Fahira Azalwa, seorang gadis cantik yang harus menelan pahitnya kehidupan. Ia berstatus yatim piatu dan tumbuh besar di sebuah pesantren milik sahabat ayahnya.
Selama lima tahun menikah, Fahira belum juga dikaruniai keturunan. Sementara itu, ibu mertua dan adik iparnya yang terkenal bermulut pedas terus menekan dan menyindirnya soal keturunan.
Suaminya, yang sangat mencintainya, tak pernah menuruti keinginan Fahira untuk berpoligami. Namun, tekanan dan hinaan yang terus ia terima membuat Fahira merasa tersiksa batin di rumah mertuanya.
Bagaimana akhir kisah rumah tangga Fahira?
Akankah suaminya menuruti keinginannya untuk berpoligami?
Yuk, simak kisah selengkapnya di novel Rela Di Madu
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 1
Fahira Azalwa, yang biasa dipanggil Fahira, terbangun saat mendengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Fahira juga melihat pintu kamar mandi tertutup dan mendengar suara gemericik air dari dalam. Itu pertanda suaminya, Zidan, sedang membersihkan diri.
"Oh, Bang Zidan lagi mandi, ya?" gumam Fahira.
Fahira lalu bangun dari tempat tidurnya, berjalan menuju pintu, dan membukanya perlahan. Saat pintu terbuka, ia melihat ibu mertuanya berdiri sambil tersenyum masam. Wajahnya terlihat tidak suka dengannya sejak Fahira dinyatakan sulit memiliki keturunan.
"Bisa buatkan sarapan untuk Ibu dan Eva? Ibu dan adikmu lapar," kata Ibu Mertua Fahira dengan suara penuh penekanan.
Fahira menarik napas dalam. Padahal, semalam sepulang dari dokter, ia sudah bilang bahwa dirinya sedang kurang sehat dan ingin beristirahat. Kepalanya terasa sangat pusing dan kunang-kunang karena penyakit yang dideritanya itu darah rendah.
"Maaf, Bu, semalam kan aku sudah sampaikan sama Ibu kalau kepalaku sangat pusing," sahut Fahira lembut, berusaha tetap menghormati ibu dari suaminya itu.
"Kamu sudah enggak mau bantu Ibu membuat sarapan? Ya sudah, enggak apa-apa, biarkan saja nanti suamimu kelaparan di kantor! Hanya pusing saja, manja!"
Lagi-lagi Fahira hanya bisa menarik napas. Sejak dirinya dinyatakan sulit untuk memiliki keturunan, Ibu Mertuanya memang sudah tak menyukainya lagi. Padahal, Ibu Mertuanya tahu apa penyebab dirinya sulit untuk hamil.
Sedangkan suaminya yang bernama Zidan Sharif Xavier, biasa dipanggil Bang Zidan oleh istrinya, itu baru keluar dari kamar mandi. Dia yang sedang menggosok rambutnya menggunakan handuk, terhenti saat melihat Fahira masih berdiri dengan wajah lesu di ambang pintu.
"Sayang, kau sedang apa di situ? Kau kan sedang sakit, istirahat saja," tanya Zidan seraya berjalan mendekati istrinya.
Saat sudah berdiri di dekat Fahira, Zidan melihat Ibunya dengan wajah sendu berdiri di hadapan sang istri. Dari ekspresi wajah Ibunya, seakan mengadu pada putranya bahwa beliau sedang bersedih. Zidan mengerutkan keningnya saat melihat keduanya tiba-tiba terdiam karena kehadirannya.
"Ada apa, Bu? Apa Ibu perlu sesuatu?" tanya Zidan pada Ibunya.
"Iya, Nak, Ibu lapar. Ibu menyuruhnya membuatkan sarapan untuk Ibu dan adikmu. Tapi dia tidak mau, katanya sudah malas mengurus Ibu," jawab Ibu Zidan yang bernama Zubaidah itu.
Zidan yang mendengar perkataan Ibunya, meluruskan apa yang didengarnya itu salah.
"Sebenarnya bukan malas dan tidak mau, Bu, Fahira kan sedang sakit. Aku kan sudah katakan sama Ibu semalam, biarkan Fahira istirahat, Bu. Dia capek, kasihan," balas Zidan membela istrinya yang selalu ditekan oleh Ibunya.
"Jadi kamu belain dia dari pada Ibu, Zidan?" tanya Bu Zubaidah dengan nada sedikit meninggi.
"Aku enggak belain siapa-siapa, Bu! Dia istriku, dan Ibu adalah Ibuku. Fahira sedang sakit, dan aku mohon pengertiannya sama Ibu! Jika Ibu ingin sarapan, biar aku yang masak. Tunggu aku di meja makan. Aku ganti baju dulu!"
Setelah mengatakan itu, Zidan menarik tangan Fahira dengan lembut, memasuki kamarnya, dan menutup pintu, meninggalkan sang Ibu yang masih berdiri di depan pintu kamarnya.
Zidan merasa kasihan dengan Fahira. Dia tidak mudah diasuh, meski Ibu dan Adiknya mengatakan, ia tak akan mudah percaya begitu saja jika tidak melihat dengan matanya sendiri.
Zidan merasa sangat bersalah sejak dirinya membawa Ibu dan Adiknya berkumpul di rumahnya.
"Maafkan aku, Sayang, aku pastikan hal ini tidak akan terjadi lagi. Aku akan menggunakan jasa ART untuk mengurus Ibu dan Eva," kata Zidan setelah duduk di tepi kasur bersama Fahira.
"Enggak apa-apa, Bang, harusnya kamu jangan kasar begitu sama Ibu. Kasihan Ibu nanti jadi sedih," balas Fahira dengan wajah pucat.
Zidan yang mendengar itu, membuatnya semakin mencintai sang istri. Bahkan, sudah diperlakukan buruk oleh Ibunya, dia masih memikirkan perasaan orang tua dari suaminya itu.
"Bang, aku boleh bicara sesuatu?" tanya Fahira setelah melihat suaminya selesai bersiap dan berdiri di depan cermin.
"Boleh, bicara saja. Ada apa?" balas Zidan menoleh menghadap Fahira dengan tangan yang melingkar di pinggang istrinya.
Fahira menatap wajah teduh sang suami yang selalu membuatnya damai. Dia mengusap dada Zidan yang sudah memakai jas, karena akan pergi ke perusahaan. Fahira menarik napas sesaat untuk menghilangkan kegugupannya, kemudian baru bicara.
"Aku ingin kamu menikah lagi, Bang."
Mendengar itu, wajah Zidan seketika berubah. Tangannya yang memeluk pinggang sang istri perlahan merenggang. Penekanan dari Ibu mertuanya yang selalu berkata pedas padanya, membuat dia tak sanggup lagi mendengarnya. Hingga akhirnya, Fahira memilih merayu suaminya untuk menikah lagi.
"Apa yang kau katakan, Fahira? Bukan kah kita sudah sepakat untuk tidak membahas masalah itu lagi!" ucap Zidan dengan nada penuh kecewa.
"Aku tahu itu, Bang, tapi aku mohon. Kali ini aku turuti permintaan Ibu untuk kamu menikah lagi. Aku capek, Bang."
Fahira menenggelamkan wajahnya di dada bidang sang suami. Perlahan, dari sudut matanya mengeluarkan air dan jatuh membasahi pipinya.
Zidan yang mendapat permohonan dari Fahira, hanya bisa menarik napas dalam. Dia mengusap rambut sang istri yang sedang tidak memakai hijabnya. Pandangan Zidan menerawang, menatap langit-langit kamarnya. Melihat sang istri yang terus ditekan oleh Ibunya perihal keturunan, membuat Fahira mengikhlaskan suaminya itu untuk menikah lagi.
Zidan melepas pelukannya dan menatap Fahira, menangkup kedua pipinya, kemudian bicara dengan lembut padanya.
"Sayang, dengar aku. Jangan terpengaruh dengan ucapan Ibu. Tidak mudah juga untukku menikah lagi, Fahira. Mencari wanita baik di zaman seperti ini susah sekali."
Jelas Zidan lembut, menjeda ucapannya, sembari mengusap air mata sang istri.
"Sudah, tenang. Aku tidak akan menikah lagi. Aku menerima kamu apa adanya. Biar orang bilang kamu tidak sempurna, tapi kamu sangat sempurna di mataku, oke?"
"Tapi, Bang..."
"Sstt... Sudah, jangan pikirkan. Sekarang istirahatlah. Aku akan pesan makanan untuk makan di rumah agar kamu tidak perlu masak. Jangan lupa minum obatnya. Aku akan mengabarimu jika pulang terlambat."
"Kau juga hati-hati di jalan, Bang. Jangan ngebut. Yang penting selamat sampai kantor," balas Fahira dengan senyum manisnya.
"Oke, aku pergi dulu, ya? Jangan lupa kunci pintu jika ingin tidur."
Zidan mengecup kening dan beralih ke pipi, juga seluruh wajahnya. Zidan tersenyum dan mengusap pipinya, kemudian berjalan keluar dari kamarnya untuk berangkat ke kantor.
Fahira yang mendapat perlakuan seperti itu dari suaminya, merasa berat jika melihatnya menikah lagi dengan wanita lain. Perempuan mana yang rela dimadu? Tidak ada. Bibirnya bisa mengatakan ikhlas, tapi hatinya tidak rela jika suaminya harus berbagi kasih dengan wanita lain.
Jadi bagaimana? Apa Fahira masih akan tetap memaksa suaminya menikah lagi? Atau menuruti Ibu Mertua yang terus mendesak dirinya menyuruh sang suami untuk menikah lagi? Kita lihat di Part selanjutnya, ya.
...----------------...
Bersambung....
tapi sayangnya semua sudah di lihat Fahira
dan Fahira inilah resikonya mau di madu pasti sakit dan sangat sakit
dan ku harap kamu sedikit tehas ke ubu mertuamu jangan terlalu lemah dan psrah gotu aja
udah ngehadapin dua istri
tiba di rumah ibumu udah ngadepin ibu dan adikmu juga nikmati hidupmu ya zidan pasti bnyk drama nya
gak di madu hati dan pisik sakit
di madu malah tambah sakit