Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Setelah sarapan, Aldric berdiri sambil merapikan jas kerjanya. Ia menepuk bahu Raka.
“Ayo, kita berangkat. Ada beberapa dokumen yang harus kamu lihat langsung.”
Raka berdiri sambil mengangkat alis.
“Jangan-jangan kamu ajak aku cuma buat sarapan doang.”
Aldric hanya menatapnya tajam, membuat Raka cepat-cepat mengambil jasnya.
Sebelum pergi, Aldric menoleh pada Arlena.
“Belajarlah yang serius. Aku akan pulang sore nanti.”
Arlena mengangguk dengan senyum tipis. “Baik, Tuan.”
Aldric dan Raka pun pergi meninggalkan rumah.
Sementara itu, di ruang tengah, Bu Retno sudah menyiapkan beberapa buku etika dan materi pembelajaran dasar.
“Hari ini kita akan ulang sedikit materi kemarin. Setelah itu, kita masuk ke tahap baru.”
Arlena duduk tegap, matanya berbinar meskipun tubuhnya masih sedikit lelah.
“Saya siap, Bu Retno.”
Bu Retno tersenyum senang. “Kamu sudah jauh berbeda dari saat pertama datang.
Tapi ingat, Arlena, perubahan bukan untuk orang lain... tapi untuk kebahagiaan dan harga dirimu sendiri.”
Arlena mengangguk pelan, mengingat kata-kata itu baik-baik di dalam hati.
Bu Retno menutup bukunya perlahan.
“Arlena, besok kita akan adakan ujian praktik. Aku ingin lihat sejauh mana kamu belajar selama ini.”
Arlena terdiam sejenak, matanya membulat.
“Ujian, Bu?”
Bu Retno mengangguk mantap.
“Ya. Mulai dari cara berjalan, cara makan yang sopan, dan cara berbicara dengan elegan. Tiga hal dasar yang harus kamu kuasai sebagai wanita berkelas.”
Arlena menelan ludah gugup.
“Tapi… saya masih sering salah, Bu.”
“Itu sebabnya ini ujian, bukan hukuman,” jawab Bu Retno tegas namun lembut.
“Kamu harus percaya diri. Jangan pikirkan omongan orang. Ingat, kamu bukan Arlena yang dulu.”
Arlena mengangguk perlahan, meski rasa gugup masih menyelimutinya.
“Baik, Bu Retno. Saya akan berlatih lebih keras malam ini.”
Bu Retno tersenyum.
“Itu semangat yang saya mau.”
Malam itu, suasana rumah sudah sepi.
Bu Retno sudah pamit pulang usai sesi latihan sore. Hanya ada Arlena yang masih tekun berjalan mondar-mandir di lorong rumah dengan sepatu heels yang baru diberikan oleh Bu Retno pagi tadi.
Langkahnya masih canggung, kadang terlalu cepat, kadang terlalu lebar.
Namun Arlena tak menyerah.
"Kanan dulu, lalu kiri... jangan bungkuk, Arlena..." gumamnya sendiri, berusaha meniru semua arahan Bu Retno.
Ia tidak sadar, suara langkah kaki dari arah pintu masuk semakin mendekat.
Aldric baru saja pulang kerja, dasinya belum sempat dilepas, dan jaket kerjanya masih ia sandang di bahu.
Ia berhenti tepat di belakang Arlena, yang terlihat akan jatuh karena keseimbangannya goyah.
“Eeeh—!”
Tubuh Arlena miring ke samping, matanya memejam spontan.
Namun tangan kuat Aldric segera melingkar di pinggangnya, menahan tubuh gadis itu agar tidak jatuh ke lantai.
“T-tuan… maafkan saya…” gumam Arlena gugup, wajahnya langsung memerah.
Aldric masih memegang pinggangnya, sedikit membungkuk, mata mereka berdekatan.
“Kau pikir ini jam berapa, masih latihan berjalan?”
Suara Aldric terdengar pelan, namun tak ada nada marah. Justru ada kekhawatiran.
“B-besok ujian praktik… saya tidak mau mengecewakan Bu Retno… atau Anda…”
Arlena menunduk, berusaha bangkit sendiri, tapi Aldric belum juga melepas genggamannya.
Aldric menatapnya sejenak, lalu perlahan melepaskan tangannya.
“Jangan paksa dirimu sampai jatuh. Kalau kamu luka, siapa yang akan buatkan sarapan untukku besok pagi?”
Arlena tersenyum kecil, malu.
“Saya akan berhenti sekarang…”
Aldric berbalik, melangkah ke arah tangga. Tapi sebelum menghilang dari pandangan, ia berucap tanpa menoleh:
“Besok pagi jam tujuh. Aku ingin lihat sendiri bagaimana kamu berjalan.”
Arlena menggigit bibir, gugup tapi juga tersipu.
“Baik, Tuan…”
Aldric berhenti di anak tangga pertama.
Ia menoleh pelan dan menatap Arlena yang masih berdiri kikuk di lorong dengan sepatu heels-nya.
“Lepaskan sepatu itu, dan lekas tidur.”
Suara Aldric terdengar lembut, tapi tetap tegas seperti biasanya.
Arlena mengangkat wajahnya, sedikit kaget.
“Tapi... saya masih ingin latihan sedikit lagi, Tuan...”
Aldric menghela napas.
“Kamu bukan robot, Arlena. Besok kamu butuh tenaga, bukan kaki yang lecet.”
Arlena pun menganggukkan kepala pelan.
“Iya, Tuan... terima kasih sudah peduli.”
Aldric hanya mengangguk singkat, lalu melanjutkan langkahnya menaiki tangga.
Sementara Arlena menatap punggung pria itu, merasa jantungnya kembali berdebar.
Ia perlahan melepas sepatu heels-nya, memijat kakinya yang sedikit pegal, lalu masuk ke kamarnya.
Sebelum tidur, ia menatap cermin dan berkata pada dirinya sendiri:
“Besok aku harus bisa... untuk Bu Retno, untuk Tuan Aldric... dan untuk diriku sendiri.”
Dengan senyum kecil, ia pun menarik selimut dan memejamkan mata.
Jam menunjukkan pukul enam pagi.
Aldric turun dari lantai dua dengan kemeja santainya. Aroma kopi yang biasa tercium di pagi hari… tidak ada. Dapur pun sepi.
“Dimana Arlena?” tanyanya sambil berjalan menuju meja makan yang belum tertata.
Dua staf rumah tangga, Maya dan Riko saling pandang cemas.
“Sepertinya… Arlena masih tidur, Tuan,” ucap Dina dengan hati-hati.
Aldric mengernyit.
“Dia belum pernah bangun terlambat.”
Tanpa berkata banyak, Aldric langsung menuju kamar Arlena. Ia mengetuk pintu perlahan, tapi tidak ada jawaban.
Tok… tok…
“Arlena?” panggilnya pelan.
Masih sepi. Ia menekan gagang pintu dan ternyata tidak dikunci.
Perlahan pintu terbuka… dan ia melihat Arlena masih tertidur dengan buku-buku berserakan di sekelilingnya.
Kepalanya tertunduk di meja belajar, napasnya teratur.
Aldric mendekat dan melihat ada bekas air mata kering di pipi Arlena.
Ia menghela napas pelan.
“Kamu benar-benar berusaha keras…” gumamnya.
Dengan hati-hati, ia menyingkirkan buku yang menindih tangan Arlena, lalu menyentuh pundaknya pelan.
“Arlena, bangun. Ujianmu sebentar lagi.”
Arlena perlahan membuka mata, matanya masih berat.
“Saya… saya ketiduran ya?”
Aldric hanya mengangguk.
“Ya. Tapi kamu harus siap sekarang. Bu Retno akan datang.”
Arlena langsung terbangun, panik.
“Maafkan saya, Tuan! Saya akan segera bersiap!”
Aldric menahan bahunya.
“Tenang. Aku sudah bilang, kamu tidak sendirian.”
Arlena lekas mandi dan bersiap-siap untuk ujian.
Ia memilih kemeja putih bersih dan rok span hitam yang telah disiapkan semalam. Rambutnya disisir rapi dan diikat sederhana.
Di ruang tamu, Aldric dan Bu Retno sudah duduk dengan clipboard di tangan.
Wajah keduanya serius, seolah Arlena sedang mengikuti seleksi kerja resmi.
“Kita mulai dari cara berjalan,” ucap Bu Retno tegas.
Arlena menarik napas dalam-dalam. Ia berjalan perlahan dari ujung ruangan, bahu tegap, dagu sedikit naik, langkahnya pelan namun mantap. Matanya menatap lurus ke depan.
“Good. Now, show me your posture when greeting someone important,” perintah Bu Retno dalam bahasa Inggris.
Arlena tersenyum sopan dan membungkuk sedikit.
“Good morning, Sir. It’s a pleasure to meet you.”
Aldric menyilangkan tangan dan menyahut:
“Let’s have a conversation now. Pretend I’m your boss and I just asked you to arrange a meeting for me.”
Arlena menatapnya sejenak, lalu berkata dengan nada tenang:
“Certainly, Sir. May I know the preferred time and participants for the meeting?”
Aldric mengangguk perlahan.
“Nice. Lanjut ke sesi makan.”
Mereka berpindah ke meja makan yang telah disiapkan. Di sana terdapat sup krim, roti, dan jus jeruk.
Bu Retno memperhatikan gerakan Arlena saat duduk, memegang sendok, dan mulai makan.
Kali ini Arlena tidak membuat suara saat menyendok, duduk tegak, dan meminum jusnya dengan tenang.
Aldric menatap Bu Retno.
“Your verdict?”
Bu Retno tersenyum puas.
“She’s improving fast. A few more sessions and she’ll be flawless.”
Arlena tersenyum lega.
“Thank you for teaching me, Bu Retno… and Mr Aldric.”
Aldric hanya tersenyum tipis.
“You’re welcome. But this is just the beginning.”
Setelah sesi ujian selesai dan meja makan dibereskan oleh staf, Aldric memanggil Arlena ke ruang kerja.
“Kamu belajar cepat,” ucapnya, membuka laptopnya sebentar sebelum menatap Arlena.
“Sekarang, kita coba sesuatu yang baru. Kamu masih ingat waktu Adrian mengajariku bahasa Jerman?”
Arlena mengangguk pelan. “Sedikit, Tuan.”
Aldric tersenyum tipis.
“Bagus. Sekarang jawab aku dalam bahasa Jerman.”
Ia menatap Arlena serius.
“Wie geht es dir heute, Arlena?” (Apa kabar hari ini, Arlena?)
Arlena berpikir sejenak, lalu menjawab ragu-ragu,
“Mir geht es gut… danke, und Ihnen?” (Saya baik… terima kasih, dan Anda?)
Aldric mengangguk puas.
“Sehr gut.” (Sangat baik.)
“Was hast du heute Morgen gemacht?” (Apa yang kamu lakukan pagi ini?)
Arlena mulai terbata namun mencoba percaya diri.
“Ich habe mich geduscht und geübt... für die Prüfung.” (Saya mandi dan berlatih... untuk ujian.)
Aldric tertawa kecil.
“Du wirst klug, Arlena. Weiter so.” (Kamu semakin pintar, Arlena. Teruskan ya.)
Arlena tersipu malu, namun hatinya hangat karena pujian itu.
“Terima kasih, Tuan. Saya akan belajar lebih giat lagi.”
Aldric bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah jendela.
“Aku ingin kamu siap. Dunia luar kejam, tapi kamu harus lebih pintar dari mereka. Aku akan pastikan itu.”
Arlena menatap punggung Aldric. Dalam diam, ia bertekad untuk membuktikan bahwa ia pantas mendapat kesempatan kedua dalam hidup.