NovelToon NovelToon
Serafina'S Obsession

Serafina'S Obsession

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Romansa Perdesaan / Mafia / Romansa / Aliansi Pernikahan / Cintapertama
Popularitas:49
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."

🌊🌊🌊

Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.

Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.

Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.

Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.

Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.

Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.

Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14. Bayang-bayang Di Atas Tebing

Pekerjaan di pelabuhan usai tepat pukul tujuh. Marco mengemas beberapa ekor ikan terbaik ke dalam box es kecil dan menyodorkannya kepada Elio, yang dengan sigap menerimanya. Marco menyulut rokok, menghembuskan asap ke udara pagi yang segar.

“Untuk Nonna Livia,” ujar Marco. “Meski mungkin hanya kalian berdua yang akan memakannya.”

“Grazie,” balas Elio dengan nada dingin, lalu berbalik pergi. 

Serafina, yang memegang mantel tebal Elio, mengikutinya dengan langkah lesu. Kelelahan bukan hanya karena bangun pagi dan muntah-muntah di kapal, tapi juga karena beban harapan yang pupus. Tidak ada tanda-tanda Rafael. Kegiatannya memilah ikan hanya menyisakan bau amis yang menempel di mana-mana.

Tanpa sadar, Serafina mengangkat mantel dan menciumnya, berharap menemukan kenyamanan. Tapi yang tercium adalah bau ikan yang kuat, membuatnya mual. Dia refleks menutup mulut, tapi lupa bahwa sarung tangannya masih penuh sisik dan bau ikan. Sisik-sisik itu menempel di sekitar bibirnya.

Elio yang melihatnya segera menaruh box ikan di sebuah meja dekat mereka. Dengan gerakan hati-hati yang kontras dengan raut wajahnya yang masam, dia membersihkan sisik-sisik itu dari wajah Serafina menggunakan sapu tangannya. “Stai attenta,” gumamnya.

*Lebih hati-hati

Marco mengamati dari kejauhan, semakin yakin dengan kecurigaannya. Elio bukan sekadar kakak yang protektif. Ada intensitas yang berbeda dalam caranya merawat Serafina. Marco punya adik perempuan, dan dia tidak pernah separah ini. Atau mungkin hanya dirinya yang aneh?

Tiba-tiba, Mila berlari keluar dari rumah. “Kaka Sera!” serunya riang. Dia mendekat dan mengulurkan sepotong kue bolu gulung stroberi yang sudah digigitnya. “Untuk Kaka Sera!”

Serafina yang lelah langsung tersenyum. Dia jongkok dan menggigit kue itu tanpa ragu. Elio menghela napas panjang, jijik melihat Serafina makan sisa anak kecil.

“Grazie, Piccolina,” bisik Serafina sambil mencium pipi Mila. “Kakak pulang dulu, ya? Nanti siang atau sore kita main lagi.”

Mila melambai, dan Serafina melanjutkan perjalanan pulang dengan Elio yang kembali mengangkat box ikannya.

Di rumah Livia, sang nenek segera mengolah ikan segar itu untuk sarapan. Setelah mandi dan menunggu makanan siap, Serafina merebahkan diri di sofa, menatap langit biru tak berawan melalui jendela. Kelelahan dan kekecewaan akhirnya menyerah. Matanya terpejam, dan dia tertidur dengan rambutnya diterpa angin sepoi-sepoi.

Elio keluar dari kamarnya, hanya mengenakan celana panjang dan kaos oblong, rambutnya masih basah ditutupi handuk. Matanya langsung tertuju pada Serafina yang tertidur pulas. Ekspresi wajahnya melunak, dipenuhi oleh perasaan rumit yang selalu dipendamnya.

Nonna Livia, yang diam-diam memperhatikan dari dapur, memahami segalanya. Dia memotong momen itu dengan sengaja.

“Sarapan sudah siap,” panggilnya.

Elio menghela napas. “Biarkan dia tidur, Nonna. Dia lelah. Dan ... aku lelah mendengar nama Rafael begitu dia bangun.”

Mereka pun sarapan sementara Livia bertanya tentang perjalanan pagi tadi. Elio menjelaskan dengan singkat. Serafina muntah, tidur di kapal, lalu nekat memilah ikan.

...🌊🌊🌊...

Sore harinya, Serafina bermain dengan Mila di padang rumput. Mereka berlarian mengejar domba-domba yang lucu. Dari gazebo, Matteo dan Carlo mengawasi mereka dengan senyum sedih.

“Sampai kapan kau akan berharap?” tanya Carlo.

Matteo mengerutkan kening, tatapannya tetap pada cakrawala. “Aku tidak percaya dia sudah meninggal. Tidak tanpa bukti,” balasnya memikirkan anak tengahnya yang pekerja keras.

Carlo mengangguk pelan. “Kalau begitu, aku akan percaya sepertimu,” ujarnya.

Di kejauhan, Mila menarik-narik gaun Sera. “Mila ingin naik domba!”

“Itu berbahaya,” kata Serafina khawatir.

“Mila tidak pernah jatuh!”

“Ada Kak Rafa yang menangkapmu. Kak Sera tidak bisa melakukannya.”

Mila mendengus kesal dan mulai mengelus-elus kepala seekor domba. 

Serafina tersenyum lalu mengangkat Mila. “Ayo kita lihat matahari terbenam saja.”

Mila berseru girang. “Laggiù! Di dekat tebing! Lebih jelas!”

*Disana

Mereka pun berjalan ke tepi tebing dan duduk di atas sebuah batu besar, berbagi bekal kue dari tas kecil Mila. Pemandangan laut dari atas begitu memesona.

Tiba-tiba, sepasang sepatu putih muncul di samping mereka. Elio berdiri di sana, wajahnya tidak berubah. “Aku hanya tidak ingin dua gadis yang meratapi Rafael terjun dari sini,” ujarnya.

Serafina menatap lautan di bawah. Ada hamparan pasir putih yang indah.

“Mila dan Kaka Rafa sering membuat istana pasir di sana!” celetuk Mila.

Serafina tersenyum getir. “Kalau begitu, kita akan buat lagi ketika dia pulang.”

Mila berseru senang. 

Elio menghela napas dalam. Rafael, Rafael, selalu Rafael. Akankah laut yang kejam itu benar-benar mengembalikannya?

Matahari mulai terbenam, melukis langit dengan warna jingga, merah, dan ungu. Pemandangan itu begitu memukau. Mila berseru kegirangan. 

Elio, yang memperhatikan mereka, tiba-tiba bertanya pada Mila, “kau sangat menyayangi kakakmu?”

Mila mengangguk antusias. “Sì! Kaka Rafa selalu menjaga Mila. Mila merasa punya dua Papà!”

*Ya

Kata-kata polos itu menusuk hati Elio. Tiba-tiba, sebuah bayangan aneh terlintas di pikirannya. Dia membayangkan Mila yang duduk di antara mereka bukan sebagai adik Rafael, tetapi sebagai gambaran masa depan. Sebuah masa depan di mana dia, Elio si pengawal, akhirnya berhasil mendapatkan hati sang putri haram keluarga Romano, dan Mila adalah putri kecil mereka. Sebuah khayalan yang manis dan mustahil.

Serafina, yang tidak menyadari lamunan Elio, menatap ke arah pelabuhan. Kapal pencarian yang lain kembali mendarat. Lagi-lagi, tanpa hasil. Dia menghela napas panjang, rasa harap yang tersisa di hatinya kembali tertusuk oleh kenyataan pahit. Laut tetap diam, menyimpan rahasianya dengan angkuh.

Seperti ritual yang sia-sia, matanya yang sudah pudar menyusuri setiap sosok yang turun dari kapal. Lima orang kru, seperti biasa. Wajah-wajah lelah yang sama, bahu yang sama-sama mengendur oleh beban yang bukan hanya ikan.

Tapi hari ini, sesuatu berbeda.

Sebelum suara atau bentuk yang jelas teridentifikasi, sesuatu yang sublim menangkap perhatiannya. Sebuah pola, sebuah ritme yang asing.

Satu... dua... tiga... empat... lima...

Lima pasang sepatu boots kotor yang biasa mendarat di dermaga kayu.

Dan... enam.

Keenam.

Kaki itu bergerak tertatih, terpisah dari kelompok lainnya. Langkahnya pincang dan lemas, seolah setiap pijakan adalah siksaan. 

Serafina berkedip, memastikan penglihatannya tidak bermain-main. Jantungnya yang sudah mati suri tiba-tiba berdebar kencang, memompa adrenalin yang membuatnya pusing.

Dia tidak bisa melihat tubuhnya. Tubuh itu tersembunyi di balik badan kapal dan kerumunan kru yang mengelilinginya dengan cara yang aneh—bukan seperti biasa, tapi dengan kaku, seolah menahan sesuatu ... atau seseorang.

Tapi kakinya. Itu adalah sesuatu yang familiar. Cara kakinya yang lebar itu menapak, meski sekarang tertatih-tatih. Cara celananya yang robek di beberapa tempat, menggantung di betis yang kuat meski kini tampak goyah.

Kemudian, angin sore bertiup, membawa serta sebuah aroma—campuran garam, darah kering, dan sesuatu yang lain ... sesuatu yang primal, seperti tanah dan akar.

Dan di ujung aroma itu, seperti sebuah hantu yang tersisa, adalah jejak wewangian sabun jeruk yang biasa dipakai Rafael.

Serafina mendadak tidak bisa bernapas. Tangannya mencengkeram dada. Dunia di sekelilingnya—celoteh Mila, kehadiran Elio, teriakan di pelabuhan—semuanya meredam menjadi desis putih.

“Tidak mungkin. Itu hanya harapanku yang mengkhianatiku.”

Tapi kemudian, kerumunan itu sedikit terbuka. Sebuah bayangan tinggi, lebih kurus dari yang dia ingat, dengan rambut pirang yang kusut dan penuh pasir, membungkuk dalam kelelahan yang amat sangat. Sebuah lengan yang di-gips secara darurat dengan kayu dan kain terkulai di sampingnya.

Dan di saat bayangan itu mengangkat wajahnya, menatap lurus ke arah tebing, ke arahnya, Serafina melihat dua titik cahaya hijau keabu-abuan, redup dan penuh lara, tapi masih menyala.

Seperti dua bintang yang nyaris tenggelam, tapi berhasil bertahan.

Dunia berhenti.

“Rafael?” 

Namanya terlantun dari bibir Serafina seperti doa yang pecah, terlalu pelan untuk didengar siapa pun kecuali angin.

...🌊🌊🌊...

“Apakah sakit?” tanyanya, mata besarnya berlinang.

“Tidak. Gipsnya keras. Seperti batu.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!