hikmah.
Suatu malam, setelah mengisi pengajian untuk ibu-ibu di rumah warga, Aisyah berjalan pulang bersama Khaerul. Langit penuh bintang, tapi jalanan masih gelap. Tiba-tiba, suara tembakan batu terdengar dari semak-semak. Sebuah batu mengenai bahu Khaerul.
Mereka terkejut, menoleh, tapi tak ada siapa-siapa. Hanya jejak kaki yang lari tergesa. Khaerul memeluk Aisyah, menenangkannya. Luka kecil di bahunya tak sebanding dengan ketakutan yang mulai merayap kembali.
"Masih ada yang belum rela kita di sini," ujar Khaerul, mengusap darah yang merembes pelan.
"Kita tak akan mundur," kata Aisyah dengan suara mantap.
Keesokan harinya, mereka mengadakan halaqah terbuka di masjid yang baru dibangun swadaya. Meski teror masih terasa, kehadiran warga justru meningkat. Bahkan Pak Samad yang kini lebih sering duduk di serambi rumahnya, mulai rutin menghadiri kajian.
Namun badai tak berhenti. Di suatu subuh, seorang warga berteriak dari ujung jalan desa, membawa berita buruk: ladang kecil milik Khaerul dan Aisyah dibakar orang tak dikenal.
Api menjilat habis tanaman cabai dan tomat yang baru mulai panen. Asap membumbung tinggi, membungkus langit Batupute dengan abu dan amarah. Warga berdatangan, sebagian mencoba memadamkan api, sebagian hanya berdiri terpaku.
Khaerul hanya diam, menggenggam erat tangan Aisyah. Tak ada air mata. Hanya doa lirih yang mengalir dari bibir mereka.
"Hasbunallahu wa ni'mal wakil..."
Ketika api padam, hanya arang dan tanah hangus yang tersisa. Tapi semangat mereka tak terbakar. Justru kobaran semangat itu semakin menyala.
Hari-hari berikutnya, Aisyah dan Khaerul tetap mengajar. Mereka mengajak anak-anak untuk menanam kembali ladang itu bersama. Dari musibah itu, lahirlah pelajaran bagi seluruh warga—tentang sabar, tentang ikhtiar, dan tentang kekuatan hati yang tidak mudah padam.
Suatu malam, Aisyah menerima surat dari seorang perempuan muda. Isinya adalah kisah hidupnya yang terinspirasi dari perjuangan Aisyah. Ia mengaku sebagai mantan pengikut dukun yang telah bertaubat karena melihat keteguhan Aisyah menghadapi ujian demi ujian.
"Saya ingin belajar, Bunda Aisyah. Bukan hanya membaca Al-Qur'an, tapi juga bagaimana menjadi perempuan yang kuat sepertimu."
Air mata Aisyah mengalir saat membaca surat itu. Di balik semua luka, ternyata ada jiwa-jiwa yang sedang bangkit. Di balik arang dan abu, ternyata ada bunga yang mulai tumbuh.
Dan di ujung semua derita, cahaya itu benar-benar mulai tampak. Perlahan, tapi nyata.