Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Damar Jelas Menikmatinya
“Oma, baju ini lucu. Ada gambar dinosaurusnya!” seru Ares sambil mengangkat satu jumpsuit mungil yang menarik perhatiannya.
“Wah… benar, lucu sekali.” Mama Rini tersenyum. “Tapi adik bayi belum sebesar ini, Nak. Masih terlalu besar bajunya.”
Ares mengangguk cepat. “Kalau begitu kita cari yang lain, Oma?”
Dua insan beda usia itu terlihat akrab. Tawa kecil sesekali pecah di antara mereka, membuat suasana toko peralatan bayi jadi lebih hangat. Ares memang anak yang aktif dan mudah berbaur, apalagi ketika ia merasa nyaman dengan seseorang.
Saat mereka tengah membawa belanjaan ke kasir dengan bantuan pramuniaga, Stasia muncul bersama Damar yang berjalan di belakangnya.
“Mama!” Mata Ares berbinar begitu melihat Stasia. Ia langsung berlari memeluk Stasia dengan penuh semangat.
Damar menatap pemandangan itu sambil tersenyum tipis. Ada sesuatu di hatinya saat melihat betapa lembutnya Stasia memperlakukan Ares yang sejatinya bukan putra kandungnya. “Ares nggak mau sapa Papa juga?” tanyanya tiba-tiba.
Stasia sontak menoleh dengan tatapan horor, berusaha memberi sinyal agar Damar berhenti. Tapi pria itu pura-pura tidak paham. Ia tidak peduli. Yang ia tahu hanya satu: ia ingin merebut hati Ares.
Mama Rini yang menyaksikan interaksi itu hanya menggeleng kecil sambil tersenyum samar. Ia lalu sibuk memastikan semua belanjaannya dibereskan oleh pramuniaga.
“Mama, Ares boleh peluk Papa, kan?” Ares mendongak dengan tatapan memohon.
Stasia menghela napas panjang, akhirnya ia mengangguk pasrah.
Sekejap, wajah Ares berbinar lagi. Ia langsung merangkul Damar dengan hangat. Damar membalas pelukan itu sambil menatap Stasia, lalu menggerakkan bibirnya tanpa suara, seolah berkata: ‘Dia juga anakku.’
Stasia melotot tak percaya, sementara Damar hanya membalas dengan senyuman yakin, seakan dirinya sedang memenangkan pertandingan yang bahkan belum benar-benar dimulai.
Tak ingin memperpanjang masalah di depan Ares, Stasia memilih mendekat ke Mama Rini dan membantu mengurus pembayaran di kasir.
“Sudah selesai belanjanya, Tante?” tanyanya dengan senyum sopan.
Mama Rini mengangguk ceria. “Sudah. Tante dapat banyak baju lucu-lucu. Ares tadi banyak bantu Tante memilih.”
“Berapa usia bayi Wulan sekarang, Tante? Aku belum sempat ke sana.”
“Belum genap sebulan,” jawab Mama Rini. “Habis ini kamu ada acara lagi?”
Stasia tersenyum tipis. “Tergantung Ares saja, Tante. Hari ini memang quality time untuk Ares.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau ke rumah Tante?” tawar Mama Rini. “Kamu bisa ketemu Wulan, dan Ares bisa bertemu Baby Dilan. Tadi dia cerita ingin kenalan dengan Baby Dilan, biar kalau besar bisa main bareng.”
Keduanya terkekeh bersama. “Kalau Ares mau, Stacy tidak keberatan, Tante,” jawab Stasia.
“Ares pasti mau,” sela Damar yang tiba-tiba mendekat, kini sudah menggendong Ares. “Benar kan, Anak Papa? Mau main ke rumah Papa, ketemu adik bayi?”
Ares tersenyum cerah, lalu menoleh ke Stasia untuk meminta restu. “Boleh, kan, Mama?”
Stasia menatap Ares sebentar, lalu mengangguk pelan dengan senyum tipis.
“Yey! Mama boleh!” sorak Ares girang, lalu merangkul leher Damar erat-erat.
Setelah semua belanjaan Mama Rini dibayar, mereka beranjak menuju parkiran. Namun sebelum sampai, Stasia menahan langkah.
“Tante, boleh Stacy menyusul saja ke mobil? Ada barang yang harus aku beli dulu,” ucapnya sopan.
“Baiklah. Kami tunggu di parkiran atau bagaimana?” tanya Mama Rini.
“Bagaimana kalau Mama dan Ares langsung ke mobil saja?” sela Damar cepat. “Aku temani Stacy dulu.”
“Tidak perlu, Dam,” tolak Stasia buru-buru.
Mama Rini menatap keduanya sekilas, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, Mama dan Ares tunggu di mobil, ya. Stacy nggak lama, kan?”
Stasia mengangguk. “Tidak lama, Tante.”
Ares dengan riang mengikuti Mama Rini ke arah parkiran. Begitu mereka menghilang dari pandangan, Stasia bergegas masuk ke sebuah toko buku, tanpa menggubris Damar yang otomatis mengekorinya.
“Kamu mau cari buku apa?” tanya Damar santai, tangannya masuk ke saku celana.
“Dam, sebaiknya kamu nggak ikut,” sahut Stasia dingin sambil menelusuri rak.
“Tapi sayangnya aku mau ikut. Kalau perlu nanti aku yang bayarin. Sesekali cowok bayar belanjaan untuk pacarnya itu wajar kan?”
Stasia mendongak, menatapnya tajam. “Siapa pacarmu?”
“Ya kamu, dong. Masa iya ada yang lain?” jawab Damar enteng.
“Ngaku-ngaku aja.”
“Bukan ngaku-ngaku. Ini sudah dipatenkan sejak kita SMP, kalau Stacy cuma boleh jadi milik Damar.”
Stasia mendengus geli. “Apaan… gak ada ceritanya Stacy dipaten hanya milik ketos dingin yang bernama Damar. Apa kamu amnesia? dulu waktu SMP kamu dingin ke aku kayak kulkas dua pintu.”
“Biar dingin, tapi kamu tetap suka kan?” goda Damar, senyumnya miring.
“Siapa bilang?” pipi Stasia langsung bersemu. Jujur, dia sangat malu jika mengingat masa remajanya yang selalu berusaha berada di dekat damar.
Damar terkekeh. “Udah nggak usah ngeles. Wajah salah tingkah kamu sudah jawab semuanya.”
“Terserah kamu lah…” Stasia menggerutu sambil mengambil buku incaran.
Setelah selesai memilih, ia menuju kasir. Namun sebelum sempat mengeluarkan dompet, Damar lebih dulu menyerahkan kartunya.
“Dam, aku bisa bayar sendiri,” protes Stasia.
“Bayar pakai ini saja,” ucap Damar santai pada kasir yang kini bingung menatap keduanya.
Dengan terpaksa Stasia menerima barang dengan pembayaran dari Damar. Setelah menerima barang, mereka lanjut berjalan menuju lift sambil beriringan.
“Ck, aku akan ganti uang kamu. Aku nggak mau punya hutang padamu,” kesal Stasia sambil terus berjalan dan sesekali melihat pada Damar.
“Tapi aku nggak mau dibayar pakai uang.” Damar melirik penuh arti.
Stasia melongo sebentar. “Maksudmu?”
“Hmm… gimana kalau bayarnya dengan makan siang bareng aku setiap hari?” goda Damar.
“Bukan ide bagus,” ketus Stasia.
“Kenapa nggak?”
Mereka sampai di depan pintu lift yang masih tertutup. Stasia menghentikan langkah di depannya. “Pak CEO yang terhormat, saya ini cuma bawahan Anda. Kalau tiap hari makan bareng atasan, apa kata karyawan lain?”
Damar tersenyum miring. “Kenapa harus peduli pendapat orang lain? Kalau ada yang berani macam-macam dengan calon istri CEO, biar aku yang urus.”
Stasia makin kesal. “Aku cuma mau kerja dengan tenang, Dam. Tolong jangan bikin posisiku sulit di kantor.”
Tepat saat itu pintu lift terbuka. Di dalam sudah cukup penuh. Tanpa memberi kesempatan Stasia menolak, Damar meraih tangannya dan menariknya masuk.
Kondisi lift yang sesak membuat mereka berdiri sangat dekat. Damar sengaja memposisikan tubuhnya melindungi Stasia, membuat wajah mereka hanya berjarak sejengkal. Nafas mereka bertemu, jantung sama-sama berpacu kencang.
Satu lengan Damar bertumpu di dinding lift, sementara sisi tubuh lainnya merengkuh Stasia agar tidak terdorong orang. Posisi itu membuat Stasia salah tingkah—dan Damar jelas menikmatinya.