Reno, adalah putra kedua dari tiga bersaudara. Papanya memiliki jabatan yang tinggi di suatu instansi pemerintah dan mamanya seorang pengacara terkenal, kakanya jebolan sekolah kedinasan yang melahirkan Intel negara. Sementara dia anak tengah yang selalu dibanding-bandingkan dengan kesuksesan sang Kaka, berprofesi sebagai TNI berpangkat Bintara. Tapi Reno adalah anak yang penurut dan paling berbakti pada kedua orangtuanya.
Keinginannya menjadi seorang TNI karena kejadian luar biasa yang mempertemukan dirinya dengan sosok yang sangat dia kagumi, sosok idola yang merubah hidup dan cara pandangnya.
Hingga pada suatu hari takdir mempertemukan Reno dengan Kanaya yang membantu cita-citanya menjadi seorang TNI terwujud.
Kanaya menemani Reno dari nol karena Reno tidak mendapatkan dukungan dari kedua orangtuanya.
Apakah cinta kasih Reno dan Kanaya akan berlanjut ke pelaminan, atau Kanaya hanya dimanfaatkan Reno saja untuk mencapai cita-citanya?
Yuks ikuti kisah Reno di Cinta Bintara Rema
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 : Anak Koruptor
Keaakk ... Keaakk ...
"Aww ... Ahhh ... Aduh! To—long ... Eyang!!" Reno mengaduh dan berjongkok melindungi wajahnya dari serangan burung elang milik Eyang Cipto.
Lansia itu hanya melipat tangan di dadanya, menatap Reno dengan tatapan tajam dan sorot mata yang tak terbaca. Seakan kejadian itu menjadi tontonan yang menarik bagi Eyang Cipto.
"Eyaaang!! Tolongin Reno ... Aku mohon eyang!" jerit Kanaya yang baru saja datang membawa cemilan ke arah taman.
Kanaya segera berlari ke arah kandang raksasa, dan berusaha membuka pintu pagar kandang.
"Romo ... Stop!" Lansia tua itu memerintah hewan liarnya untuk kembali ke tangannya yang sudah diulur dan diberi sarung tangan pelindung.
Dengan gugup dan susah payah Kanaya berusaha membuka Grendel kandang lalu mengeluarkan Reno yang sudah terluka di bagian punggungnya.
Wajah Reno pias, sorot mata ketakutan, tangannya gemetar. Saat pintu kandang terbuka, Reno langsung melompat keluar kandang dan berlari kencang ke arah rumah utama. Kanaya segera mengejarnya, dan menahan tubuh Reno.
"Ren! Tenang Ren. Luka kamu harus diobati." Kanaya memeluk pinggang Reno dengan erat.
Akan tetapi Reno sudah terlalu shock, dia mendorong tubuh Kanaya sekuat tenaga. Dalam benaknya hanya ingin melarikan diri dan keluar dari rumah itu segera. Pemuda itu berlari sekuat tenaga tanpa alas kaki hingga ke jalan raya.
Setelah dirasa kakinya semakin lelah, Reno melambatkan gerak langkahnya dengan napas terengah-engah. Dengan tangan gemetar dia merogoh ponsel di dalam saku lalu menghubungi Dumas, sahabatnya.
"huu ... huu ... Dum! Tolongin gue, dum! Cepet dum! Tolong!" tangan kiri memegang ponsel dan tangan kanan memegang dadanya yang terasa nyeri karena intensitas degup jantungnya yang tidak karuan.
"Lo kenapa! lo dimana!" jawab Dumas ikutan panik
"jemput gue di—" Reno celingak celinguk mencari tanda untuk titik jemput
" ... gue di depan halte Rumah sakit Mayapada" Reno berjalan lemah agak membungkuk ke arah halte
Reno duduk termenung dengan menahan luka yang semakin perih dan mengeluarkan darah segar, banyak orang yang bertanya padanya, tak sedikit orang yang berempati, bahkan ada yang menawarkan diri untuk memeriksa luka-lukanya namun pemuda itu diam seribu bahasa.
Setelah menunggu hampir empat puluh lima menit, motor sport Dumas telah sampai di titik jemput.
"Ren ... lo kenapa dah! Kok punggung lo berdarah? lo tawuran?!" Dumas terlihat sangat panik melihat penampilan sahabatnya yang mengenaskan.
Tanpa mengeluarkan satu patah kata pun, Reno langsung naik ke kursi penumpang motor Dumas.
"Antar gue pulang ... " lirih Reno
"Wait! Gue gak bakal bawa lo pulang dalam kondisi seperti ini. Gue bawa Lo ke rumah Dea aja, biar luka lo diobati dulu." tegas Dumas memberi keputusan.
"Terserah lo" pasrah Reno
Sepanjang perjalanan ke rumah Dea, kedua sahabat itu tidak ada yang mengeluarkan suara. Mereka berdua diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Setiba di rumah Dea, Reno langsung dibawa ke ruang praktek mama Dea yang berprofesi sebagai dokter umum.
"Ya ampun ... Kamu tawuran Ren?" tanya mama Dea dengan wajah cemas.
Reno hanya diam. Dia berusaha membuka kemejanya yang sudah tercabik-cabik dan berlumuran darah. Wajah Dumas menegang, dia juga kesal karena Reno tidak juga buka mulut akan apa yang menimpa dirinya.
Pemuda itu hanya memejamkan mata saat tangan mama Dea membersihkan luka-lukanya, dan memberi jahitan di luka yang terbuka lebar. Selesai semua luka dibersihkan dan diberi suntikan tetanus, Dumas yang sejak tadi hanya diam dan khawatir, kini mendekati Reno dengan wajah geram.
"Lo jangan diam terus, lo kenapa? Siapa yang bikin lo kayak gini, Ren!" geram Dumas sambil memegang bahu sahabatnya.
"Gue gak apa-apa ... Udah lo jangan khawatir!" tepis Reno
"Gimana gue gak khawatir, kondisi lo kayak gini. Sekarang motor lo mana? sepatu lo? lo abis di rampok?" cecar Dumas
"Dum, udahlah ... Gue butuh pikiran yang tenang. Gue gak apa-apa, sumpah!" tepis Reno lagi
"Aarrggkk ... " Dumas membanting kunci motornya
"Lo minta tolong sama gue, tapi lo main rahasia-rahasia sama gue ... Temen macam apa lo!" maki Dumas
"Gue bakal cerita, tapi gak sekarang. Gue mau nenangin diri dulu. Tolong ngertiin gue ... sekarang antar gue pulang" pinta Reno
Di rumah Kanaya
"Apa salah Reno, Eyang!" pekik Kanaya
"Karena dia anak koruptor! Eyang tidak akan membiarkan kamu bergaul dengan anak dari manusia sampah seperti itu!" tegas jawaban Eyang Cipto, membuat mata Kanaya membelalak.
"Tapi Reno bisa saja tidak bersalah, Eyang! Sama seperti aku anak mama yang menjadi Pelakor. Apa aku juga pantas dijauhi dan dijuluki Pelakor, sementara aku sangat membenci perbuatan itu ... " ratap Kanaya
"Itu berbeda Naya! Kamu tidak bisa menyamakan koruptor dengan Pelakor!" sanggah Eyang Cipto
"Apa bedanya? Mereka sama-sama mengambil hak orang lain dan pengkhianat!" bantah Kanaya
"Sudah! Kamu masih kecil gak ngerti apa-apa!" bentak Eyangti
"Aku memang masih kecil, tapi aku punya hati nurani Eyang! Apa eyang gak lihat wajah ketakutan Reno tadi. Aku kasian Reno Eyang ... Hiikks" Kanaya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Jauhi Reno, Kanaya! Eyang akan sangat marah kalau kamu masih berhubungan dengannya!" Kecam Eyang Cipto
Gadis itu menatap wajah kedua Eyangnya dengan tatapan nanar, dia langsung berlari ke lantai atas, dimana kamarnya berada. Dia menumpahkan kesedihannya di atas bantal ... dan, pikirannya tidak bisa berhenti untuk tidak memikirkan Reno.
*
*
Dua hari sudah Reno tidak mengikuti pelajaran offline yang baru saja dimulai satu Minggu lalu. Badannya demam semenjak pulang dari rumah Kanaya, yang lebih sakit dia rasakan adalah psikisnya. Hatinya terluka, saat kata-kata anak koruptor tersemat di keningnya dan menjadikan dia hina di mata orang lain.
Orang lain hanya melihat kulit luarnya saja, bahwa papanya korupsi uang negara. Seakan hasil korupsinya menjadi santapan nikmat untuk seluruh keluarganya. Tanpa oranglain tahu dan mungkin tak ingin tahu, kemana uang itu disalurkan papanya, bukan ... sekali lagi bukan untuk mereka (anak-anaknya) nikmati. Tapi hanya untuk kesenangan papanya sendiri.
Dia lah saksi hidup bagaimana sang mama banting tulang sendirian untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Lagi-lagi Kanaya menatap kursi kosong yang biasa di duduki Reno, wajahnya lesu saat jam pelajaran di mulai, sosok yang dia nantikan tidak kunjung hadir.
Saat jam istirahat Kanaya memberanikan diri menanyakan pada Dea.
"Dea, Reno gak masuk lagi, kemana ya?" tanya Kanaya
"Masih sakit mungkin, Nay. Luka-lukanya lumayan parah, ada dua luka yang harus dijahit mamaku." jawab Dea
Kanaya langsung menunduk, menyembunyikan wajah sedihnya, hatinya begitu cemas jika Reno akan membencinya. Airmatanya menetes tanpa dia minta.
"Nay, kamu gak ke kantin?" tanya Dea.
Masih dengan menunduk Kanaya menggelengkan kepalanya.
"Oke, gue ke kantin ya ... " pamit Dea
"Dea! Boleh gak aku nitip sepatu Reno. Waktu itu tertinggal di rumahku. Aku gak tau alamat Reno ... " dengan nada ragu Kanaya menghentikan Dea.
"Oke, taruh aja di laci gue , Nay. Pulang sekolah kita mau besuk Reno. Apa Lo ikut aja?" ajak Dea.
Kanaya terlihat ragu, "Lihat nanti aja deh ... "
Dea langsung meninggalkan Kanaya dan bergegas ke kantin.
Kanaya merebahkan wajahnya di lengan yang dia lipat di atas meja dan menutupi wajahnya dengan buku.
"Ren, cepat sembuh ya ... " lirihnya sambil menatap chatnya yang belum di buka Reno sejak hari itu.
Bel masuk berbunyi, riuh suara-suara para siswa memasuki ruang kelas.
"Gue rasa ada yang dendam sama Reno, Dum. Bisa jadi si Dylan, karena Naomi mutusin dia dan Naomi mau balikan sama Reno" asumsi Aldo
"Gue gak tau, bro! Jangan asal nuduh. Lagian gue yakin Reno gak bakalan mau balikan sama Naomi." sanggah Dumas
"Atau jangan-jangan anak SMAN sebelas yang ngeroyok sohib kita, Dum!" timpal Leo
"Stop ya! Gue gak mau komentar apapun selagi Reno belum cerita. Kita jangan gegabah, kalau kita bergerak tanpa tau masalahnya bisa-bisa kita yang dituduh pengeroyokan." Dumas berusaha meredam amarah teman-temannya.
Kanaya bergidik mendengar obrolan gerombolan anak cowo yang sudah memanas, mereka begitu solid pada Reno.
Saat jam pulang sekolah, para siswa sudah berkumpul di parkiran. Mereka merencanakan membesuk Reno.
Ingin rasanya Kanaya mendekat dan meminta ikut membesuk Reno. Akan tetapi dia tidak terlalu akrab dengan teman-teman di kelasnya, hanya Reno yang selama ini dengan sukarela menemani dan menjaganya dari gangguan cowok-cowok dari kelas lain yang mengganggu.
Saat Kanaya ingin mendekat, dari arah lain datang Naomi dengan berteriak memanggil Dumas dan Aldo.
"Dum ... Do ... Barusan gue hubungi Reno, dan dia bisa dijenguk di rumah. Gue nebeng motor lo ke rumah ayang gue ya, Do!" Ucap Naomi dengan nada tinggi sambil melirik Kanaya.
"Yakin lo? Emang Reno ngizinin lo Dateng ke rumahnya?" sangsi Aldo
"Yakin lah, gue udah balikan sama Reno. Nih baca aja chat gue sama Reno ... " Naomi melirik ke arah Kanaya.
Naomi sengaja mengatakan kebohongan di depan Kanaya, karena Naomi sudah memperhatikan hubungan Reno dan Kanaya selama pembelajaran offline dimulai. Gadis itu sengaja memanasi Kanaya, agar Kanaya tahu bahwa Reno adalah hanya miliknya, kekasihnya.
Kanaya yang tadinya terpaku di dekat parkiran, kini membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah gerbang sekolah dengan perasaan gamang, entah apa yang dia rasakan saat ini, namun saat Naomi bilang sudah balikan, ada nyeri di hati Kanaya, seakan dia tidak rela kehilangan Reno.
*
*
Bruummm ... bruummm ... Suara knalpot saling bersahutan.
Mereka sudah sampai di pelataran rumah Reno yang asri penuh tanaman bunga, saat Reno sedang serius memberi makan ayam jago peliharaannya.
"Reno ... !" Naomi langsung menghambur ke pelukan Reno
"Aww ... Apa-apaan sih kamu Nom!" Reno mengaduh dan mengurai pelukan Naomi.
Karena Naomi menekan luka di punggungnya. Dan yang membuatnya kesal kenapa gadis itu jadi sok mesra padanya. Interaksi dengan Naomi yang sudah lama Reno hindari dan jauhi.
"Reno, aku dengar dari anak-anak, punggung kamu terluka. Kamu kenapa Ren? Ada yang jahatin kamu?" tanya Naomi cemas yang dibuat-buat.
Reno menatap Dumas, menunggu jawaban sahabatnya itu. Karena yang tahu luka di punggungnya hanya Dumas, Dea dan Kanaya.
Dumas hanya menunduk mendapat tatapan penuh selidik dari Reno.
"Gue gak apa-apa ... Kenapa lo pada khawatir sih!" Reno menampik pikiran cemas teman-temannya.
"Kita semua pengen tahu siapa yang melakukan ini sama lo, bro! lo gak bisa dong biarin kita berpikir liar." cecar Leo
"Ini urusan pribadi gue! Kalian gak usah ikut campur." tegas Reno
Kelima sahabat Reno hanya saling tatap, mereka berusaha menghargai keputusan Reno menyimpan masalahnya sendiri, namun mereka juga membuat pola akan pemikiran mereka dan mencari jawaban dari praduga.
Terutama Dumas, dia tahu hari itu sahabatnya dengan bahagia menceritakan akan bermain dengan Romo dan Romi di rumah Kanaya.
'Motor yang hilang. Sepatu Reno yang dititipkan Kanaya'
"Fix, Kanaya! Kuncinya pasti ada di Kanaya!" gumam Dumas
...☘️☘️☘️☘️☘️...
B e r s a m b u n g ...
Hai Readers, tulisanku jauh dari kata sempurna. Mohon masukan, kritik dan sarannya ya ... Terima kasih 🩷🙏🫰