Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Ruangan megah itu dipenuhi aroma teh melati yang baru diseduh. Namun bagi Clara, aroma itu justru terasa menusuk hidung — mengingatkan pada setiap minggu ketika ia dipaksa datang ke rumah ini untuk menerima penawar hidupnya.
Ia berlutut di hadapan pamannya, tubuhnya gemetar, keringat dingin bercampur air hujan menetes dari rambutnya.
Di sofa panjang, Sonia Fan, bibinya, menatapnya dengan tatapan dingin dan penuh kekecewaan.
“Clara, sudah tiga tahun kau menjadi istrinya. Tapi sampai sekarang kau masih belum mendapatkan data perusahaan mereka,” ucap Sonia dengan suara datar namun menusuk.
Dari sisi lain ruangan, Jordy, putra sulung Sonia dan James, menyandarkan tubuh di kursi dengan senyum sinis.
“Ma, mungkin saja dia memang tidak tega melakukannya,” katanya santai. “Bagaimanapun, mereka sudah tinggal bersama selama tiga tahun. Tidak mungkin tanpa perasaan, kan?”
Clara menunduk, menahan perih yang kembali menyerang perutnya. Suaranya terdengar serak ketika ia menjawab,
“Andrian… dia orang yang sangat waspada denganku. Dia tak pernah membiarkanku masuk ke ruang kerjanya. Setiap kali keluar, dia selalu mengunci ruang kerja dan kamarnya. Aku bahkan tidak bisa melangkah masuk ke area perusahaannya… Bagaimana aku bisa mendapatkan data itu?”
James Wu, pamannya, meletakkan cangkir tehnya dengan keras ke meja marmer, menimbulkan bunyi nyaring. Tatapannya tajam menusuk ke arah Clara.
“Kau selalu saja membuatku kecewa! Jangan lupa alasan kami menyuruhmu menikah dengannya!” bentaknya keras. “Hanya untuk barang itu, Clara! Asal kau bisa mendapatkannya, kau boleh meninggalkan dia! Ayahnya sudah pensiun dan menyerahkan semua kekuasaan pada Andrian — tentu saja harus ada seseorang yang bisa berada di sisinya. Tapi kau—kau malah gagal mendapatkan apa pun! Bahkan hatinya pun tidak!”
Air mata mengalir di pipi Clara. Ia menunduk, lalu berusaha merangkak mendekati pamannya. Tangannya memegang ujung celana pria itu, suaranya lirih penuh permohonan.
“Paman… aku mohon, berikan aku penawar itu. Aku tidak tahan lagi… aku menyerah. Dia… dia sama sekali tidak mencintaiku. Aku… tidak bisa apa-apa lagi…”
James menatap ke bawah dengan ekspresi dingin. Ia mencubit dagu Clara dengan kasar, mengangkat wajah keponakannya yang tampak pucat pasi.
“Clara,” ujarnya perlahan namun mengancam. “Setelah orang tuamu meninggal, siapa yang membesarkanmu, hah? Kami! Kami yang memberimu rumah, makanan, dan kesempatan hidup. Jangan buat semua usahaku sia-sia.”
Ia mendekatkan wajahnya ke arah Clara, matanya menyipit tajam.
“Aku telah memberimu obat itu...penawar untuk racun di tubuhmu...agar kau tetap bergantung pada kami. Tapi kenapa kau tak bisa mendekatinya?”
Clara menepis tangannya dengan lemah, suaranya meninggi di antara tangisnya.
“Dia tidak bisa didekati, Paman! Andrian berbeda dari pria lain. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres sejak awal. Dia tidak pernah memberiku kesempatan! Tolong… aku mohon… hilangkan racunnya, aku tidak sanggup lagi hidup seperti ini…”
Sebuah tawa sinis terdengar dari belakang.
Jordan, putra kedua James, berjalan mendekat sambil menyilangkan tangan di dada.
“Hilangkan racunmu?” katanya dengan nada mengejek. “Kalau kami melakukannya, kau akan kabur seperti dulu. Sudah lupa, Clara? Racun itu satu-satunya hal yang bisa membuatmu tetap tunduk pada kami.”
Ia berjongkok di hadapan Clara, menatap wajahnya yang dipenuhi air mata dengan senyum dingin.
“Racun itu yang mengikatmu pada keluarga ini. Yang membuatmu merasakan sakit seperti tubuhmu tercabik dari dalam. Tanpa itu… kau bukan siapa-siapa.”
Clara menunduk dalam-dalam. Air matanya jatuh ke lantai marmer dingin,
Suaranya nyaris tak terdengar ketika ia berucap, “Aku… tidak akan punya kesempatan lagi, Paman. Hari ini… dia menceraikan aku.”
Keheningan sesaat melingkupi ruangan besar itu.
Lalu suara James Wu memecah udara, rendah dan dingin, seperti cambuk.
“Apa?”
Ia berdiri dari kursinya dengan geram, wajahnya menegang menahan amarah.
“Menceraikanmu?”
Tanpa memberi waktu Clara menjawab, tangan besar itu melayang cepat.
PLAK!
Tamparan keras menghantam pipi Clara hingga tubuhnya tersungkur ke lantai. Suara benturan tubuhnya dengan marmer terdengar nyaring di tengah keheningan. Clara memegangi pipinya yang panas dan berdenyut, tubuhnya gemetar hebat.
“Tidak berguna sama sekali!” bentak James, matanya berkilat marah. “Tiga tahun aku biarkan kau hidup mewah, kuberi penawar tiap minggu agar racun itu tidak membunuhmu. Tapi apa hasilnya? Kau malah diceraikan!”
“Pa…” Jordy mendekat dengan wajah tegang. “Bukankah itu artinya rencana kita gagal? Andrian terlalu sulit didekati. Dia tidak seperti pria lain yang mudah diperdaya.”
James memutar tubuhnya perlahan, menatap anak sulungnya dengan tajam.
“Di dunia ini, tidak ada yang tidak bisa aku lakukan,” ucapnya datar, penuh wibawa yang menakutkan.
Lalu pandangannya kembali ke arah Clara yang masih berlutut di lantai.
Nada suaranya berubah dingin dan tanpa ampun.
“Bawa dia ke ruang bawah tanah.”
Clara mendongak lemah, matanya membulat ketakutan.
“Paman… tidak, kumohon jangan—”
Namun James sudah melambaikan tangannya dengan isyarat tegas.
“Biarkan dia merenungi kesalahannya di sana. Gadis bodoh ini tidak mampu menggoda suaminya sendiri, padahal hanya itu tugasnya!”
Dua putra James berbadan besar segera menghampiri Clara.
Ia berusaha meronta, tapi tubuhnya terlalu lemah. Tangannya ditarik kasar, dan suara sepatu mereka bergema keras di lantai marmer.
“Paman… tolong… aku tidak akan sanggup lagi… tolong lepaskan aku… kumohon…” seru Clara dengan suara serak, namun tak seorang pun menoleh.
James hanya berdiri diam, menatap dingin punggung keponakannya yang diseret menuju lorong gelap di ujung rumah.
“Pastikan dia tidak mati,” katanya dingin. “Aku masih membutuhkannya.”