Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.
Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Gagal
"Lho, Nak. Mau ke mana? Tumben cantik bener, mana wangi lagi."
Hidung Rahmat kembang kempis saat anaknya keluar kamar dengan pakaian tak biasa.
Nayna terkejut melihat sang ayah berdiri di depan pintu kamarnya. Dengan gugup, gadis itu menjawab jika dia akan kerja kelompok di rumah Tania.
"Yakin kerja kelompok? Atau mau ketemu Mas pacal? Hayo, ini kan malem minggu," ujar Rahmat yang tertawa melihat semburat merah semakin menebar di kedua pipi anaknya.
Nayna menggeleng kuat, lalu melirik ke arah belakang, di mana sang ibu tengah berkutat di dapur.
"Hm, Ayah tahu ... Bu! Ibu! Anakmu mau nyariin mantu buat kita! Nih lihat," teriak Rahmat yang seketika itu juga mengundang Siti datang dengan lap kotak-kotak tersampir di pundak dan sendok sayur di tangan.
"Siapa? Anak mana? Kamu mau nyamperin cowok, Nay? Gusti, sing eling Nay, sing eling. Kamu anak gadis. Kalau memang cowok bener, suruh ke rumah, bukan kamu yang nyamperin! Suruh ke sini, jemput di rumah, bukannya ketemu di ujung gang!" Siti berkacak pinggang, membuat Nayna refleks bersembunyi di belakang tubuh sang ayah.
Siti terus menasehati putrinya, sementara Rahmat memberi kode lewat tangan di belakang tubuh. Dia meminta Nayna untuk segera pergi, "biar ayah yang urus Nyonya," bisik laki-laki itu. Nayna mengangguk lalu bersiap pergi, "Bu, aku pergi dulu. Mau kerja kelompok di tempat Tania."
Gadis itu berlari sesaat, setelah Siti mengacungkan sendok sayur tinggi-tinggi. Nayna tertawa sembari melambai ke arah ibu dan ayahnya yang dia tahu, pasti akan terjadi perang lagi -seperti biasa.
*
Sementara di rumahnya, Aksara sudah siap dengan kaos putih polos yang dibalut kemeja panjang kotak-kotak berwarna hitam. Bagian lengan digulung sampai sebatas siku. Dia juga mengenakan celana levis hitam dan sepatu putih.
"Ekhm, mau ke mana, Nak? ... Rapi bener. Kencan ya?" puji Bi Diah sambil melirik dan tersenyum kecil melihat penampilan Aksara.
Dengan santai, pemuda itu menjawab akan pergi sebentar. "Ada perlu, Bi. Bibi mau pesen apa? Nanti aku beliin," ucap Aksara penuh perhatian.
Dari arah lain, muncul suara yang membuat keduanya menoleh.
"Aksa! Mau ke mana kamu? Bukannya belajar malah keluyuran, awas sampai nilaimu anjlok! Papa akan kirim kamu ke Amerika, biar Om Darwin yang akan urus kamu!"
Aksara tetap tenang, dia membalas tatapan ayahnya tanpa gentar sedikit pun.
"Silahkan, aku juga nggak pengin terus-terusan ketemu kalian. Orang tua yang sama sekali nggak tahu cara menghargai perasaan anak. Lebih baik pergi, dari pada lihat tingkah Papa dan Mama yang nggak pernah akur!"
Aksara berlalu setelah melihat sang ibu keluar dari ruang kerjanya. Wanita itu terlihat bertanya pada sang suami, namun Wisnu justru mengeluarkan sumpah serapah dan segala kata-kata yang membuat Maharani tak terima.
"Apa? Selalu saja kau menyalahkanku. Dia juga anakmu, ingat itu, Wisnu! Kau yang tak becus menjadi teladan untuknya! Kau kepala rumah tangga di sini, bukan aku!"
Pertengkaran terjadi, keduanya saling menyalahkan, membuat Bi Diah perlahan melangkah pergi ke arah dapur.
"Aksara seperti itu karena tingkah mereka, kenapa belum sadar juga? Gusti, tolong lindungi semuanya," gumam wanita itu seraya menghela napas lelah.
**
Di sebuah kafe yang ramai, Aksara duduk seorang diri, mengamati satu per satu pengunjung yang datang dan pergi. Matanya sesekali melirik pada jam tangan hitam di pergelangan kiri, sementara jarinya terus mengetuk meja pelan dan terkesan ... tak sabar.
Ke mana dia? Hampir satu jam belum datang juga? Apa iya dia bohong? Atau kesasar mungkin?
Aksara membuka ponsel, mencari aplikasi instagram dan mengirim pesan untuk seseorang.
Aktif satu jam yang lalu? Tapi kok nggak ada di sini?
Padma, kamu di mana?
Sedangkan di sebuah tempat yang tak jauh dari kafe itu, Nayna berulang kali mengamati tempat di mana dia akan bertemu dengan Aksara.
"Kamu mau ketemu siapa sih, Nay? Kenapa nggak samperin aja?" Tania menatap Nayna jengkel, karena sejak tadi, mereka berdiri lalu duduk, kemudian berdiri lagi tanpa beranjak dari tempat itu.
"Di sini banyak nyamuk, Nay. Nih kan, kena lagi."
Tania memperlihatkan telapak tangannya dengan seekor nyamuk yang mati dengan tubuh bak ayam geprek.
Nayna membuka ponsel tanpa peduli pada temannya yang terus bergumam tak jelas.
Duh, gimana ini? Dia udah kirim pesan lagi.
Maju aja, Nay. Jujur itu lebih baik.
Inget, Nay. Dia yang udah bikin kenangan pahit itu.
Nayna memejamkan mata, berharap semua kebisingan di kepalanya pergi dan menghilang.
"Nay, eh, Nayna, tuh lihat, ada Aksara di sana. Lagi nemenin ceweknya kali ya? Tapi kok tumben amat ke sini," bisik Tania dengan tangan terus menepuk lengan temannya. Dia menunjuk pada seorang pemuda yang berdiri di dekat motornya di halaman kafe.
"Jadi, dia beneran dateng? Aku kira dia cuma ngomong doang," gumam Nayna seakan hanya dia sendiri yang mendengar.
"Apa, Nay?" Tania menoleh, mengerutkan kening kala menatap Nayna yang masih bergumam lirih.
"Oh, nggak papa. Balik yuk, udah malem," ajaknya menarik tangan Tania.
"Kan, kita ... " belum selesai berkata, Nayna sudah membawanya berlalu.
Di saat yang sama, tanpa diduga muncul seseorang yang tak asing di mata Nayna, tapi untuk menyapa, dia sedikit sungkan karena kehadiran seorang pria yang berada di sampingnya.
Dia hanya tersenyum ke arah Nayna, lalu mengangguk. Sementara Nayna membalas hal serupa tanpa sepatah kata yang dia keluarkan.
Tania yang penasaran, semakin mendekatkan lengannya ke arah Nayna, lalu berbisik, "kamu kenal dia, Nay?"
Nayna hanya mengangguk. Keduanya memanggil taxi dan berlalu pulang.
"Temanmu?" ucap seorang pria bertubuh tambun yang melingkarkan lengan di bahu 'kekasihnya'. Si gadis mengangguk sembari tatapannya terus mengikuti Nayna yang semakin menjauh.
Gue harap, lo nggak lupa kejadian tiga tahun lalu. Gue akan terus ingat itu, sampai kapan pun!
Di lain tempat, tepatnya di halaman kafe, Aksara masih mengamati layar ponsel. Berharap ada balasan dari pesan yang dia kirim beberapa saat lalu.
Tunggu punya tunggu, tetap tak ada satu pun jawaban, membuat pemuda itu mengepalkan kedua tangan dengan rahang yang mengeras. Alis tebalnya terlihat menyatu, sedangkan matanya menyorot tajam -menyapu sekitar.
Apa dia sengaja lakuin ini? Tapi kenapa?
Masih dengan berbagai pertanyaan di benak, tiba-tiba Aksara terkejut saat bahunya ditepuk seseorang dari belakang.
"Sayang, ngapain di sini? Katanya lagi ada acara keluarga."
Dialah Melda, yang datang bersama orang terkasihnya -Waluyo.
"Aksa, kamu sedang apa di sini? Sendiri?"
Aksara mengangguk canggung, namun hatinya tak henti merutuki diri.
Kenapa harus ada mereka? Panjang urusan!
"Kamu udah makan? Yuk, temani kami. Kebetulan, Om sengaja ajak Melda. Katanya suntuk di rumah." Waluyo melangkah ke arah pintu dengan satu tangannya menarik Aksara untuk masuk ke kafe itu. Mau tak mau, Aksara mengekor tanpa ada penolakan, meskipun di hatinya enggan untuk bersama mereka.
***