Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Miss Ki
🦋
"Kenapa gelang itu tidak berfungsi?!" Suara Shara memecah keheningan ruang sempit yang hanya diterangi lampu minyak. Matanya menyala penuh amarah. "Apa kau sedang menipuku, Mbah Santoso?"
Ia tidak pernah mengalami kegagalan seperti ini. Gelang itu, senjata pamungkasnya untuk menaklukkan wanita dan menguras harta atau bahkan merenggut jiwa, selalu bekerja. Selalu. Kecuali… sekarang.
Mbah Santoso mengangkat kepalanya perlahan, menatap Shara dengan sorot tajam. Keriput di wajahnya tampak makin dalam, seolah setiap garis menyimpan rahasia kelam.
"Itu… tidak mungkin. Semua pemikat buatanku tak pernah gagal," suaranya berat dan dingin. "Tidak ada manusia yang bisa menolak."
"Lalu kenapa Auliandra tidak bereaksi sama sekali? Dia bahkan menolak memanggilku ibu dan menghinaku di depan banyak orang!"
Tatapan Mbah Santoso mengeras. "Pasti ada yang tidak beres."
"Kalau begitu, berikan aku sesuatu yang lebih kuat daripada gelang itu!" Shara mencondongkan tubuh, nadanya mendesak.
Mbah Santoso terdiam, menghitung sesuatu dalam pikirannya. Jika gelang itu tak mempan, berarti ada perlindungan yang lebih besar dari kekuatanku… tapi siapa?
"Setiap benda pemikat butuh tumbal," ucapnya akhirnya.
Shara mengangkat dagu. "Tumbal apa?"
"Bayi. Usianya di bawah satu tahun."
Sejenak, rahang Shara mengeras. Ia pernah memberi banyak tumbal sebelumnya, tapi permintaan ini… berbeda. Sulit.
(Di mana aku akan menemukan bayi seperti itu?) pikirnya, tapi ego dan ambisinya menenggelamkan keraguan.
"Aku setuju."
Kata-kata itu keluar tanpa ragu, menegaskan bahwa Shara bukan lagi manusia biasa. Ia sudah melangkah terlalu jauh, menghalalkan segala cara demi ambisinya.
Shara meliriknya tajam. "Kau masih menyimpan jiwa itu?"
"Tentu." Mbah Santoso menyeringai, lalu wajahnya berubah kesal. "Tapi tidak bisa kulakukan apa-apa padanya. Jiwa itu… terlalu kuat. Sejak dalam kandungan, dia menyerap seluruh kekuatan white magic ibunya. Itu sebabnya aku tak bisa menyentuhnya."
"Jiwa itu…" Mbah Santoso tersenyum miring. "Hanya dia yang bisa mendekat kepadanya."
Shara menatapnya lekat. "Aku tidak mungkin membawanya ke sini."
"Kalau begitu, kau tak punya pilihan. Hanya dia satu-satunya jalan."
Nada Mbah Santoso dingin, tapi di matanya ada sinar licik. Ia ingat, dulu saat memindahkan jiwa itu ke dalam kristal, separuh kekuatannya hilang. Jiwa itu bagaikan matahari yang membakar kulitnya, terlalu murni bagi black magic.
Shara memutar otak. Ia harus menemukan cara untuk menarik "dia" ke sini. Jika berhasil, perusahaan Wardana akan berada di puncak dunia… dan semua yang menghalangi akan hancur.
"Kalau ingin menggunakannya, carikan tubuh untuk menampung jiwa itu," pesan Mbah Santoso.
"Akan kucari. Setelah aku memberimu tumbal."
Shara melangkah keluar dari rumah reyot di pinggir hutan. Bambu-bambu tinggi di sampingnya berdesir pelan, dan suara sungai di dekatnya terdengar seperti bisikan rahasia. Tempat ini… akan tampak seperti neraka jika dilihat pada malam hari.
Dari balik bayang-bayang, seorang pria memperhatikan. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
"Aku harus memberitahunya." tangannya cepat mengirim pesan pada seseorang.
***
Malam itu, di atap Mansion Redmoon, Miss Ki duduk sendirian. Dress hitam elegan membalut tubuhnya, bahannya sutra yang jatuh mengikuti lekuk, dihiasi manik-manik batu amethyst di pinggang. Bulan purnama memantulkan cahaya ke kulitnya, membuatnya tampak seperti makhluk yang tidak sepenuhnya milik dunia ini.
"Apa yang kau pikirkan?" suara Ed memecah kesunyian, tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.
"Hanya… menikmati malam."
Pandangan Miss Ki tetap pada bulan, matanya seperti menyimpan rahasia.
"Apa kau bosan?" tanya Ed lagi.
Miss Ki tak menjawab, hanya mengangguk, gerakan kecil yang justru memohonkan sesuatu. Ekspresi itu membuat Ed menghela napas, pasrah pada keinginan yang tak pernah bisa ia tolak.
"Baiklah… ayo." tangannya melingkari pinggang Miss Ki, lalu keduanya terjun bebas. Bagi Miss Ki yang takut ketinggian, ini seperti mimpi buruk, matanya terpejam rapat. Ed mendarat sempurna, lalu mengecup kelopak matanya lembut. Jaraknya hanya 40 meter, tapi cukup membuat jantung Miss Ki berpacu.
Malam itu, mereka berjalan di pusat perbelanjaan termewah di kota. Miss Ki tanpa topeng butterfly, izin khusus dari Ed. Wajahnya terpahat sempurna, rambut dark blue bergelombang, dan kalung ruby di lehernya membuatnya memancarkan aura yang tak bisa diabaikan. Orang-orang menoleh, beberapa bahkan menatap terlalu lama.
"Aku ingin es krim," katanya singkat.
Saat Ed memesan, Miss Ki membuka ponsel. Instagram Wardana Grup sudah menutup kolom komentar, mencegah hujatan publik.
Senyum tipis terbentuk di bibirnya. "Tidak akan kubiarkan kalian tenang." Ia mengirim pesan singkat: Buka komentarnya. Sekarang.
Lalu terdengar suara. "Kiran?"
Ia mendongak. Jevano berdiri di depannya, penuh tanya.
"Kenapa tidak memakai topeng? Mana Edwin? dan kenapa kau berada di sini?"
Kiran/Miss Ki mendengus. "Berhenti bertanya, Jev. Aku bingung jawab yang mana dulu."
Ed kembali dengan tiga es krim. Jevano memandangnya curiga, tapi Edwin hanya tersenyum tipis.
"Aku tahu kau akan datang."
Mereka duduk bertiga. Pembicaraan beralih pada kekuatan Kiran, pemulihan yang seharusnya butuh tujuh tahun tapi kini selesai jauh lebih cepat.
"Berkat kekuatan ganda," jelas Edwin.
Jevano tersenyum, jarang sekali keduanya akur seperti ini.
Kiran, tergoda, memotret momen itu.
Cekrek
Dua pasang mata langsung mengarah padanya. "Berikan ponselmu," suara Edwin lembut tapi mengancam.
"Sekarang," tambah Jevano, sama dinginnya.
Kiran menelan ludah. "A-Auliandra!" serunya tiba-tiba. Keduanya refleks menoleh, dan ia langsung kabur.
"Jev, hukuman apa yang cocok untuk wanitaku!" geram Edwin, ia merasa sudah di bodohin oleh Kiran
"Sepertinya harus mengurungnya di Mansion selama sebulan" jawab Jevano yang kesal karna di bohongi oleh Kiran
"Baiklah, yang mendapatkannya berhak mengurungnya di kediaman masing-masing, setuju?"
"Setuju"
Kiran berlari tanpa menoleh, napasnya memburu. Di antara kerumunan, langkahnya ringan tapi tergesa. Kalau mereka sampai menangkapku, tamat sudah.
Matanya menyapu cepat area sekitar. Sebuah toko pakaian yang sepi pengunjung, terlihat di sisi kiri. Plangnya bertuliskan WISTARA, hurufnya sudah mulai pudar. Tempat yang sempurna.
Ia menyelinap masuk, aroma kain dan parfum murah bercampur memenuhi udara. Tubuh rampingnya memudahkan ia bersembunyi di balik deretan gaun yang tergantung rapat.
Namun suara bentakan dari dalam toko membuatnya menegang.
"Bagaimana bisa penjualan kita turun separah ini?!" suara pria muda, penuh kemarahan.
"A-ampun, Tuan… sejak kematian Tuan Wista, toko ini sepi," jawab pelayan gemetar.
Kiran mengintip. Seorang pria berdiri di dekat meja kasir, tubuh tegap, wajahnya keras, rahang mengunci. Sorot matanya tajam, pria yang jika marah, amarahnya bukan hanya sekadar kata-kata.
"Menurun?!" ia menghantam meja dengan telapak tangan. "Toko ini berdiri puluhan tahun. Saat ayahku masih hidup, tak pernah sesepi ini!"
Pelayan lain, pria paruh baya, melangkah mendekat dengan hati-hati. "Tuan Wira… sebelum meninggal, Tuan Wista menitipkan sesuatu pada saya. Beliau berpesan agar Anda datang ke alamat ini."
Sebuah kartu nama berpindah tangan.
Wira menatap tulisan di atasnya, dahi berkerut. "Dukun… Santoso?"
"Benar, Tuan. Beliau bilang, Anda harus menemuinya. Tak ada penjelasan lain."
Diam sesaat. Lalu Wira memasukkan kartu itu ke dalam jas. "Kau boleh pergi."
Pelayan membungkuk lalu menjauh.
Kiran tetap bersembunyi, tapi dadanya mulai sesak. Nama itu…
Dukun Santoso.
Genggaman tangannya mengeras. Matanya berubah menjadi merah maroon, warna yang selalu muncul saat amarahnya meledak. Semua rasa sakit, semua dendam, seolah hidup kembali hanya dengan mendengar nama itu.
Dia… lagi.
Kiran melangkah mundur perlahan, lalu keluar dari toko dengan langkah cepat. Ia harus menemukan Edwin dan Jevano. Tidak peduli bagaimana caranya, kabar ini harus sampai pada mereka malam ini juga.
🦋To be continued...