"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
deep talk
...Happy reading...
Di tengah perjalanan pulang, Cely menyenderkan kepalanya dengan nyaman di sandaran kursi mobil. Matanya menerawang, menikmati pemandangan jalanan malam yang berlalu dengan cepat di balik jendela. Lampu-lampu jalan dan kendaraan yang berseliweran menciptakan garis-garis cahaya yang panjang dan dinamis. Tanpa sadar, senyuman kembali terukir manis di pipi Cely. Kenangan momen-momen bersama Leo di acara perpisahan tadi masih berputar-putar di benaknya, terutama panggilan "Tuan Putri" yang terasa begitu spesial dan menggelitik hatinya.
Zein, yang sedari tadi mengemudi dalam diam, memperhatikan tingkah adiknya dari kaca spion dalam mobil. Ia menyadari senyum misterius yang menghiasi wajah Cely.
"Emang kalo malem-malem gini tuh, bisa bikin orang jadi gila ya," ucap Zein tiba-tiba, memecah keheningan mobil dengan nada bicara yang sengaja dibuat dramatis. Ia melirik Cely melalui spion, menunggui reaksinya.
Cely sedikit tersentak dari lamunannya mendengar ucapan Zein. Ia menoleh ke depan, menatap Zein dengan ekspresi sedikit bingung.
"Ah, perasaan lo aja kali, Bang," sahut Cely dari kursi belakang.
Zein tidak menyerah dengan bantahan Cely. Ia justru semakin gencar menggoda adiknya dengan melibatkan Leo.
"Eh, bener kan, Yo!" bilang Zein pada Leo yang duduk di kursi depan. Ia meminta konfirmasi dari Leo seolah ingin memperkuat argumennya dan membuat Cely semakin salah tingkah.
"Tadi kayaknya ada orang yang senyum-senyum sendiri tuh, siapa ya?" ucap Zein dengan nada berpikir keras yang dibuat-buat, pura-pura mencoba mengingat sosok misterius yang tersenyum di malam hari, padahal jelas-jelas ia sedang menyindir Cely.
Cely memilih untuk tidak menjawab godaan abangnya. Ia malah semakin membenamkan dirinya ke bantalan kursi mobil, mencari posisi yang lebih nyaman. Kelopak matanya perlahan menutup, rasa lelah setelah beraktivitas yang membuatnya cepat sekali mengantuk.
Di tengah keheningan malam yang sunyi, hanya suara obrolan kecil antara Leo dan Zein yang terdengar lirih. Mereka berdua membahas hal-hal ringan, berusaha menjaga percakapan tetap mengalir. Tiba-tiba, Zein kembali bertanya, memastikan adiknya masih mendengarkan obrolan mereka. "Iya kan, Cel?" tanyanya, mencoba memancing Cely untuk ikut bergabung dalam percakapan.
Namun, tak ada sahutan dari Cely. Zein mengerutkan kening, merasa aneh karena adiknya tiba-tiba diam. Ia kembali melirik ke arah kaca spion dalam mobil, matanya tertuju pada sosok Cely di kursi belakang. Kali ini, ia melihat dengan jelas bahwa Cely sudah benar-benar terlelap. Napasnya teratur dan dalam, kepalanya sedikit miring ke samping, menunjukkan bahwa ia sudah hanyut dalam tidurnya.
"Lah ... dah tidur tuh anak!" ucap Zein, terkejut.
Ia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil. Zein mengurangi kecepatan mobilnya, berusaha mengemudi dengan lebih halus dan hati-hati agar Cely tidak terbangun dari tidur nyenyaknya.
Mobil hitam itu perlahan melambat dan berhenti di depan rumah Leo. Leo segera melepaskan sabuk pengamannya, sebelum ia meraih gagang pintu mobil dan bersiap untuk keluar.
"Eh, mobil ayah lo, gue letak di rumah gue dulu ya, biar abang ga jauh buat ngangkat Cely nanti." ucap zein yang diangguki oleh leo.
"Oke siap, nanti Leo bilang ke ayah!" jawab Leo, seraya mendorong pintu mobil hingga terbuka lebar.
Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Zein yang masih duduk di dalam mobil, ia bergegas menuju pintu rumahnya. Langkah kakinya cepat menaiki anak tangga teras, sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kayu bercat cokelat yang menutup rapat.
Mobil sedan hitam itu kembali melaju, menuju rumah Zein yang berdiri tegak di seberang rumah Leo. Dengan sigap, Zein memutar kemudi dan mengarahkan mobil ke dalam garasi yang terang akan cahaya lampu otomatis.
Raungan mesin mobil yang tadi menderu keras, tiba-tiba meredup dan mati seketika, keheningan yang pekat langsung menyelimuti, hanya dengungan halus lampu garasi yang lirih menjadi satu-satunya suara yang terdengar.
Dengan gerakan lembut dan penuh kehati-hatian, Zein membuka pintu belakang mobil. Ia berniat mengangkat Cely yang terlelap dalam tidurnya, dan membawanya menuju kamar yang nyaman. Namun, tepat ketika jemarinya menyentuh pergelangan tangan Cely Perlahan, kelopak mata Cely yang tadinya tertutup rapat, kini bergerak dan terbuka. Pantulan cahaya redup dari garasi terlihat jelas bermain di iris mata Cely yang mulai mengerjap.
"Udah sampai, Bang?" tanya Cely lirih, suaranya masih kental oleh kantuk.
"Iya, udah sampai kok," jawab Zein lembut. "Ayo, masuk!"
Cely menggeliat kecil di kursi mobil sebelum akhirnya mengeluarkan diri dari dalam mobil. Nyawanya tampak masih berlayar di alam mimpi, tubuhnya goyah dan terhuyung sejenak. Kakinya yang telanjang, tanpa alas apapun, mencari pijakan di lantai garasi yang dingin.
Setelah memastikan Cely berdiri tegak, Zein membungkuk kembali ke dalam mobil. Tangannya menyusup ke bawah kursi, mencari dan meraih sepasang high heels Cely yang tergeletak di sana. Ia menjinjing sepatu itu di tangan kanannya.
Bersamaan, mereka berdua melangkahkan kaki menyeberangi ambang pintu, masuk ke dalam hangatnya rumah.
"Habis cuci muka langsung tidur ya, Cel!" teriak Zein, yang akan berjalan ke arah dapur.
Cely hanya diam, tanpa menjawab sepatah kata pun. Ia terus melangkah menuju kamarnya yang terang remang. Mengganti gaun yang ia kenakan dengan piyama miliknya. Pintu kamar mandi yang terbuat dari kayu ia buka perlahan, lalu kakinya menginjak lantai keramik yang dingin.
Air mengucur deras dari keran, siap menyambut wajahnya. Kulit mukanya yang lembut terguyur air yang dingin, seolah membangkitkan kembali semangatnya yang sempat hilang. Ia terpaku di depan cermin wastafel, matanya menerawang menatap bayangan wajahnya sendiri yang tampak pucat di pantulan kaca.
"Bang!"
Tiba-tiba, suara Cely yang sedikit serak memecah kesunyian dapur, langkah kakinya kecil membawanya mendekati Zein yang sedang berdiri di dekat meja dapur.
Zein, yang sedang fokus meracik bahan minuman di atas meja, terlonjak kaget mendengar namanya dipanggil. Ia segera menoleh ke belakang.
"Loh, kok nggak lanjut tidur, Cel?" tanya Zein.
Dengan gerakan lemas, Cely menjatuhkan dirinya di kursi meja makan yang terbuat dari kayu. Wajahnya yang tadi sedikit segar setelah terkena air, kini kembali terlihat pucat pasi.
"Lo kenapa?" tanya Zein. "Mau Abang buatin minum?" tanyanya lagi.
Cely hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.
Zein bergerak lincah di antara peralatan dapur. Tangan kanannya meraih ceret yang masih mengepulkan uap panas, lalu dengan hati-hati ia menuangkan air mendidih dari ceret tersebut ke dalam cangkir yang sudah ia siapkan di atas meja. Uap hangat dari air mendidih langsung membubung, membawa serta aroma jahe yang pedas, memenuhi seantero dapur.
"Nih minum!" suruh Zein, seraya mengulurkan secangkir wedang jahe yang masih mengepulkan uap.
Cely menerima cangkir tersebut dengan kedua tangannya, jemarinya yang dingin langsung merasakan kehangatan dari cangkir keramik.
Dengan hati-hati, Zein menarik kursi dan mendudukinya tepat di hadapan Cely, di meja makan yang sederhana.
"Cel," panggil Zein, "gue mau tanya sama lo sekali lagi!"
Cely, yang tadinya menundukkan kepalanya dalam-dalam, membiarkan pandangannya kosong menatap cangkir wedang jahe di hadapannya, perlahan mengangkat wajahnya. Sebelum akhirnya matanya bertemu dengan tatapan Zein yang penuh pertanyaan.
"Lo beneran mau di sini aja?" tanya Zein kembali. Sebagai jawaban, Cely hanya mengangguk-anggukan kepalanya singkat.
Zein menghela napas panjang, tangannya terangkat mencengkeram kepalanya dengan frustrasi. Jemari-jemarinya seolah memijat pelipisnya yang berdenyut.
Ia kembali mengarahkan pandangannya pada Cely. "Cel, boleh nggak, kalau gue ... egois sekali aja?" Ia menelan ludah sejenak. "Gue bener-bener nggak mau terjadi apa-apa sama lo, kalo lo tetep di sini sendiri!"
Cely kembali menunduk dalam, pandangannya menerawang kosong ke dasar cangkir. Jemarinya yang halus mulai memainkan tepi cangkir keramik.
"Gue nggak lama di sini kok, Bang!" jawab Cely, "cuma ... tiga tahun doang," lanjutnya, "habis tamat SMA nanti ... gue bakalan ikut lo!"
"Sekarang lo bilangnya gitu!" sergah Zein, "besok? Lo bakalan bilang kalo lo mau kuliah di sini aja?!" tanya Zein dengan penekanan di setiap kalimatnya.
"Terus aja lo sendiri di sini!" lanjut Zein, suaranya semakin meninggi.
"Lo itu masih punya gue sama Ayah, Cel! Lo bukan anak kecil lagi! Coba lo renungin lagi masalah lo baik-baik!" Ucapan Zein meluncur panjang lebar, kata-katanya berat dan penuh dengan harapan agar Cely benar-benar mempertimbangkan keputusannya.
"Gue ... bingung, Bang!" ucap Cely, suaranya nyaris berbisik, tercekat di tenggorokan.
Zein menghela napas berat. "Bingung kenapa?" tanya Zein, "lo cuma harus ikut gue pergi! Udah, selesai!" ucap Zein menekankan setiap kalimatnya.
"Gue ... masih kangen sama Ibu," lirih Cely.
"Gue belum puas buat main sama dia," lanjutnya, suaranya semakin mengecil, hampir seperti bisikan tertahan.
"Enam tahun ... bukan apa-apa buat gue!"
Tiba-tiba, dadanya terasa sesak, napasnya tercekat, kenangan tentang ibunya menyeruak memenuhi benaknya.
"Lo kira gampang ... buat pergi dari sini?" bentak Cely, air matanya kini tumpah, membentuk sungai kecil di pipinya.
"Cel, dengerin Gue baik-baik!" ucap Zein.
"Yang luka ... bukan cuma lo!" lanjutnya, "gue, Ayah juga sama. Bahkan sampai sekarang," Zein menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan gejolak emosinya, "Ayah masih nangis setiap malamnya," suaranya bergetar lirih, "karena apa? Karena dia masih sayang sama Ibu!" Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap ke dalam benak Cely, berharap adiknya mengerti betapa besar kehilangan yang mereka rasakan bersama.
"Kita pergi ... juga karena di sini kita semua sakit!" ucap Zein lagi.
Zein kembali menarik napas panjang, dadanya terasa sesak, berusaha keras menetralkan emosinya yang nyaris meluap. Ia ingin Cely tahu bahwa keputusan ini bukan diambil dengan mudah, melainkan buah dari kepedihan yang mendalam dan keinginan untuk mencari penyembuhan bersama.
Dengan perlahan, Zein meluruskan tubuhnya, bangkit berdiri dari tempat duduknya. Kursi kayu usang itu tergeser mundur, kaki-kakinya menyeret lantai dan menghasilkan derit halus yang memecah keheningan dapur.
"Lebih baik lo tidur sekarang!" suruh Zein, suaranya melembut penuh kasih sayang, seraya tangannya terulur dengan lembut, jari-jarinya menyisir perlahan surai halus milik Cely. "Jangan lupa minum obatnya ya, biar kepalanya nggak pusing lagi!" Ia menunduk sedikit, menepuk pelan bahu Cely sekilas, sebuah sentuhan singkat.
Kemudian, Zein berbalik dan melangkahkan kakinya keluar rumah. Pintu kayu berderit pelan saat ia membukanya, menerobos keluar dari kehangatan dalam rumah menuju kesunyian malam yang dingin. Ia mencari tempat duduk di teras depan, memilih sudut yang tersembunyi dari sorot lampu jalan.
Zein membiarkan dirinya terperangkap dalam sunyi malam yang hening. Angin malam berhembus dengan kencang, menerpa kulitnya yang hanya terbalut kaus tipis. Rasa dingin langsung menusuk hingga ke tulang, membuat bulu kuduknya berdiri dan tubuhnya merinding seketika. Zein menggosok-gosok lengannya kuat-kuat, berusaha menghalau hawa dingin yang semakin menusuk, sambil menyandarkan kepalanya dengan lelah di punggung kursi yang terasa dingin.
...______________...