Wilona Anastasia adalah seorang gadis yang dibesarkan di desa. namun Wilona memiliki otak yang sangat jenius. ia memenangkan beberapa olimpiade dan mendapatkan medali emas sedari SMP. dia berniat untuk menjadi seorang dokter yang sukses agar bisa memberikan pengobatan secara gratis di desa tempat ia tinggal. Lastri adalah orang tua Wilona lebih tepatnya adalah orang tua angkat karena Lastri mengadopsi Wilona setelah Putri satu-satunya meninggal karena sakit. namun suatu hari ada satu keluarga yang mengatakan jika mereka sudah dari kecil kehilangan keponakan mereka, yang mana kakak Wijaya tinggal cukup lama di desa itu hingga meninggal. dan ternyata yang mereka cari adalah Wilona..
Wilona pun dibawa ke kota namun ternyata Wilona hanya dimanfaatkan agar keluarga tersebut dapat menguasai harta peninggalan sang kakek Wilona yang diwariskan hanya kepada Wilona...
mampukah Wilona menemukan kebahagiaan dan mampukah ia mempertahankan kekayaan sang kakek dari keluarga kandungnya sendiri...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
Beberapa hari setelah malam kelabu itu, kantor CyberNova Tech terasa lebih sunyi dari biasanya. Fabian duduk di ruang rapat pribadi yang menghadap Marina Bay, memandangi laporan-laporan baru yang dikirim oleh Samuel.
Wajahnya tidak lagi sekadar lelah tapi seperti seseorang yang memanggul seluruh penyesalan dunia.
Samuel masuk sambil membawa tablet.
“Tuan, saya sudah menelusuri semua panti asuhan yang aktif delapan belas tahun lalu dan mencocokkannya dengan catatan medis yang kita temukan.”
Fabian mengangguk pelan. “Lanjutkan.”
Samuel menggeser layar. “Ada tujuh panti asuhan yang menerima bayi perempuan pada tahun itu. Tapi enam di antaranya punya catatan lengkap, dan hanya satu yang datanya hilang karena kebakaran tahun 2009.”
Fabian menegang. “Yang mana?”
Samuel menjawab hati-hati.
“Panti Asuhan Cahaya Kasih… di Jakarta.”
Fabian terdiam.
Nama itu terasa seperti menghantam dadanya sesuatu yang ia kenal, tapi sudah lama disingkirkan dari ingatan.
Samuel melanjutkan,
“Tuan… kebetulan, panti itu berada di wilayah yang sama dengan tempat Ny.Lestari menghabiskan bulan-bulan terakhirnya.”
Fabian menutup wajahnya, menarik napas dalam.
“Berarti di situlah terakhir kali anakku berada…”
Samuel melanjutkan memberi laporan. “Tuan, saya juga memeriksa semua catatan adopsi yang terjadi sekitar tahun itu. Ada nama seorang wanita yang tidak terdaftar di pemerintah, tetapi dia mengambil seorang bayi perempuan berusia sekitar 2 bulan.”
Fabian mengangkat wajahnya.
“Apa kamu menemukan identitas perempuan itu?”
“Ya dan tidak,” balas Samuel.
“Nama yang ia gunakan dalam dokumen adalah Lastri. Tapi alamatnya palsu.”
Fabian menggertakkan gigi.
“Apa itu nama aslinya atau...itu hanya sebagai bagian identitasnya. Jadi dia berusaha melindungi bayi itu.”
Samuel mengangguk.
“Kemungkinan besar dia seseorang yang dekat dengan Ny.Lestari, Tuan.”
Fabian menunduk.
“Lastri… kamu wanita baik, siapapun dirimu… terima kasih sudah menjaga anakku.”
Samuel menekan layar tablet lagi.
“Tuan… ada satu hal lagi.”
Fabian menatap dengan campuran harap dan takut.
“Menurut data terakhir, bayi itu… tumbuh besar dengan nama berbeda. Namanya bukan yang terdaftar saat adopsi. Wilona anastasia.”
Fabian menelan ludah.
“Apa nama barunya?”
Samuel mengambil napas sebelum menjawab.
“Wilona Kusuma.”
Fabian tersentak.
Wajahnya kehilangan warna.
“Wilona kusuma…?” Suara Fabian pecah.
“Kamu yakin?!”
Samuel menanggapi tanpa ragu.
“Semua cocok, Tuan. Tempat lahirnya, tanggalnya… ciri fisiknya… bahkan foto masa kecil di panti asuhan itu, mirip dengan wajah yang ia miliki sekarang.”
Fabian hampir tak bisa bernapas.
“Wilona… anak itu… putriku?”
Samuel menatapnya iba.
“Semua data mengarah pada kesimpulan itu.”
Fabian berdiri, kursi di belakangnya bergeser keras. Ia berjalan menuju jendela, memandangi Singapura yang berkilau dengan mata berair.
“Aku sudah bertemu dia…” bisiknya.
“Aku sudah melihatnya… di sekolah itu… dan aku tidak tahu apa-apa.”
Samuel hanya diam, memberi ruang bagi Fabian menghadapi kenyataan itu.
Fabian memukul dadanya pelan, menahan emosi yang membuncah.
“Delapan belas tahun, Sam. Delapan belas tahun aku hidup dalam kebodohan. Kukira anak itu tidak pernah lahir…Kupikir keluarga Kusuma memaksa Lestari menggugurkan kandungan nya…dan aku pikir Wilona adalah putri dari Kusuma Wijaya.”
Samuel menunduk.
“Sebaliknya,” lanjut Fabian dengan suara pecah,
“dia melahirkan dalam kesendirian… dan meninggal dalam kesendirian…”
Fabian menatap Samuel dengan mata merah.
“Dan putriku… tumbuh tanpa ayah. Tanpa tahu siapa aku.”
Samuel menelan ludah.
“Tuan… ada satu hal lagi.”
Fabian menegang lagi.
“Apa?”
Samuel menampilkan sebuah foto diam dari kamera CCTV sekolah foto yang ia ambil dari salah satu informan. Seorang gadis berambut panjang, berseragam rapi, berdiri bersama seorang pemuda yaitu Galen.
Fabian menatap foto itu dengan tatapan membunuh.
“Mereka…Berani menyentuh putriku…?”
Samuel berbicara pelan,
“Tuan, dari data yang saya kumpulkan… Wilona bahkan pernah hampir ditabrak oleh orang suruhan seseorang.”
Fabian mengepalkan tangan.
“Sam…Siapkan penerbangan ke Jakarta,Sekarang.”
“Bagaimana kalau Besok Tuan?” tanya Samuel.
Fabian menatapnya tajam, suaranya menggema dalam ruangan.
“Malam ini.”
Fabian menghela napas dalam, lalu berbisik pelan seperti doa yang dikirimkan ke masa lalu.
“Lestari… aku menemukan putri kita.”
“Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya lagi.”
Ia memandangi foto Wilona dengan mata berkaca-kaca. Luka, cinta, penyesalan, dan amarah bersatu menjadi satu.
“Tunggu aku, Wilona…Papa akan segera menemui kamu.”
...----------------...
Pesawat mendarat di Jakarta tepat pukul 23.45. Fabian melangkah keluar dengan wajah tegang, matanya penuh kecemasan dan amarah yang sudah ia pendam selama delapan belas tahun. Samuel berjalan setengah berlari di belakangnya.
“Tuan, mobil sudah menunggu di area private parking.”
Fabian tidak menjawab. Hatinya terlalu penuh.
Setiap langkah terasa berat bukan karena kelelahan, tetapi karena takut pada jawaban yang menunggunya. Takut ditolak. Takut terlambat. Takut putrinya tidak membutuhkan dirinya. Namun rasa takut itu berubah menjadi tekad dingin ketika ia membaca ulang foto Wilona di ponselnya.
" Putriku… aku akan melindungimu mulai sekarang.
Awalnya Fabian sengaja menjadi guru IT di sebuah SMU guna mencari informasi tentang putri Wijaya. Fabian ingin membalas setiap hal yang sudah dilakukan oleh Wijaya kepadanya melalui putrinya, Namun siapa sangka ternyata Wilona adalah Putri kandungnya bukan putri dari Wijaya.
Pukul 20.00 WIB.
Rumah keluarga Dirgantara sunyi, hanya lampu teras yang menyala. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di bawah pohon besar di seberang jalan. Di dalamnya, Fabian duduk diam sambil menatap rumah itu.
“Dia ada di dalam?” tanya Fabian pelan.
Samuel mengangguk.
“Ya, Tuan. Menurut data dari penjaga keamanan, Wilona pulang sekitar jam 6 sore bersama suaminya.”
Fabian terdiam. Potongan informasi itu membuatnya tersentak.
“Suaminya…?”
Samuel buru-buru menambahkan,
“Pernikahan privat, Tuan. Cucu laki-laki Tn.Felix Dirgantara. Namanya Galen Dirgantara.”
Fabian kembali menatap foto Wilona dan Galen yang Samuel dapatkan sebelumnya.
Wajah Galen membuat perutnya menegang, bukan karena tidak suka, tetapi karena ia tahu Kalau Galen adalah ketua OSIS di sekolahnya. Bagaimana putrinya bisa menikah padahal masih usia sekolah.
“Baik. Aku harus lihat sendiri.”
Fabian turun dari mobil, berjalan perlahan ke tepi pagar rumah Dirgantara.
Dari celah jendela ruang tengah di lantai dua, ia melihat cahaya redup. Di dalam sana, Wilona sedang duduk di sofa, mengenakan sweater lembut, rambut terurai, wajahnya tampak lelah tapi damai. Ia sedang membaca sesuatu di tablet, dan sesekali tersenyum kecil.
Fabian memegang pagar itu erat.
Senyum putrinya… adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan bisa ia lihat lagi.
Air matanya jatuh tanpa izin.
“Lestari… dia mirip sekali denganmu…”
Samuel yang berdiri beberapa langkah di belakangnya menunduk, memberi ruang bagi Fabian merasakan momen itu.
Fabian berbisik,
“Aku ingin memeluknya… Tapi aku tidak tahu apakah aku pantas.”
Tiba-tiba, suara langkah mendekat dari teras,Galen. Ia baru keluar mengambil angin malam, mengenakan hoodie gelap dan memeluk secangkir teh hangat. Ia berhenti ketika melihat bayangan seseorang berdiri di depan pagar rumah.
“Ada siapa di situ?” suara Galen waspada dan tegas.
Samuel mundur setengah langkah.
Fabian tidak bergerak. Galen menyalakan lampu teras. Cahaya jatuh tepat ke wajah Fabian.
“Anda…” Galen menyipitkan mata.
“Pak Fabian? Guru IT di sekolah kan?”
Fabian menatapnya lama, lalu mengangguk tipis.
“Ya. Maaf mengganggu di jam segini.”
Galen berjalan mendekat, tubuhnya tegang.
“Kenapa malam-malam Bapak ada di depan rumah saya?”
Samuel hendak menjawab, tetapi Fabian mengangkat tangan, menghentikannya.
“Aku…hanya ingin memastikan Wilona baik-baik saja.”
Galen mengernyit curiga.
“Kenapa Bapak peduli sekali pada Wilona?”
Fabian tidak mengalihkan tatapan.
Wajahnya campuran sedih, takut, dan rindu.
“Karena dia adalah darah dagingku.”
Galen tertegun.
“Hah…?”
Fabian menelan ludah, lalu berkata dengan suara parau,
“Saya… ayah kandung Wilona.”
Galen mundur selangkah.
“Apa Bapak serius? Ini bukan hal yang bisa dijadikan candaan.”
“Saya tidak bercanda,” jawab Fabian dengan suara yang bergetar namun tegas, “Saya baru mengetahui kebenarannya beberapa hari yang lalu. Dan saya siap melakukan tes DNA kapan pun jika diperlukan.”
Galen memandang Fabian tanpa berkedip.
“Kalau begitu… masuklah. Jangan berdiri di luar.”
Pintu rumah terbuka.
Wilona muncul dari balik pintu, mengikat rambutnya cepat.
“Galen? Kenapa lama sekali di luar?”
Ia tidak menyangka melihat Fabian berdiri di samping suaminya.
“Pak… Fabian?”
Fabian menatap putrinya.
Tatapan itu menghancurkan segalanya
keduanya terpaku, seperti dua jiwa yang terpisah terlalu lama.
“Wilona…” suara Fabian pecah, “Saya… ada banyak hal yang harus Saya katakan padamu.”
Wilona menatapnya bingung.
“Pak… kenapa Bapak ada di sini?”
Galen berdiri di samping Wilona, memegang bahunya untuk memberi dukungan. Fabian menelan ludah Lalu ia bicara perlahan suara yang berat oleh 18 tahun kehilangan.
“Saya datang karena… saya ayah kandungmu.”
Wajah Wilona membeku.
Kata itu datang seperti petir yang membelah pikirannya.
“A… apa…?” Suara Wilona bergetar.
Fabian menatap mata putrinya, mata yang mirip dengan matanya sendiri.
“Wilona… saya adalah papa kamu. Saya tidak tahu kamu lahir. Tidak tahu kalau kamu hidup. Tapi saya tahu sekarang. Dan saya datang… untuk menebus semua yang telah hilang.”.
Air mata Wilona mengalir tanpa ia sadari.
“Aku… punya ayah…?”
Galen menggenggam tangan Wilona lebih erat.
Fabian melangkah selangkah maju… lalu berhenti.
“Kalau kamu membenci saya… saya mengerti. Tapi beri saya kesempatan untuk membuktikan kalau saya tidak akan meninggalkanmu lagi. Izinkan saya menjelaskan semua nya.”
Wilona menangis.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia melihat sosok ayah di depan mata. Tapi ia tidak mau percaya begitu saja. Ia harus mendengarkan penjelasan Fabian kenapa dulu Fabian meninggalkan mamanya.