NovelToon NovelToon
60 Hari Untuk Hamil

60 Hari Untuk Hamil

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romansa / Disfungsi Ereksi
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”

Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.

Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.

Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.

Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.

Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 Dia Mengencai 15 Wanita

Sudah dua malam Alex tak pulang. Entah apa yang terjadi, Eve hanya bisa menebak-nebak—dan itu membuatnya gelisah.

Alex pernah memperingatkannya agar tidak ikut campur, jadi Eve memilih diam—menunggu hingga pria itu pulang atas kehendaknya sendiri.

Sementara itu, dia menyibukkan diri membuka kembali toko kue peninggalan Liana. Irish dan Shania, dua wanita yang lama mengenalnya lewat panti, turun tangan membantu.

Etalase mulai terisi. Mereka bekerja keras, memproduksi kue sambil memasarkan lewat media sosial.

Waktu berlalu cepat. Saat senja mulai turun, Eve akhirnya pulang.

Mobilnya melaju pelan di antara sisa gerimis. Kawasan Teluk Biru sepi dan lembap, dengan rumah-rumah yang tersebar, tak jauh dari pantai.

Saat mobilnya berbelok ke halaman, Eve melihat siluet seorang wanita berdiri mematung. Sosok itu menatap ke arah rumah Alex—seperti sedang menunggu seseorang.

Eve mengerem perlahan. Entah siapa wanita itu, tapi firasatnya langsung tidak enak.

Dia mendekat, lalu berhenti di sisinya sambil menurunkan kaca jendela.

“Permisi, Nona.”

Wanita itu menoleh lambat. Mata sayunya menatap sengit.

Eve sedikit terkejut. Dia tidak mengenalnya, tapi wanita yang berdiri di halaman rumah Alex ini melihatnya seolah dia mengenalnya dengan sangat baik.

“Apa … kamu mencari seseorang di rumah ini?”

Dia mendekat. Langkahnya lemah. Dia terlihat seperti seenggok mayat yang berjalan gontai. Ada cekungan di bawah matanya yang menghitam.

“Tinggalkan Tuan. Pergi dari rumah ini.”

Ucapannya rendah, tidak ada emosi. Tapi entah kenapa Eve merasa tercekik mendengarnya.

Saat ia baru membuka mulut, wanita itu tiba-tiba saja berbalik dan pergi begitu saja.

Tinggalkan Tuan?

Apa maksudnya?

Alex?

Kenapa dia harus pergi dari rumah ini?

Kenapa wanita itu menyebut Alex dengan Tuan? Dia mantan pelayan?

Eve masih bengong melihat bekas kepergian wanita itu. Sampai Pak Frans muncul dari dalam, menyapanya.

“Selamat datang, Nyonya,” ucapnya sopan sambil menekuk sedikit punggungnya.

“Ah, Pak Frans ….”

“Ya, Nyonya?”

“Kamu melihat … wanita yang berdiri di depan halaman sana, kan? Kenapa kamu tidak menyuruh dia masuk? Aku rasa dia mencari Alex.”

Manik mata Pak Frans bergoyang, seperti mencari sesuatu di kepalanya. “Saya … tidak mengenalnya. Saya rasa dia hanya tersesat.”

Terserat?

Rasanya tidak mungkin. Jika dia tersesat, kenapa tidak pergi dari sana? Dia seperti sedang berdiri mengamati rumah Alex sejak tadi.

Sepertinya Alex pun tidak akan pulang ke rumah lagi malam ini. Tidak ada tanda-tanda kepulangannya. Makan malam hanya disajikan untuknya saja.

Eve duduk di balkon sisi rumah Alex. Ada kopi di depannya, juga buku yang sedang dia baca.

Saat dia mendengar suara langkah kaki dari arah belakang, dia pikir itu Alex, sampai dia refleks menegakkan punggung. Tapi ternyata itu Pak Frans yang melangkah pelan, masuk ke sebuah ruangan.

Pria itu keluar dengan sebuah berkas tipis di tangannya.

Sepertinya itu ruang kerja Alex.

Tadinya Eve juga tidak mau tahu. Tapi akhirnya, rasa penasaran membawanya ke depan pintu tersebut.

Tidak terkunci!

Mata Eve berbinar bahagia.

Baiklah, dia hanya akan melihat bagaimana ruang kerja pria itu. Tidak lebih.

Ruangannya sangat tertata dan bersih. Meski tidak ada warna lain selain abu-abu dan putih, tapi interiornya cukup menarik.

Hal pertama yang menarik perhatiannya adalah foto Alex yang dicetak besar, dibingkai dengan bingkai emas. Dia duduk di kursi besar sambil menyilangkan kaki. Ekspresinya serius, dan tatapan matanya tidak pernah berubah. Itu mengerdilkan siapa pun yang berani menatapnya.

Ada rak buku besar di sisi. Ruang tamu yang nyaman, juga meja kerja serta kursinya yang elegan. Jika dilihat baik-baik, itu khas sekali dengan karakter Alex kaku.

Eve bergerak ke sana, mencoba duduk di atas kursinya.

Nyaman, empuk. Seolah-olah dia memiliki segala hal di bawah kakinya.

Tangannya bergerak secara alami, membuka laci di kaki meja.

Biasanya orang akan memajang foto keluarga mereka di ruang kerja. Entah itu dicetak di dinding, atau sekedar diletakkan di atas meja.

Tapi Alex tidak memilikinya. Bahkan tidak sekalipun Eve melihat foto masa kecil Alex di rumah ini. Dan sekarang dia ingin mencarinya di laci, hanya untuk melihat bagaimana wajah pria itu saat masih kecil.

Namun yang ia temukan, justru setumpuk berkas di laci paling bawah. Eve mengambilnya satu, dengan iseng membukanya.

Sebuah foto perempuan muncul di halaman depan, lengkap dengan nama, alamat, serta semua informasi data dirinya lengkap.

Eve menarik berkas kedua, lalu ketiga, keempat, dan semuanya sama!

Semua berkas itu hanya berisi informasi wanita hingga detail mengenai mereka.

Di tengah-tengah, mata Eve melebar.

Foto wanita yang ditempel itu, dia ….

Wanita yang di depan halaman rumah tadi.

Laura Owen.

Eve menutup berkas itu, buru-buru keluar dan berlari ke kamarnya.

Siapa semua wanita yang disimpan Alex dalam ruang kerjanya?

Tidak mungkin mereka semua pelayan, karena mereka semua masih begitu muda. Cantik. Alex juga tidak mungkin begitu memperhatikan pelayan hingga menulis detail mengenai mereka.

15 wanita? Dia mengencani 15 wanita?

Eve merasa akal sehatnya hilang sesaat.

Keesokannya, dia pikir akan melihat Alex di kamar. Namun, kamar itu masih kosong. Tidak ada bekas aroma khas Alex yang bisa dia cium.

Eve pergi ke toko dengan pikiran kacau. Foto-foto yang dikumpulkan Alex serta ucapan Laura seperti bintang-bintang yang mengelilingi kepalanya.

Saat dia memikirkan itu, tiba-tiba saja sebuah bantalan sofa mendarat di wajahnya.

“Oh, shit!”

Shania dan Irish tertawa kompak.

“Maaf, maaf ….” Shania mendekat, duduk di sisinya. “Apa kau tidak mendengar? Aku memanggilmu sejak tadi, tapi kau cuma diam kayak patung. Apa yang kau pikirkan? Kau punya masalah?”

“Lihat, Tuan Alex sudah membuat teman kita jadi lesu seperti ini. Apa dia meny!ksamu semalaman, hm?” Irish tertawa renyah, mendekat dan duduk di sisinya juga. “Kau pasti kesulitan menghadapi pria sepertinya, kan? Astaga … kau benar-benar butuh penambah stamina, Eve!”

Eve tertawa canggung di permukaan. Kalau saja mereka tahu Alex itu imp0ten, mungkin mereka akan tertawa sampai tersedak.

Lalu Shania mengambil telapak tangannya, mengusapnya lembut. “Aku bahagia akhirnya kau bisa mendapatkan pria seperti Tuan Alex. Aku—“

Ucapan Shania terpotong saat tiba-tiba Eve menarik pergelangan tangannya, menyingkap sedikit lengan panjangnya. “Shania, tanganmu … kenapa dengan tanganmu?”

Mata Eve melebar saat melihat kedua pergelangan tangan Shania yang memiliki bekas seperti ikatan. Itu berwarna merah pekat, melingkar di keduanya.

“Apa sesuatu terjadi padamu?” Eve bertanya lagi, kepalanya naik melihat wajah Shania.

“Tidak. Ini … ini tidak apa-apa.”

Buru-buru Shania menarik tangannya, menutupi pergelangan itu dengan lengan panjang kaosnya.

“Tidak apa-apa bagaimana?” Suara Irish meninggi. “Jelas-jelas kalau itu bekas ikatan, Shan! Sini, biarkan aku melihatnya lagi.”

“Tapi ini benar-benar tidak apa-apa!” Shania berdiri, menjauh menghindari mereka.

Irish tidak bisa menerima, dia bertanya lagi dengan keras kepala. “Apa … ada seseorang yang merundungmu?”

“Tidak. Ini … ini hanya sedikit bermain-main dengan adikku.” Shania menoleh, mengulas senyum kaku. “Kita akan tutup lebih sore, kan? Jadi mari kita bereskan semua ini. Aku juga ada sesuatu yang harus kulakukan.”

Eve tahu ada yang sedang Shania tutupi dari mereka. Jika memang tidak terjadi apa-apa, tidak mungkin dia menghindar. Tidak mungkin juga dia menyembunyikan tangannya.

Apa pun itu, yang jelas Shania tidak ingin mereka mengetahuinya.

Eve sudah berjanji pada Manda jika dia akan menemuinya di kafe nanti sore. Namun saat dia tiba, rupanya wanita itu sudah menunggunya dengan segelas kopi.

Manda berteriak memanggil namanya dari ujung sana sambil melambai.

“Apa aku terlalu lama?”

“Ya. Kau sangat lama sekali! Lihat, baru beberapa hari kau keluar dari perusahaan, dan kau sudah tidak mau menghubungiku lagi. Kalau bukan aku yang mengajakmu bertemu di sini, mungkin kau juga tidak akan menemuiku.”

Wajah Eve menunjukkan senyum tidak berdosa. “Maaf. Aku agak sibuk akhir-akhir ini.”

“Apa yang kau lakukan jika tidak bekerja?”

“Aku membuka toko kue di depan panti.”

“Sungguh? Kenapa kau baru memberitahuku? Jika aku tahu, aku pasti mampir ke sana. Apa kau sendiri yang membuatnya?”

Eve mengangguk cepat. “En. Ibu Liana mengajariku banyak hal di masa lalu. Sebelum kecelakaan.”

Beberapa menu disajikan. Eve menarik gelas es, meneguknya sedikit.

“Manda.”

“Ya?”

“Apa … Alex ke perusahaan?”

“Tidak. Kenapa?”

“Kalau begitu … dia ke mana, ya?”

Manda tertawa meledeknya. “Bagaimana aku tahu, Eve! Kau ini kan, istrinya! Kenapa bertanya padaku?”

“Kau tahu kita sudah memiliki perjanjian kalau tidak saling ikut campur.” Eve menyandar, melipat tangannya. Kepalanya menoleh ke sisi, menatap keluar jendela sambil menghela napas berat. “Aku tidak mencarinya. Hanya saja aku—“

Tiba-tiba Eve berhenti, menelan sisa ucapannya.

“Aku apa?”

“Aku harus pergi.”

“Eve! Eve!”

Eve tidak mendengarnya. Dia keluar dari kafe, lalu berlarian seperti mengejar seseorang.

Dia tidak akan salah melihat. Jelas bahwa wajah seorang wanita yang mengawasi mereka dari luar tadi adalah wajah Laura. Tapi kenapa dia kabur?

Punggung Laura terlihat. Dia bergerak cepat masuk ke sebuah gang seperti menghindarinya.

Atau, memancingnya untuk mengikuti?

“Laura Owen! Tunggu, Laura!”

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!