Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Cahaya lampu kristal menggantung hangat di atas meja makan panjang keluarga Lee. Hidangan mewah telah tersaji dengan rapi, mengisi setiap inci meja dengan aroma lezat yang tampak menggugah selera. Di tengah gemerincing sendok dan piring itu, topik pembicaraan malam itu tidak jauh-jauh dari urusan perusahaan.
“Proyek kerja sama perusahaan dengan Han Corp. akan dimulai bulan depan,” ujar Lee Jisung dengan nada tegas.
Irene yang duduk di sebelah Kakek Lee menoleh ke arah Mia dan tersenyum lembut.
“Mia, Ibu dengar kamu ikut andil dalam menata konsep visual untuk kampanye produk barunya Christopher, ya?”
Mia menganggukkan kepala kecil. Ia tersenyum tipis.
“Iya, Bu. Aku membantu bagian pemotretan dan layout desainnya saja.”
Kakek Lee yang duduk di ujung meja tersenyum dengan puas. Ia meletakkan sumpitnya sebentar, lalu menatap mereka dengan sorot mata yang penuh harap.
“Bagus. Jadi kalian tetap bisa bekerja sama meski dalam hubungan pernikahan. Itu memang sangat penting,” katanya bijak.
Lalu, tatapannya bergeser lebih tajam namun tidak terlalu menghakimi.
“Lalu bagaimana dengan hubungan kalian? Pernikahan kalian masih baik-baik saja, bukan?”
Pertanyaan itu membuat Mia terdiam sesaat. Hatinya menegang tapi wajahnya tetap tenang. Ia menunduk, lalu mengangguk pelan.
“Masih baik, Kek… Kami saling memahami satu sama lain.”
Jawaban diplomatis, namun cukup untuk menenangkan hati pria tua itu. Kakek Lee kembali mengangguk dengan puas lalu melanjutkan makannya tanpa mencurigai apapun.
Namun, Lee Jisung yang duduk di seberang Mia memperhatikannya lebih saksama. Tatapannya melirik ke arah putrinya yang terus menunduk sambil menyendok makanan ke piringnya. Wajah Mia terlihat letih, seperti sedang memikul beban yang tak kasat mata.
Kerutan samar muncul di dahi Jisung, seolah ia sedang memikirkan sesuatu… atau mungkin ia menyesali sesuatu.
Beberapa Jam Kemudian.
Kakek Lee telah lebih dulu naik ke kamarnya untuk beristirahat, ia meninggalkan ruang makan dalam hening yang sudah tidak nyaman lagi.
Dari atas tangga, suara Irene memanggil Christopher.
“Chris, temui Ibu di ruang belajar. Kita harus membahas dokumen kerja sama yang tadi.”
Christopher berdiri dari duduknya dan membenarkan kerah kemejanya.
“Baik, Ibu.”
Ia membawa beberapa dokumen dan mengikuti ibunya ke lantai atas, meninggalkan ruang tamu yang kini hanya dihuni oleh dua orang, ayah dan anak, yang terpisah oleh jarak emosional.
Mia tetap duduk di sofa sambil memeluk kedua lututnya secara halus, matanya memandangi meja kopi yang ada di depannya. Ayahnya, Lee Jisung, duduk di seberangnya, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Suasana di antara mereka begitu sunyi, seolah ada dinding yang tidak terlihat untuk memisahkan dua orang yang seharusnya itu saling memahami.
Mia membuka sedikit mulutnya ia, ingin mengatakan sesuatu. Tapi kata-kata itu menguap di ujung lidahnya. Ia tidak tahu harus memulai dari mana.
Mereka ayah dan anak, seharusnya mudah untuk berbicara. Tapi kenyataannya… mereka terasa seperti dua orang asing yang kebetulan berada di rumah yang sama.
Malam kian semakin larut, namun ruang tamu keluarga Lee masih disinari lampu gantung yang menebarkan cahaya temaram. Suasana hening membalut ruangan, menyisakan hanya suara detak jarum jam dan hembusan napas yang berat.
Lee Jisung memandangi putrinya dalam diam sebelum akhirnya ia membuka suara.
“Bagaimana kabarmu, Nak?”
Pertanyaan sederhana itu terdengar lebih berat dari yang seharusnya. Mia menoleh perlahan lalu tersenyum tipis.
“Aku… baik-baik saja,” jawabnya pelan, nyaris seperti bisikan.
Jisung mengangguk kecil, lalu kembali bersuara lagi, kali ini lebih lembut namun menyentuh sisi yang lebih dalam.
“Apa kamu masih pergi ke psikiater?”
Mia mengangguk pelan. Suaranya nyaris tercekat, namun ia berusaha menjawabnya dengan nada yang tetap tenang.
“Iya… masih.”
Namun kenyataannya, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai retak. Hidungnya terasa perih dan matanya mulai berembun. Tapi ia tidak ingin terlihat lemah didepan ayahnya.
Jisung menatapnya lama, seolah berusaha membaca setiap kerutan di wajah putrinya. Lalu, ia bertanya dengan nada yang lebih serius.
“Christopher… bagaimana dia memperlakukanmu selama ini?”
Pertanyaan itu membuat Mia terdiam. Ia mengangkat kepalanya, menatap ayahnya dengan raut bingung.
“Apa maksud Ayah?”
Jisung menghela napas panjang. Matanya tampak tajam, namun di baliknya ada kekhawatiran yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Kamu tidak terlihat sebaik yang kamu katakan barusan,” katanya pelan.
“Kamu terlihat... menderita, Mia.”
Hening. Mia menahan napasnya.
“Selama ini kamu menahan semuanya demi dia, tapi dia bahkan tidak tahu bagaimana kondisimu.”
“Mia… benarkah semua ini sepadan?”
Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Pertanyaan itu menelanjangi luka-luka yang selama ini ia simpan rapi di balik senyum dan sikap tenangnya. Tapi Mia tetap teguh. Meski suaranya terdengar pelan, tapi sorot matanya menunjukkan keteguhan yang tidak tergoyahkan.
“Aku mencintainya, Ayah.”
“Itu sudah cukup bagiku untuk bertahan dengannya.”
Jisung memejamkan mata sesaat, lalu menggeleng perlahan. Ia menundukkan kepala, dan kedua tangannya saling menggenggam di pangkuannya, ia mencoba mengendalikan emosi yang tidak bisa ia tunjukkan secara langsung kepada anaknya.
“Ayah tidak akan memaksamu untuk berhenti.”
“Bagaimanapun juga… ini adalah jalan hidupmu sendiri.”
Sunyi kembali mengisi ruangan itu. Namun kali ini, hening itu tidak sama seperti tadi.
Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Irene dan Christopher turun sambil membawa setumpuk dokumen di tangan mereka.
Mia tersentak pelan dari lamunannya. Lalu Ia berdiri perlahan dan menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan dirinya kembali.
“Aku akan membantu,” ucapnya tenang.
Ia melangkah menyusul mereka dengan kepala tegak. Tak ada yang tahu bahwa di balik langkah tenangnya itu ada perasaan yang berantakan…
***
Suasana di dalam mobil begitu terasa sunyi. Hanya deru mesin dan suara lalu lintas malam yang terdengar samar. Lampu-lampu jalan berkelebat cepat di kaca depan, menyoroti wajah dua penumpang yang larut dalam keheningan mereka masing-masing.
Christopher duduk di belakang kemudi, tangan kanannya menggenggam erat setumpuk dokumen yang baru saja diberikan oleh ibunya. Matanya melirik sekilas pada map berisi kontrak dan data perusahaan, sebelum matanya kembali terarah ke jalanan di depannya.
Ia bergumam dengan pelan.
“Hah.. Kenapa harus sekarang… dan kenapa harus aku yang harus menyelesaikannya?”
Nada kesal dan letih tercampur jadi satu. Beban tanggung jawab datang silih berganti, seolah waktu tidak pernah memberinya kesempatan untuk dia bernapas dengan tenang.
Di kursi penumpang Mia duduk membisu dan tatapannya kosong, matanya terpaku pada jendela yang dihiasi jejak air hujan yang tipis. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya sejak mereka masuk mobil tadi.
Christopher melirik ke arahnya sekilas, memperhatikan wajah yang tidak menunjukkan emosi apa pun sejak tadi. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke jalanan, lalu menghela napas panjang.
“Kalau kau merasa lelah, tidurlah sekarang. Aku tidak akan mengganggumu,” ujarnya datar, ia berusaha terdengar tidak peduli.
Namun Mia tetap diam dan tidak menanggapinya. Hanya beberapa detik kemudian, kepalanya mulai menunduk secara perlahan… dan akhirnya kepalanya bersandar di bahu Christopher.
Christopher refleks menoleh dan keningnya berkerut.
“Hah?”
Ia menatap gadis di sampingnya dengan ekspresi bingung dan sedikit risih.
“Apa-apaan ini…?”
Christopher berniat menggeser kepala Mia, namun saat ia mengangkat tangannya, suara pelan terdengar keluar dari bibir Mia, penuh dengan ketakutan dan luka.
“Jangan… jangan pukul aku…”
Tubuhnya mulai bergetar bahkan di dalam tidurnya.
“Ini sangat gelap… aku… aku tidak suka gelap…”
Christopher membeku. Tangannya menggantung di udara, tidak jadi menyentuhnya.
Mata Mia masih terpejam, namun ekspresi wajahnya berubah. Dahi dipenuhi dengan keringat dingin dan rambut menempel pada pelipis yang memucat, bahkan napasnya pun tidak teratur.
Kemudian, tiba-tiba, tangan mungil itu menggenggam tangan Christopher erat-erat.
“Aku mohon… jangan suruh aku untuk masuk ke dalam sana…”
“Tolong aku… ini sangat sakit… tolong…”
Christopher terdiam. Hatinya mencelos. Ada sesuatu yang menyesakkan di dalam dadanya, rasa bersalah, kemarahan, dan iba yang tidak tahu arah. Ia ingin menarik tangannya kembali dan melepaskan genggaman itu, tapi jari-jari Mia menggenggamnya terlalu kuat.
Akhirnya, ia menyerah. Ia kembali memegang kemudi dengan tangan kirinya dan membiarkan kepala Mia bersandar di bahunya, lalu tangannya yang lain tetap berada dalam genggaman Mia yang gemetar.
Christopher menatapnya sekilas, lalu berbisik dengan lirih.
“Mimpi buruk, huh…?”
Ia menggertakkan giginya, berusaha menahan emosi yang datang bertubi-tubi tanpa ia kehendaki. Ia ingin marah karena ketidakberdayaannya sendiri.
Tapi yang keluar dari bibirnya hanyalah gumaman lemah.
“Dasar bodoh… merepotkan saja.”
Meski begitu, ia tidak menggeser kepala Mia sedikit pun. Ia membiarkannya di sana, tetap diam, tetap bersandar pada pundaknya… setidaknya sampai mimpi buruk itu mereda.
Bayangan kata-kata ibunya kembali melintas dalam ingatan Christopher, membayang seperti gema yang enggan menghilang dalam pikirannya.
> "Selama kau bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan Mia, pendapatmu tentangnya akan berubah, Chris."
Ucapan itu terdengar samar, namun sangat membekas di dalam kepalanya. Irene tidak pernah berkata tanpa alasan. Selalu ada maksud tersembunyi di balik setiap kalimatnya.
Christopher melirik ke samping sekali lagi. Mia masih bersandar di bahunya, tertidur dalam kegelisahan yang memucatkan wajahnya. Saat tertidur, Mia terlihat tampak berbeda. Tidak ada ketegangan apapun di wajahnya. Tidak ada tatapan dingin atau sikap keras kepala yang biasa ia tunjukkan. Hanya ketenangan yang rapuh... dan luka yang tersembunyi.
Ia menatap wajah itu selama beberapa detik, sebelum akhirnya ia bergumam dalam hati.
“Sisi mana darimu yang telihat nyata, dan mana yang terlihat hanya topeng…?”
Tatapannya terhenti pada rambut Mia yang telah basah oleh keringat. Dengan gerakan ragu, ia mengulurkan tangannya dan menyibakkan helai rambut yang menempel di dahi Mia.
Namun saat itulah ia telah melihatnya, sebuah bekas luka, terlihat begitu samar, namun cukup jelas terlihat di bawah helai rambut gelap itu. Panjangnya sekitar satu inci. Seolah tertinggal oleh benda tumpul atau... sebuah pukulan.
Alis Christopher terangkat, lalu ekspresinya berubah kaget.
“Apa ini… bekas luka?” bisiknya pelan.
Jari-jarinya menyentuhnya pelan, nyaris tidak menyentuh kulit itu, ia hanya sekadar memastikan bahwa yang ia lihat bukanlah sekadar bayangan.
Namun seketika, seperti disambar kenyataan, ia menyadari sesuatu yang membuat dadanya langsung menciut.
Luka itu… ditimbulkan karena dirinya.
Jari-jarinya refleks menegang. Dan dalam sekejap, tubuhnya menegang oleh rasa bersalah dan kengerian yang bercampur menjadi satu. Tanpa berpikir panjang, ia mendorong kepala Mia menjauh dari bahunya dengan kasar.
BRAK!
Kepala Mia terbentur kaca jendela dengan bunyi pelan namun tajam. Gadis itu terperanjat lalu mengerang lemah.
“A—apa?” gumamnya, matanya setengah terbuka pandangannya bingung dengan apa yang baru saja terjadi.
Christopher mengalihkan pandangan ke arah jalanan dan rahangnya mengeras.
“Akhirnya kau bangun juga,” ucapnya dengan tajam dan dingin seperti baja.
“Apa kau sadar dengan apa yang baru saja kau lakukan, huh?”
Mia memandangnya dengan pandangan kosong, ia masih dalam transisi antara mimpi dan kenyataan.
“Aku… aku tidak mengerti…” suaranya pelan.
Christopher meraih map di pangkuannya dan menutupnya dengan suara keras, seolah melampiaskan amarah yang tidak sanggup ia kendalikan. Pandangannya menusuk Mia dengan sorot penuh kemuakan.
“Tentu saja kau tidak akan mengerti.”
Nada bicaranya berubah menjadi sinis, memuakkan, dan menyakitkan.
“Lihatlah dirimu. Berpura-pura lemah dan menyedihkan, lalu tiba-tiba bersandar manja padaku.”
Ia terkekeh pendek penuh dengan ejekan.
“Ayahmu benar-benar mendidikmu jadi anak yang hebat, ya? Anak yang begitu patuh. Anak yang... tahu caranya bermain drama di waktu yang tepat.”
Mata Mia membesar, namun tidak ada pembelaan dari bibirnya. Ia menunduk perlahan dan berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum ia terbangun. Tapi yang muncul hanyalah rasa sesak… dan luka lama yang kembali terbuka.
“Aku… tidak bermaksud…” bisiknya lirih.
Namun Christopher menyela dengan cepat.
“Kau selalu tidak bermaksud. Tapi tetap saja, kau terus melakukannya.”
Kata-katanya begitu tajam, dingin dan tanpa ampun.
Hening kembali menyelimuti ruang sempit di dalam mobil itu. Suara deru mesin terdengar lebih nyaring dari biasanya, bersatu dengan napas yang tertahan dan emosi yang tidak bisa mereka kendalikan.
Christopher menggenggam kemudi lebih erat. Jemarinya memutih, ia menahan sesuatu di dalam dadanya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Amarah?
Penyesalan?
Atau mungkin... perasaan asing yang ia benci untuk dia akui?
Di sebelahnya, Mia hanya terdiam. Bahunya sedikit gemetar, namun ia menahan isakannya. Ia tidak menangis dan tidak berteriak. Ia hanya menundukkan kepala.
Lalu, dalam suara yang sangat lirih, Mia berkata:
“Maaf…”
.
.
.
.
.
.
.
- TBC -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah