Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.
Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.
Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.
Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?
Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam dan Kultus Sesat
Di malam yang hening, cahaya bulan bersinar terang memberikan keindahan yang memikat hati, seakan-akan menyambut dengan senyum manis. Keheningan malam ini meredam sementara api dendam masih berkobar panas di hatiku.
Entah sudah berapa hari aku mengawasi penjara Ventbert di samping marka kepolisian. Aku memantau tempat itu dari atas bangunan rumah para penduduk. Siang malam tak kutinggalkan tempat ini sampai para pembunuh Silas keluar.
Tak kualihkan sedetik pun mataku dari penjara itu. Mungkin hanya saat menjelang matahari terbit saja ku pejamkan mata untuk tidur beberapa menit. Aku juga sudah menyiapkan bekal yang cukup untuk bertahan hidup di atas sini. Yah, aku sudah terbiasa dengan keadaan begini dari pengalamanku sebelumnya.
Sebenarnya aku mulai ragu dengan informasi dari ratu. Bukan tanpa sebab, keraguanku karena penjara Ventbert 3 kali lebih luas dari penjara di kota lain dan untuk keamanan juga lebih ketat di sini. Tapi mengapa justru dipindah? Padahal di sana adalah pusat kepolisian Magolia.
Keraguan yang menggerogoti kepalaku perlahan sirna saat kulihat ada 2 kereta kuda datang dan berhenti di depan gerbang penjara. Aku segera menutup kepalaku dengan tudung dari jubah hitam.
Jadi kereta ini ya yang dimaksud baginda ratu.
Tak berselang lama, benar saja Rudy bersama 4 pelaku lain dibawa masuk ke dalam kereta kuda. Selain itu, aku juga melihat ada 2 perwira kepolisian yang ikut naik di kereta kuda satunya. 2 kereta itupun berjalan dan aku mengikutinya dari atas.
Melompati satu bangunan ke bangunan lain mengikuti laju 2 kereta kuda tersebut. Pancaran cahaya rembulan menerangi jalanku dan membuatku tidak membuang energi sihir hanya untuk melihat di kegelapan.
Mengikuti 2 kereta kendaraan itu butuh kecermatan karena mereka lewat jalan utama kota di mana banyak sekali kereta kuda dengan banyak warna yang serupa berlalu lalang. Aku juga sempat melihat Lena yang berjalan pulang dengan wajah masam. Ya, dia mungkin kecewa karena semenjak kematian Silas aku tidak pulang ke rumah. Kuyakin dia pasti selalu menyiapkan makanan dan menungguku di rumah.
Maafkan aku Lena, aku akan pulang jika kematian Silas sudah kubalaskan.
Sesudah kereta itu melewati gerbang distrik pusat, aku langsung melompat turun lalu meningkatkan kekuatan kakiku dengan energi sihir. Ini jadi perjalanan cukup melelahkan karena aku harus berlari cukup jauh sampai mereka benar-benar keluar dari distrik terakhir kota Ventbert.
Cuaca seakan mendukungku ketika cahaya bulan mulai tertutup awan sehingga langit gelap membuatku bisa menyelinap di kegelapan untuk terus berlari membuntuti mereka.
Beberapa menit kemudian, mereka masuk ke jalan hutan. Aku memanfaatkan hutan gelap ini untuk berlari lebih cepat dan menyalip 2 kereta kuda itu sejauh 300 meter. Selanjutnya kubaringkan badanku diatas jalan berpasir halus dan menunggu kedatangan mereka.
Kereta pertama berhasil melewatiku kemudian saat kereta kuda sedang berjalan diatas, aku segera mencengkram kerangka kolongnya.
Dari celah di bawah, papat kulihat jelas Rudy dan yang lain bisa tertawa lepas tanpa borgol yang mengikat tangan mereka. Aku sudah menaruh kecurigaan besar.
Apa benar mereka sedang dipindah ke penjara lain?
Padahal mereka bisa sampai cepat di sana dengan kereta api tapi mengapa justru memakai kereta kuda yang butuh waktu berhari-hari untuk sampai?
Rasa curiga semakin meracuni kepalaku ketika kereta tiba-tiba keluar dari jalur dan belok ke jalanan berlumpur yang mengarah jauh ke dalam hutan. Seribu pertanyaan mengambang dalam otakku mengingat hutan ini tidak ada pemukiman maupun pos karena memang sengaja dilestarikan pemerintah kerajaan untuk menjaga ekosistem makhluk hidup di dalamnya. Selain itu, hutan ini hanya berjarak 15 kilometer saja dari Ventbert.
Samar-samar dari bawah sini kudengar suara nyanyian dengan bahasa yang tidak kumengerti. Para tahanan dan polisi di 2 kereta kuda juga mulai turun lalu berjalan ke dalam hutan.
Aku mulai turun dan mengikuti mereka melewati jalan setapak tengah hutan dalam gelapnya malam. Aku terpaksa menggunakan sihir untuk melihat kegelapan.
Tidak jauh ku berjalan, suara nyanyian itu semakin terdengar jelas. Aku segera naik ke atas pepohonan mengabaikan Rudy dan yang lain, lalu pergi mencari sumber suara itu. Lagipula firasatku mengatakan jika rombongan Rudy akan pergi ke sumber suara itu juga.
Dari dahan ke dahan lain kulompati hingga kulihat cahaya jingga. Ya, itu sepertinya cahaya api unggun yang cukup besar sampai terlihat seterang itu. Aku melompat ke pohon yang lebih dekat dan perlahan terlihat pilar-pilar putih di depan sana.
Rasa penasaranku semakin menggebu dan kuputuskan masuk lebih dekat. Suara nyanyian itu semakin jelas dari balik pohon ini. Aku menghela napas dan menyiapkan tekad untuk melihat sesuatu dari balik pohon.
Ku mencoba mengintip dari dan kulihat kuil yang sudah runtuh, tersisa beberapa pilar dan puing-puingnya saja. Saat kugeser pandanganku ke bawah kuil, seketika aku terperanga menyaksikan segerombolan orang memakai jubah putih dengan topi kerucut berwarna merah. Mereka bernyanyi dan menari-nari aneh mengelilingi sebuah altar kuno.
Suara nyanyian itu seperti seruan kuno dan menakutkan. Gerakan mereka seolah diatur oleh suatu kekuatan mistis. Aku merinding melihat pemandangan itu, seperti melihat sesuatu yang seharusnya tidak aku lihat.
Setelah kuhitung, mereka berjumlah 15 orang. Aku tidak tau siapa mereka dan dari organisasi apa. Selama ini agama kepercayaan yang di anut rakyat Magolia tidak pernah ada nyanyian atau tarian begini, apalagi sampai mengelilingi altar.
Tak berselang lama, sesuai dugaanku Rudy bersama yang lain datang ke reruntuhan tempat orang-orang aneh itu berada. Aku semakin dibuat tak mengerti saat Rudy bersama polisi lain tiba-tiba ikut menari dan bernyanyi. Entah kenapa aku berfikir jika orang-orang aneh itu memiliki hubungan dengan kepolisian Magolia.
***
1 jam lamanya aku menyaksikan tarian aneh itu sampai muncul seorang berjubah merah membawa benda bulat yang terbungkus kain putih kotor. Dia sepertinya pemimpin komplotan ini, selain itu dibelakangnya juga ada 2 orang lain memakai jubah putih membawa seorang wanita.
Wanita itu dibaringkan di atas lalu ditelanjangi. Ku amati lebih dalam lagi wanita itu, ternyata dia sudah mati—lebih tepatnya membusuk. Terlihat dari seluruh badanya yang melepuh dan di beberapa bagian dikerumuni belatung.
Lalu aku disuguhkan pemandangan paling biadab yang belum pernah kusaksikan bahkan saat kau masih di medan perang. Itu Rudy yang telanjang dan bersetubuh dengan mayat busuk.
Aku segera berbalik menahan rasa mual di perut. Entah apa yang baru saja ku tonton disana.
Jelas sudah jika mereka berasal dari organisasi sesat. Tapi aku tidak punya bukti untuk melapor, karena itu aku berencana menculik salah satu dari mereka dan mengkesampingan tujuan utamaku. Aku takut organisasi semacam ini nantinya memeranguhi masyarakat dan mengancam kerajaan.
Ketika berencana turun, aku mengurungkan niat saat melihat benda bulat terbungkus kain putih itu yang diletakkan di atas perut mayat. Mataku langsung terbelalak, darahku mendidih dan amarah sudah tak terbendung saat kain itu dibuka ternyata isinya adalah kepala Silas yang sudah mulai membusuk.
Akal sehatku sirna dan aku langsung menarik kedua belati dan berlari ke arah pemimpin mereka.
...Jraak!...
Tanpa pikir panjang kusabetkan belatiku ke lehernya hingga darah menyembur mengguyur wajahku. Tapi aku tidak peduli, aku langsung mengambil kepala Silas dan membungkusnya kembali dihadapan orang-orang aneh itu.
" Penyusuuup...! Penyusuup...! " Seru mereka dengan nada panik.
Aku tidak menghiraukan, sekarang mataku tertuju pada Rudy tepat di sampingku.
" Setelah membunuh anakmu, sekarang kau menyetubuhi mayat busuk? Sebiadab itu dirimu? "
" Siapa kau?! "
...Baak!...
Aku menendang Rudy sekuat tenaga hingga ia tersungkur tanpa kugubris pertanyaanya. Amarah dalam tubuhku tak bisa kuredam lagi.
Aku berteriak sekencang mungkin meluapkan semua amarahku lalu menyerang mereka dengan cepat dan tanpa ragu-ragu. Kupaksakan tubuh dan kondisi mentalku yang rapuh untuk membunuh kembali, membantai satu demi satu orang-orang itu secara membabi buta.
Beberapa dari mereka ada yang bisa sedikit mengimbangiku tapi pengalaman tetaplah kunci pertarunganku kali ini. Aku berhasil menikam, menusuk, dan menyembelih mereka. Tak kehabisan akal, aku juga mengambil pedang korban yang kubunuh.
Sudah lama aku tidak menggunakan pedang, meski begitu dengan lincah dan gesit kutebaskan pedangku membelah udara dan memenggal 2 orang sekaligus.
Satu persatu dari mereka tumbang. Darah menggenang dimana-mana. Tak peduli lagi walau ada yang mengemis memohon ampun aku langsung menusuk mulutnya.
Aku benar-benar sudah gila. Ketakutanku membunuh orang justru sekarang berubah menjadi kepuasan saat mendengar mereka memohon ampun, merintih, memekik meminta tolong tapi yang datang adalah kematian. Rasa puas dan lega yang belum pernah kurasakan seumur hidupku.
Apa ini kenikmatan setelah balas dendam?
Tawaku memecah kesunyian malam saat kupandang puluhan mayat bergelimpangan dengan darah-darah membanjiri kuil ini.
Sekarang yang tersisa hanya Rudy dan 2 perwira kepolisian karena pelaku pembunuh Silas yang ikut bersama mereka sudah kubunuh. Aku berjalan menatap pria paruh baya berambut pendek yang telanjang sedang meringkuk ketakutan dibalik 2 tumpukan mayat. Aku tersenyum seraya menatap tajam ke arah pria bernama Rudy itu. Kuberjalan dengan menyeret pedang berbau amis darah.
Tapi aku terpaku seketika saat kesedihan tiba-tiba menusuk hatiku. Aku berlutut dan tanpa sadar air mataku mengalir membasahi pipi.
Sebenarnya perasaan apa ini?
Padahal aku sudah puas membalas dendam tapi mengapa aku justru merasa sedih...?
" Hehhh..., baru saja kutinggal beberapa hari malah sudah terbunuh semua. " Kudengar suara orang dari pepohonan gelap di depanku.
Aku menoleh ke Rudy dan 2 perwira polisi, sepertinya suara itu bukan berasal dari mereka. Tidak mungkin mereka bertiga menggerutu dengan wajah ketakutan begitu. Aku pun memfokuskan pandanganku ke depan. Nampak sosok manusia di balik bayangan pepohonan itu.
" Padahal sudah 5 tahun aku menunggu saat-saat ini, tapi semuanya kacau. " Dari balik pepohonan muncul sesosok pria memakai jubah emas sambil membawa 2 pedang.
" Siapa kau? " Tanyaku, menatap sinis.
" Aku adalah pemimpin mereka, " Ucapnya seraya menodongkan pedang padaku, " dan kau harus mengganti rugi. "
" Ganti rugi? Apa maksudmu? "
" Tentu saja kau harus mengganti rugi dengan nyawamu! " Balasnya dengan menyiapkan kuda-kuda bertarung.
Melihatnya memasang kuda-kuda jelas dia ahli beladiri. Jika dia pemimpin orang-orang ini, maka dia juga harus mati seperti bawahannya. Aku harus bertarung sekali lagi walau tenagaku sudah terkuras banyak.
Meski ada opsi menggunakan energi sihir untuk meningkatkan fisik. Tapi aku memilih tidak menggunakanya demi menjaga kewarasanku. Setiap kali aku menggunakan terlalu banyak energi sihir, trauma itu selalu kembali menghantuiku.
" Sebelum bertarung, bukankah kau harus memberitahuku namamu? " Tanyaku dengan menyiapkan kuda-kuda.
" Aku? Namaku Darian! " Jawabnya dengan senyum percaya diri.
Kami saling menatap beberapa menit menyiapkan diri untuk menyerang. Aku membuang pedang yang kupakai sebelumnya lalu mengambil kembali belatiku.
" Woow... Mata kuningmu indah sekali bercahaya di kegelapan. " Puji Darian padaku. " Sepertinya mata itu akan cocok untuk persembahanku. "
Tanpa aba-aba walau aku dalam kewaspadaan penuh tapi dia menyerangku dengan sangat cepat dan berhasil menendangku.
Segera kubangkit lalu berlari menyerang balik. 2 tebasanku berhasil ditangkis dan justru aku mendapat pukulan telak pada dada.
Aku membalas dengan menendangnya sampai dia mundur beberapa langkah. Namun dia langsung melompat ke depan dan menebaskan pedangnya berulang kali. Serangan pedangnya bisa kuimbangi dan kutangkis.
Beberapa menit berlalu, suara dentingan 2 benda tajam yang berbenturan ditambah kilatan cahaya percikan api memecah kesunyian malam di tengah hutan ini. Meski begitu tak sedetik pun Darian mengendurkan seranganya. Kecepatan dan keterampilan berpedangnya memaksaku untuk terus bertahan tanpa bisa menyerang balik. Gaya bertarung itu memperjelas dia mungkin seorang mantan prajurit khusus.
Serangan beruntun itu diakhiri dengan melayangkan tendangan yang berhasil kutahan. Aku melompat ke belakang mencari nafas sejenak dan memikirkan cara melawan balik. Jujur saja baru kali ini aku menghadapi orang dengan gaya bertarung seperti itu. Kemampuan Darian bisa kusetarakan dengan kapten Alvar.
" Hebat juga kau bisa menahan serangan pedangku. " Ucap Darian yang tiba-tiba menjilat darah di pedangnya hasil luka goresan di bahuku. " Sejauh ini, lawanku akan tumbang hanya dalam sekali serangan. Tapi kau berbeda, "
Aku membiarkannya mengoceh kemudian melancarkan serangan cepat. Kutebaskan pedangku berturut-turut hingga dia terkejut dan aku berhasil menyabet pahanya. Darian segera menjauh dariku dengan ekspresi meringis kesakitan. Aku tak membuang kesempatan ini. Segera kuserang Darian secara membabi buta dengan tujuan mengacaukan kosentrasinya dan membuatnya melemahkan pertahanan.
" Sialaaaan kauuu...! " Pekiknya.
Pemimpin orang-orang aneh itu tak lama kemudian bangkit kembali dan menunjukkan kemampuan bertarung yang sebenarnya.
Kami terus beradu dan melakukan serangan satu sama lain dengan semangat yang membara. Aku bisa merasakan darahku mengalir dari luka-luka yang aku terima, tetapi aku tak peduli, yang terpenting bagiku adalah mengalahkannya dan membawa kepala Silas.
Aku mulai kehabisan nafas akibat pertarungan melawan bawahan Darian sebelumnya. Sekarang dia berhasil memojokanku. Dia sekarang benar-benar sudah diatas angin walau sekujur tubuhnya penuh luka sayatan belatiku tapi anehnya dia seperti tidak merasakan sakit. Aku menghentikan serangan lalu mengambil langkah mundur segera untuk menarik nafas.
Namun, Darian memanfaatkan itu untuk menyerang. Dalam sekejap, aku berputar dan dengan sekuat tenaga menyerang balik.
" Hahahaha... Kau pasti anjing ratu bukan? Tapi kauh masih terlalu cepat seratus tahun untuk membunuhku sialan! " Dia tertawa, mengejekku seakan percaya bahwa aku akan segera mati.
Bagaimanapun hasil pertarungan ini, aku tidak akan menyerah begitu saja. Dengan pergerakan yang cepat dan akurat, aku berhasil meredam seranganya lalu membalikkan situasi dan memukul dadanya. Dia terlempar ke Pilar reruntuhan dan jatuh ke tanah. Darian tersungkur memuntahkan banyak darah.
" Kau kuat, tapi usia tidak bisa bohong. " Kataku melihat dia terengah-engah kehabisan nafas.
Dia hanya tersenyum lemah sambil mencoba berdiri lalu menyandarkan tubuh ke pilar itu. Dengan napas yang sudah kacau, aku berjalan sempoyongan menghampirinya. Aku mencekik lehernya sekuat tenaga.
...Jraaak!...
Aku menusukkan belatiku ke lehernya, memutar pelan lalu menariknya. Darah menyembur dan dia mengeluarkan suara menyedihkan seperti kambing yang tersembelih.
Kupikir semua sudah berakhir sampai satu pukulan melayang ke perutku. Aku terhuyung mencoba agar tidak jatuh lalu melihat kalau sosok yang memukulku adalah Rudy.
Dia membawa batu reruntuhan yang akan dipukulkan padaku. Meski sempoyongan, aku berhasil menghindari serangan itu lalu menendangnya sampai jatuh. Selanjutnya ku duduki perut Rudy dan kupukuli wajahnya dengan sisa-sisa tenaga. Ke luapkan semua dendamku di setiap pukulan hingga wajah Rudy babak belur.
Melihat Rudy sudah tak berdaya, aku pun turun dan duduk di sampingnya. " Untuk apa kau lakukan semua ini? "
" Apa yang sebenarnya terjadi di sini?! " Sebelum Rudy menjawab, kudengar suara lembut seorang wanita dari arah luar hutan.
Aku mencoba tetap berdiri dan mengambil belatiku yang patah. " Jika kau salah satu dari mereka, keluarlah! "
" Kau...? Anggota Faks... " Sahut wanita yang mendadak keluar dari kegelapan hutan. Tak kusangka ternyata suara itu adalah seorang Valkyrie yang mengenakan jubah hitam. Mereka berjumlah 8 orang.
" Valkyrie? " Kejutku. " Bagaimana bisa kalian ada di sini? "
" Kami mendapat perintah dari yang mulia ratu untuk menyelidiki aktifitas mencurigakan di salam hutan. Tapi sepertinya masalah disini sudah selesai berkatmu. "
Mereka melirik ke segala arah lalu melihat para mayat satu persatu hingga terpaku dihadapan mayat Darian. " Apa dia juga mati? "
" Dia pemimpin mereka. Kami sempat bertarung cukup lama dan aku berhasil membunuhnya. "
" Apa kau tau siapa dia? " Tanya Valkyrie lain dengan ratu wajah tak percaya.
Aku menunjukkan wajah bingung kemudian menggeleng, " Tidak. "
" Dia adalah El Assasino Darian. Seorang penjahat kelas kakap yang 19 tahun lalu membunuh raja kerajaan Faldor beserta keluarganya. Selain itu, dia adalah pemimpin sekte agama sesat bernama Pandora. "
" Pandora? "
" Ya, Pandora. Sekte agama yang menyembah iblis dan berencana menciptakan ilmu hitam. Mereka sudah membunuh 1666 gadis perawan dan akan melakukan ritual puncak di gerhana bulan tepat pada 666 hari. Reruntuhan kuil di sini konon dipercaya tempat iblis terbunuh, kemungkinan besar mereka ke sini untuk melakukan ritual terakhir mengingat malam ini adalah gerhana bulan. " Jelas pemimpin Valkyrie.
" Tapi aku melihat mayat gadis busuk disetubuhi apa itu termasuk ritualnya? "
" Aku tidak tahu. Tapi yang jelas kau sepertinya telah menghabisi salah satu anggota inti sekte Pandora. Dia adalah orang yang sangat dicari di kerajaan Faldor. Selain itu, berkatmu kami berhasil mendapatkan bukti mutlak keterlibatan kepolisian dengan sekte ini. 2 perwira itu adalah ajudan kepala kepolisian. Dengan bukti ini, baginda ratu bisa menyerang balik kepolisian agar mau tunduk. "
" Apa yang akan kamu lakukan dengan orang ini? " Tanya seorang Valkyrie lain.
" Mau menyiksanya? Kami sudah tau tentang kasus orang ini. " Sela pemimpin mereka melirik Rudy dengan sinis.
Aku melihat Rudy dan berfikir sejenak. Mataku menjelajahi sekitar dimana tumpukan mayat bergeletakkan akibat balas dendamku. Walau tertatih-tatih aku mencoba bangkit mengambil pedang yang tergeletak di kaki ku lalu berjalan ke arah Rudy.
" Sebanyak apapun manusia yang kau bunuh demi balas dendam, tidak akan bisa membuat anak itu hidup lagi. " Pungkas pemimpin Valkyrie itu. " Memang benar kau akan mendapat kenikmatan dan kepuasan balas dendam, tapi itu hanya sesaat dan sisanya hanya hampa. "
Aku mengacuhkan kata-katanya dan berjalan mendekati Rudy lalu menempalkan mata pedang pedang ke dada kirinya.
Hatiku dirundung kebimbangan apakah harus kusiksa atau langsung kubunuh?
Kututup mata sejenak mencoba memilih pilihan yang pantas untuk makhluk biadab seperti dia.
" Akhiri hidupnya dan biarkan para dewa membalas perbuatanya. " Sahut Valkyrie lain.
Mereka benar, aku langsung menusuk dada Rudy. Darah bercucuran keluar tapi dia masih memiliki tenaga untuk memberontak dengan memegang bilah pedang yang kutancapkan lalu berusaha berdiri. Matanya mengisyaratkan penyesalan tapi semua sudah terlambat. Kuputar pelan pedangku lalu kutarik hingga membuat Rudy tewas.
Aku kemudian mengambil kepala Silas yang sudah kubungkus kain. Hatiku hancur ketika mengangkatnya. Aku tak bisa membayangkan rasa sakit Silas saat menjelang kematiannya.
Betapa malang nasibmu Silas. Kau hidup dalam penderitaan bahkan kematianmu ditakdirkan seperti ini. Maafkan aku yang tidak bisa menyelamatkanmu. Tapi aku sudah membalaskan kematianmu dan aku harap kau bisa tenang di alam sana.
" Serahkan saja sisa disini kepada kami. Anak buahku akan menguburkan kepala itu di tempat jasadnya berada. Sekarang naiklah kereta kuda kami, para anak buahku akan mengantarmu ke rumah sakit. "
" Antar aku ke rumah saja. Lagipula luka-lukaku tidak terlalu dalam dan tidak perlu dijahit. "
" Oh ya mumpung bertemu denganmu di sini. Aku ingin menyampaikan pesan kalau Baginda Ratu ingin bertemu denganmu besok. "
" Baik... "
Aku bergegas berjalan ke kereta kuda di pinggir hutan. Selama perjalanan, aku dijaga oleh 2 Valkyrie. Setidaknya dengan pengawalan mereka, aku bisa istirahat sejenak dalam kereta kuda sampai tak terasa aku sudah tiba di depan rumah.
Dengan rasa kantuk berat kulihat rumah kecilku. Nampak cahaya kuning lampu dari jendela dan kepulan asap melebur keluar dari cerobong.
Apa mungkin Lena datang lagi?
Kubuka pintu rumahku, sama seperti saat itu di depan meja ruang tamu banyak makanan tersaji tapi tak kudapati seorangpun di ruangan ini maupun di dapur. Aku duduk di kursi mencoba meregangkan badan.
" Sudah pulang? "
Kudengar suara familiar seorang wanita dari lantai 2. Suara seorang wanita yang cukup jarang kudengar walau aku sudah sempat bertemu dengannya.
Kupalingkan pandanganku ke arah tangga dan seorang wanita paruhbaya dengan rambut yang mulai memutih tersenyum tulus padaku dari tangga. Ya, dia adalah ibu angkatku. Bibi Elis.
" Apa kerjamu berat sampai sekujur tubuh penuh luka? " Tanya bibi yang berjalan ke lemari tempat aku menyimpan obat dan alat medis.
" Ya begitulah. Seorang prajurit pasti berteman dengan luka dan sakit begini, " Sahutku.
" Daripada dewa kematian, mengapa tidak berteman dengan dewa keabadian? " Balas bibi sambil tertawa kecil.
Sangat nostalgia sekali rasanya bisa mendengar candaan bibi Elis. Dia orang yang tenang dan periang. Saat dirawat mereka, aku sering terluka akibat ceroboh dan justru yang panik paman Cooper sementara bibi mengobati dan membuat suasana tenang.
" Apa bibi yang memasak ini? "
" Ya, Lena juga membantu. Seharian ini dia tidak meninggalkan rumahmu, "
" Lalu dimana dia? "
Bibi mengangkat telunjuk kanan, " Dia tidur di kamarmu. "
" Oh ya, Lena orangnya sangat overprotektif. Kalau dia tau kau terluka pasti dia tidak akan tinggal diam. Usahakan berbohong jika Lena bertanya, " sambung bibi Elis.
" Baik bibi. "
Bibi Elis kemudian mengobati luka-lukaku dengan lembut. Dia paham apa saja obat yang harus dipakai. Wajar saja Paman dan bibi adalah mantan dokter yang kenyang pengalaman entah di rumah sakit atau medan perang. Berkat mereka juga, waktu kecil aku memahami sedikit ilmu medis.
" Aku akan bangunin dia buat makan malam bersama, " ucap bibi setelah selesai mengobati lukaku.
Tak berselang lama bibi turun lalu sambil menggandeng tangan Lena. Pesona kecantikan gadis itu saat bangun tidur membuatku terpana. Mataku tak berkedip menatap paras cantik Lena yang menuruni tangga.
" Bau antibiotik? " Ucap Lena. " Ibu siapa yang terluka? "
" Kamu tanyakan saja pada orang yang duduk di ruang tamu itu. " Jawab bibi. Dia seperti sengaja agar aku mencari alasan pada Lena.
" Kakak? " Panggil Lena.
" Iya. Maaf aku baru pulang karena sibuk dengan pekerjaanku, "
" Kakak terluka? "
" Cuma kegores sedikit. "
" Apa benar? " Lena berjalan mendekat mencoba merabaku.
" Baiklah-baiklah mari kita makan malam sebelum makananya dingin. " Sela bibi Elis menyelamatkanku.
Kami pun makan malam bersama sambil bercerita. Aku juga menanyakan kenapa paman Cooper tidak ke sini dan aku baru saja diberitahu kalau kesehatan paman sedang menurun dan malam ini belum bisa diajak keluar.
Penjelasan bibi membuatku sedih tapi aku juga tidak bisa membantu apa-apa. Sebagai seorang mantan dokter, paman dan bibi sudah tau apa penyakit yang di derita sekaligus obatnya. Sekarang yang kubisa adalah berdoa agar kedua orang tua angkatku tetap sehat dan hidup bahagia.
^^^To be continue^^^