Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Who knows?
Part 14
Siang itu Mirai berdiri di depan meja kasir, menatap kosong pada deretan dus kecil yang terpajang. Tak lama pemuda yang ditunggu sejak tadi datang mendekat.
"Lagi liatin apa? Serius amat."
"Hah?" Untuk sejenak Mirai meliriknya, lalu kembali menatap deretan dus kecil tadi karena Nero menanyakannya. Setelah membaca keterangan produk seketika wajahnya merah padam. "I-ini gak seperti yang kamu pikirin!" tandasnya gugup, langsung terburu-buru keluar.
Nero terhenyak. "Emang aku mikir apa?" tanyanya bingung yang sudah mustahil didengar karena gadis itu sudah berada di luar. Napasnya terhela pendek sejurus kemudian mengamati dus kecil seukuran telapak tangan yang menjadi masalah. "Kondom?" Seketika reaksinya sama. Wajahnya merah padam. Tapi entah mengapa jari-jarinya gemetar ingin mengambil salah satu dus itu, namun segera ditariknya lagi. Ingat, kita bukan binatang, Jooooon!
Sepanjang perjalanan mencari gedung Damkar, Nero hanya melihat terus Mirai tertunduk di sampingnya. Setiap kali diajak bicara responnya hanya mengangguk atau memberi jawaban singkat bergaya canggung. Ia pun jadi tersenyum sendiri memperhatikan gelagatnya yang gugup. Padahal sebelum kejadian semalam interaksi mereka sudah seperti kakak adik yang tidak sungkan saling mengejek tanpa bawa perasaan. Ini one-chan ternyata imut juga.
Nero yakin gedung Damkar tidak jauh dari kantor polisi, maka dari itu mereka tetap mencari di area kemarin. Benar saja, dalam jarak hampir satu mil mereka menemukannya. Kali ini mereka masuk melewati pintu depan, sebab tidak ada zombie yang tampak batang hidungnya. Segera saja mereka berpencar mencari map yang dibutuhkan.
Begitu pintu kaca berderit terbuka, aroma asap lama bercampur karat langsung menyergap. Lobi yang dulu rapi kini berantakan: meja resepsionis terguling, monitor pecah menampilkan layar darurat yang membeku, dan kertas laporan berserakan basah menempel di lantai. Sunyi, hanya terdengar bunyi pintu besi yang berdecit tertiup angin.
Di garasi, bekas roda truk pemadam membekas hitam di lantai, meninggalkan noda oli yang sudah mengering. Satu truk mini teronggok di sudut, pintunya terbuka, helm pemadam masih menggantung di spion seakan menunggu pemiliknya yang tak pernah kembali. Slang air bergelantungan kusut di dinding, kaku seperti ular mati.
Naik ke lantai dua, lorong arsip dipenuhi rak besi berkarat. Berkas kusut berhamburan, sebagian sobek, sebagian lengket oleh lembab. Sinar matahari menerobos jendela pecah, menyoroti debu yang beterbangan seperti kabut tipis. Setiap langkah menimbulkan bunyi renyah di atas pecahan kaca.
Di sisi lain, deretan loker pemadam berdiri muram. Beberapa masih terkunci, yang lain terbuka memperlihatkan seragam anti api robek penuh noda, helm dengan bercak merah tua, dan sepatu bot besar yang tergeletak tak berpasangan. Dari menara selang di ujung lorong, angin melolong lirih, membuat bulu kuduk berdiri.
Gedung yang dulu jadi simbol penyelamat kini tinggal bangkai sunyi, seakan menyimpan rahasia kematian yang enggan dibocorkan.
Tidak butuh waktu lama Nero sudah menemukan map di ruang kepala damkar. Dengan sangat antusias ia mengamati seisi peta dan menemukan fakta bahwa lokasi mereka saat ini masih jauh dari jalan keluar menuju kota terdekat. "Sudah gue duga," gumamnya.
Saat ini Mirai berada di ruang loker. Sendiri. Dan itu membuat kepalanya jadi sedikit lebih tenang. Sepanjang jalan berada di dekat Nero membuatnya sulit lupa kejadian semalam yang luar biasa memalukan. Kalau saja ia tidak tersandung maka situasinya tidak akan jadi secanggung ini. Dari tadi ia terus berusaha bersikap sewajarnya, namun entah mengapa setiap kali diusahakan malah jadi kelihatan tidak natural. Bayangan mengenai area terlarang mereka yang saling bersentuhan terus saja berputar dalam benaknya.
"Eri!"
"Eh? I-iya?" jawab Mirai yang terkejut dengan wajah merah padam saat menatap Nero yang ternyata sudah berada di sampingnya.
Melihat reaksi Mirai, wajah Nero malah jadi ikut memerah. Keduanya malah tertunduk demi meredam rasa malu. Tetapi Nero sadar mereka tidak bisa terus seperti ini. "A-apa perlu kita bahas?"
Mirai tercekat. "Hah? Bahas apa?"
"Yang semalam."
"I-itu, ya?"
"Iya."
"I-itu ... maaf! Kalo aja aku gak kesandung ...." Kalimatnya terputus sebab bingung bagaimana menjelaskan situasi di luar kendalinya.
"Iya, gapapa. Aku tau kamu gak sengaja. Cuma kita kayanya gak bisa terus begini."
"Be-begini gimana?"
"Yaaaa gugup, canggung, entar lama-lama takutnya jadi kaku dan renggang. Padahal sekarang ini kita cuma berdua. Sayang banget kekompakan kita jadi bubar cuma gegara ketidaksengajaan."
Mirai jadi tertunduk lebih dalam. "Maaaaaf, tapi mo gimana lagi. Aku malu banget."
Nero tertawa kecil. "Sama. Aku juga malu. Lebih malu lagi, ke geb lagi tegang."
Mirai mendongak kaget. "Eeeeh?! Jadi cowok kalo tegang kaya gitu?"
Nero tertawa canggung sekaligus senang mengetahui kalo gadis ini beneran polos. "Ya gitulah. Kamu pernah nonton bokep kan?"
"Pernah lah. Masak umur segini belom pernah."
"Nonton di mana?"
"Di hp temen."
Nero mengangguk sambil tersenyum lebar yang malah membuat Mirai tertunduk malu lagi. "Kenapa kita jadi bahas bokep deh. Jadi ngelanturkan. Yah pokoknya gitulah. Aku mau interaksi kita kek sebelum kejadian semalam."
"Okeeeey."
"Aku gak nekan kamu kan?"
"Enggak."
Tetapi dilihat dari gelagat Mirai yang masih menyebar pandangan dan memutar-mutar ujung kaki kanannya menunjukkan kalau ia masih agak berat melakukannya. Sepertinya ia terlalu memaksakan kehendak tanpa memikirkan perasaannya. "Okey. Kayanya kamu butuh waktu. Aku paham kok." Gadis itu sejenak mengerling padanya dan tampak bernapas lega. "Senyamannya kamu aja." Seketika senyum manisnya tersungging seolah terbebas dari beban. Setidaknya Nero senang melihatnya mulai rileks. "Oiya, map yang kita cari udah ketemu."
Alis Mirai terangkat. "Oh, ya? Baguslah!" Bukannya gembira, ia justru mendapati senyum lesu Nero. "Loh, kenapa Vin?"
"Walaupun ini kota sepi n minim zombie, tapi luasnya lumayan gede."
Kali ini alis Mirai berkerut khawatir sebab nada bicara pemuda itu terdengar tidak mengenakkan. "Terus?"
"Kita masih jauh banget dari jalan keluar kota."
Napas Mirai terhela pendek. "Sudah kudugong."
Nero tertawa mendengarnya. Baginya semakin jauh justru makin menarik, artinya ia memiliki banyak waktu untuk berduaannya. Apakah yang dipikirkannya ini terdengar jahat? Yah, selama ini Erica kan masih aman aja ama gue. Setidaknya dia masih langsung dibawah pengawasan gue.
"Udah selesai kan di sini? Balik yuk!"
"Udah, sih. Cuma …ini!" Nero menyerahkan sebuah senjata api yang ditemukan di kantor polisi.
"Eh!" Mirai tampak bingung melihat benda itu beserta ekspresi Nero.
"Kamu bawa satu buat jaga diri."
"Tapi aku gak ngerti makenya."
"Sini aku ajarin."
"Kamu bisa?"
"Yah, sebenarnya gak bisa. Cuma udah ada aja di kepala Vincent. Kek otomatis tau. Mangnya di kepala Erica gak ada?"
"Hm, sayangnya enggak ada," jawabnya sambil memeriksa bagian memorinya sendiri.
Sempat terdiam sejenak, pada akhirnya Nero tersenyum maklum. Kayaknya Vincent protek banget sama bininya.
Tidak butuh waktu lama Mirai sudah mengerti cara menggunakan pistol setelah diajarkan.
"Aku kasih ini supaya kamu seenggaknya ada pertahanan diri. Kalo Katana kamu kan gak bisa. Pakai itu juga butuh latihan. Udah gitu jarak serangnya pendek, aku yakin kamu bakalan panik duluan. Apalagi kamu kan cewek, tenaga kamu gak besar. Jadi kupikir opsi terbaik ya ini. Lagian pistolnya juga ada dua. Tapi aku usahain kamu jangan sampe make."
Kalimat terakhirnya mengundang semburat merah di pipi. "Iya, aku paham. Makasih udah mau repot jagain aku."
"Enggak repot kok."
"Syukurlah."
Sejenak mereka terdiam canggung. "Okelah, kalo gitu kita balik aja keburu malem. Abis ini kita mesti ngerjain banyak persiapan buat long journey."
"Yah, kamu bener. Haaah, kapan ini selesai? Pengen cepet pulang."
"Sama. Aku juga gitu. Tapi sekarang ya dinikmati aja." Nero menyebar pandangan. "Dunia ini gak terlalu buruk. Cuma zombienya aja sih yang the worst."
Alis Mirai berkerut sedih. "Untungnya gak akan ada orang yang kehilangan kita di dunia sana. Kita berdua gak punya siapa-siapa. Kira-kira ada yang nyariin kita gak ya? Kayak lapor polisi gitu? Tiba-tiba aja ada orang ilang ntah kemana."
Nero tersenyum simpul. "Who knows?"