Najwa, siswi baru SMA 1 Tangerang, menghadapi hari pertamanya dengan penuh tekanan. Dari masalah keluarga yang keras hingga bullying di sekolah, dia harus bertahan di tengah hinaan teman-temannya. Meski hidupnya serba kekurangan, Najwa menemukan pelarian dan rasa percaya diri lewat pelajaran favoritnya, matematika. Dengan tekad kuat untuk meraih nilai bagus demi masa depan, dia menapaki hari-hari sulit dengan semangat pantang menyerah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanafi Diningrat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa lalu yang terbongkar
Najwa berjalan santai menuju kelas sambil membawa buku matematika. Sudah seminggu dia sekolah di SMA 1 Bogor dan semuanya berjalan lancar. Sinta udah jadi sahabat baiknya, guru-guru menyukai kepintarannya, dan dia mulai merasa betah.
"Najwa! Tunggu!" Sinta berlari mengejarnya sambil ngos-ngosan. Wajahnya agak pucat dengan mata yang berkaca-kaca.
"Ada apa, Sin? Kamu kenapa?" Najwa berhenti sambil menatap sahabatnya dengan khawatir.
"Kamu... kamu perlu lihat ini." Sinta mengulurkan handphone-nya dengan tangan gemetar. "Maaf banget, aku nggak sengaja nemuin."
Di layar handphone, ada artikel berita dengan headline yang membuat darah Najwa membeku: "TRAGEDI KELUARGA DI TANGERANG: ANAK PEREMPUAN MEMBUNUH AYAH KANDUNG DENGAN PECAHAN BOTOL"
Foto Najwa yang diambil saat dia dibawa polisi terpampang jelas di bawah headline. Meski agak blur, wajahnya masih bisa dikenali.
"Najwa Kusuma (16), seorang siswi SMA di Tangerang, nekat membunuh ayah kandungnya sendiri, Hasan (45), menggunakan pecahan botol arak setelah sebelumnya menjadi korban sindikat perdagangan manusia..."
Najwa membaca dengan tangan bergetar. Kepalanya pusing, dadanya sesak kayak kena serangan asma lagi.
"Sin, ini... ini nggak kayak yang tertulis di sini." Najwa mencoba menjelaskan sambil menggigit bibir bawahnya.
"Najwa, aku percaya pasti ada penjelasannya." Sinta memegang tangan Najwa yang dingin. "Tapi... ini udah viral di grup WhatsApp sekolah dari tadi pagi."
"Grup WhatsApp?" Najwa merasakan kakinya lemes.
"Kevin yang pertama kali share. Dia bilang iseng googling nama kamu, terus nemu artikel ini." Sinta menundukkan kepala. "Sekarang udah semua orang baca."
Najwa menutup mata sambil menarik napas dalam-dalam. Inilah yang dia takutkan. Masa lalunya yang kelam akhirnya menyusul juga.
"Najwa, cerita dong yang sebenarnya. Aku yakin pasti ada alasannya."
Sebelum Najwa bisa jawab, sekelompok siswa mendekat dengan ekspresi wajah yang beragam. Ada yang penasaran, ada yang takut, ada yang excitement kayak mau nonton drama.
"Najwa!" Kevin, cowok tinggi dengan rambut klimis, menghampiri sambil masih pegang handphone. "Gue baca berita tentang lu. Bener nggak sih lu yang di artikel ini?"
Najwa menelan ludah susah. "Kevin, itu..."
"Gila banget sih! Lu beneran bunuh ayah lu sendiri?" Indah, cewek yang duduk di barisan depan, ikut nimbrung dengan mata melotot. "Sadis banget!"
"Bukan kayak gitu!" Najwa mencoba membela diri. "Kalian nggak tau cerita lengkapnya!"
"Terus gimana ceritanya? Lu kan ngaku di artikel ini." Rizki, ketua kelas, ikut bergabung. "Di sini ditulis lu mukul kepala ayah lu pake botol, terus tusuk perutnya."
Semakin banyak siswa yang mengerubungi mereka. Najwa merasa terpojok banget, kayak binatang yang mau diburu.
"Guys, kasih Najwa kesempatan jelasin dulu." Sinta mencoba melerai sambil merentangkan tangannya.
"Jelasin apaan? Udah jelas dia pembunuh!" Indah nyeletuk dengan nada sinis. "Masa anak bunuh bapak sendiri? Gila kali!"
"Lu nggak tau apa-apa soal hidup gue!" Najwa mulai emosi, suaranya meninggi. "Jangan asal ngomong!"
"Lah, emang gue salah? Buktinya ada di berita!" Kevin ngegebrak handphone-nya ke arah Najwa. "Lu pembunuh, titik!"
"GUE BUKAN PEMBUNUH!" Najwa teriak sambil mengepalkan tangannya. Mata beberapa siswa yang lewat langsung tertuju ke arah mereka.
"Terus lu apa? Malaikat?" Indah ketawa sinis. "Ayah sendiri lu bunuh, bangsat banget!"
Kata 'bangsat' itu bikin Najwa naik pitam. "JANGAN LU SEBUT GUE BANGSAT! LU NGGAK TAU APA-APA!"
"Najwa, udah... jangan teriak-teriak." Sinta mencoba menenangkan sambil memegang lengan Najwa.
Tapi Najwa udah kepancing emosi. "LU PIKIR GUE SENANG NYAKITIN AYAH GUE? DIA NYIKSA GUE BERTAHUN-TAHUN!"
"Alesan!" Kevin menggeleng-geleng kepala. "Mana ada ayah yang nyiksa anak? Pasti lu yang nakal!"
"NAKAL GIMANA? LU MAU LIAT BEKAS PUKULAN DIA DI BADAN GUE?"
"Najwa!" Bu Ratih muncul dari arah tangga dengan wajah khawatir. "Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?"
Semua siswa langsung diam. Najwa masih napas terengah-engah dengan mata merah.
"Bu, kami lagi diskusi." Kevin langsung mengubah nada suaranya jadi sopan.
"Diskusi apa yang sampai teriak-teriak?" Bu Ratih menatap tajam ke Kevin, lalu ke Najwa. "Najwa, kamu kenapa?"
Najwa menundukkan kepala sambil mengusap air mata yang mulai keluar. "Nggak apa-apa, Bu."
"Masuk kelas semua. Bel udah bunyi dari tadi."
Rombongan siswa bubar menuju kelas dengan masih berbisik-bisik. Najwa berjalan paling belakang sambil merasa berat banget melangkahkan kaki.
Di dalam kelas, suasananya canggung banget. Beberapa siswa melirik ke arah Najwa sambil berbisik. Ada yang pura-pura baca buku, tapi matanya sesekali mengintip.
"Najwa, duduk di tempat biasa." Bu Ratih memulai pelajaran dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
Najwa duduk di sebelah Sinta yang masih terlihat khawatir. "Sin, makasih ya tadi udah belain aku."
"Sama-sama. Aku percaya pasti ada alasan kuat kenapa kamu lakuin itu." Sinta berbisik pelan. "Nanti istirahat kita ngobrol, ya?"
Pelajaran matematika dimulai, tapi Najwa sama sekali nggak bisa fokus. Pikirannya melayang kemana-mana. Dia merasa semua mata terus menatapnya dengan pandangan aneh.
"Najwa, bisa kerjakan soal nomor lima?" Pak Surya menunjuk papan tulis.
Biasanya Najwa langsung bisa jawab, tapi kali ini otaknya blank total. "Maaf, Pak. Aku nggak bisa."
Beberapa siswa saling pandang dengan ekspresi terkejut. Najwa yang biasanya jago matematika, sekarang nggak bisa jawab soal sederhana.
"Baiklah, Kevin coba kamu."
Kevin maju dengan senyum puas. Seakan-akan dia bangga bisa ngalahin Najwa yang biasanya lebih pinter.
Waktu istirahat, Najwa dan Sinta pergi ke perpustakaan yang lebih sepi. Najwa menceritakan semua kejadian yang sesungguhnya. Mulai dari kekerasan ayahnya, penculikan, sampai kejadian tragis itu.
"Oh my god, Najwa." Sinta menutup mulut dengan kedua tangannya. "Kamu nggak bilang punya trauma separah itu."
"Aku nggak mau orang kasihan sama aku. Tapi sekarang semua orang udah tau." Najwa menghapus air mata yang mengalir. "Mereka pasti bakal nganggap aku monster."
"Nggak semua orang kayak gitu. Aku tetep sahabat kamu kok."
"Makasih, Sin. Kamu satu-satunya yang mau dengerin cerita aku."
Tapi kebahagiaan itu nggak bertahan lama. Saat mereka balik ke kelas, suasana makin canggung. Beberapa siswa yang biasanya sapa Najwa, sekarang cuma lewat aja tanpa ngomong apa-apa.
"Najwa," Rizki menghampiri dengan wajah serius. "Gue udah baca artikel lengkapnya. Gue ngerti lu punya alasan, tapi... tetep aja lu udah bunuh orang."
"Rizki..."
"Gue nggak bilang lu jahat atau apa. Cuma, gue butuh waktu buat terima kenyataan ini." Rizki menggaruk kepalanya yang nggak gatal. "Sorry ya."
Rizki pergi sambil ninggalin Najwa yang makin sedih. Satu per satu, teman-teman sekelasnya mulai menjauh. Bukan dengan cara yang kejam, tapi lebih ke arah... hati-hati.
"Najwa, mau ikut ke kantin?" Sinta mengajak.
"Nggak ah. Nggak selera makan."
"Ayolah, kamu dari tadi nggak makan apa-apa."
Akhirnya Najwa ikut ke kantin meski berat hati. Di sana, dia merasakan tatapan-tatapan aneh dari siswa kelas lain. Ada yang bisik-bisik sambil nunjuk ke arahnya.
"Itu dia yang di berita."
"Serem banget mukanya. Cocok jadi pembunuh."
"Kasihan bapaknya. Udah miskin, anaknya pembunuh lagi."
Najwa mencoba cuek, tapi kata-kata itu tetep masuk ke telinganya. Dia makan dengan terburu-buru, pengen cepet-cepet balik ke kelas.
"Najwa, sabar ya." Sinta menepuk pundaknya. "Nanti juga mereka lupa kok."
Tapi Najwa tau ini nggak bakal mudah dilupain. Pembunuh itu label yang bakal nempel selamanya.
Sore itu, Najwa pulang dengan perasaan berat. Kirana yang biasanya ceria, kali ini menyambutnya dengan wajah khawatir.
"Najwa, ada apa? Mukamu kayak habis nangis."
"Kir, identitas aku udah terbongkar di sekolah."
"HAH?" Kirana melongo. "Gimana bisa?"
Najwa cerita semua kejadian hari ini. Mulai dari Kevin yang nemuin artikel, sampai reaksi teman-teman sekelasnya yang mulai menjauhi.
"Gila sih mereka! Nggak tau apa-apa tapi udah judge." Kirana naik pitam. "Besok aku ke sekolah lu, mau omel-omelin tuh anak-anak!"
"Nggak usah, Kir. Nanti malah tambah ribet."
"Terus lu mau gimana? Diem aja digituin?"
"Aku... aku nggak tau." Najwa memeluk lututnya. "Mungkin emang ini karma karena aku nyakitin ayah."
"EH, JANGAN NGOMONG KAYAK GITU!" Kirana duduk di sebelah Najwa sambil memeluknya. "Lu korban, bukan pelaku! Mereka yang nggak ngerti!"
Malam itu, Najwa tidur dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi dia lega karena beban menyimpan rahasia udah hilang. Tapi di sisi lain, dia takut masa depan di sekolah bakal makin sulit.
"Mudah-mudahan besok lebih baik," gumamnya sebelum tertidur.
Tapi deep down, Najwa tau hidup nggak bakal semudah itu. Dia harus siap menghadapi konsekuensi dari masa lalunya yang kelam.
Label 'pembunuh' udah melekat. Dan nggak gampang buat ngelepasnya.