Kairos Lim, aktor papan atas yang terpaksa menghadapi badai terbesar dalam hidupnya ketika kabar kehamilan mantan kekasihnya bocor ke media sosial. Reputasinya runtuh dalam semalam. Kontrak iklan dibatalkan, dan publik menjatuhkan tanpa ampun. Terjebak antara membela diri atau menerima tanggung jawab yang belum tentu miliknya. Ia harus memilih menyelamatkan karirnya atau memperbaiki hidup seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kimchi Jjigae
"Halmeoni?" Mata Kairos membulat, sebisa mungkin dia menyembunyikan rona merah di pipinya akibat tamparan sang papa. Namun, usahannya sia-sia, tangan keriput itu telah mengelus pipinya penuh kasih sayang.
Hal yang paling Kairos benci pun terlihat di depan mata, retina berwarna biru itu mulai berembun, sudut bibir tidak lagi membentuk lengkungan indah, melainkan kesedihan.
"Aegi-ya, wajah tampanmu terluka lagi karena bertemu Seo-Jun. Halmeoniga sudah katakan jangan menemuinya dalam kondisi hati yang buruk," ujar wanita tua yang merupakan ibu dari Seo-Jun Lim.
Usia yang sudah tua tidak membuat kecantikannya memudar. Mata biru yang sangat mirip dengan Kairos itu selalu bersinar dalam sedih atau pun senang.
"Kai baik-baik saja Halmeoni. Ini juga karena kesalahan Kai yang tidak becus menjaga nama baik."
"Bohong!"
"Halmeoni sudah makan? Mau makan bersama?" Kairos mengalihkan pembicaraan.
Semudah membalikkan telapak tangan, mood wanita tua itu membaik. Menarik tangan Kairos menuju ruangan yang cukup jauh dari jangkuan Seo-Jun Lim, bahkan hampir tidak pernah pria itu datangi.
Kairos duduk dengan tenang, memperhatikan neneknya keluar masuk ruangan menyajikan sesuatu di atas meja. Sudut bibirnya berkedut, tidak lama segaris senyuman menghiasi wajahnya melihat hidangan kimchi Jjigae kesukaanya sejak dulu.
Aroma pedas asam yang menyapa selalu membawa kenangan pulang. Kimchi Jjigae buatan nenek tak pernah mewah, tapi selalu berhasil menghangatkan hatinya.
Potongan tahu putih yang lembut, irisan daging babi tipis yang meleleh di mulut, dan kuah merah menyala yang mengepul di mangkuk tanah liat tua, semua berpadu dalam rasa yang tak bisa ditemukan di restoran mana pun. Setiap sendoknya seperti pelukan hangat dari masa kecil.
Sebelum mengenal dunia luar, Kairos sering menikmatinya dengan sang nenek. Namun, di balik kenangan manis itu selalu beriringan dengan rasa sakit.
Asap dari nasi putih hangat dan lauk kecil di sekelilingnya, menyamarkan genangan kecil di pelupuk mata. Kairos menunduk dan mencicipi makanan yang dibuat penuh cinta tersebut.
"Aegy, makanlah tanpa menitikkan air mata." Menepuk pelan kepala Kairos.
"Terlalu pedas Halmeoni." Akhirnya genangan yang sejak tadi tertahan, jatuh di sertai tawa kecil.
"Bohong."
Kairos tertawa, kimchi jjigae buatan nenek selalu ia dapatkan usai pukulan sang papa. Baginya, ini adalah penenang agar hatinya tidak terlalu sakit, sudah terjadi sejak ia menginjakkan kaki di rumah ini beberapa tahun lalu.
***
Suara barang berjatuhan sungguh mengusik telinga akan tetapi tidak dihentikan oleh pelaku. Rasa muak membuatnya melakukan semua ini agar bisa tenang.
"Cukup Nona!"
"Unnie-ya! Sampai kapan aku harus terkurung di sini?" tanya Hanna dengan penglihatan buram, air matanya menghalangi pandangan.
Sejak sampai di Kanada ia tidak mempunyai kesempatan memegang ponselnya sendiri. Alasan pekerjaan hanyalah tipuan semata yang dibuat manajer, appa juga agensi tempatnya bernaung.
"Sampai Tuan Shin memberikan perintah," jawab manajer Hanna.
"Aku kecewa Unnie, aku sangat mempercayaimu tapi kamu membuatku kecewa. Aku harus pulang dan menemui oppa."
Mendorong tubuh manajernya agar bisa meraih pintu kamar. Usahanya sia-sia, kamar itu terkunci dari luar.
"Aku pun terjebak di sini karena berusaha mencari celah untuk membantumu kabur diam-diam," ucap manajernya dengan kepala tertunduk.
Upaya yang manajernya lakukan selama di Kanada malah tercium oleh kakak Shin Hanna, dan berakhir sia-sia. Kini dia tidak bisa membantu Shin Hanna kabur. Visa, paspor dan barang penting lainnya sudah disita.
"Oppa buka pintunya!" teriak Hanna tetapi di luar sana seolah tidak ada kehidupan. "Jika tidak dibuka dalam waktu 5 menit, besok oppa akan menemukan mayatku!" teriaknya sekuat tenaga.
Wanita muda berambut pendek, yang senantiasa duduk tidak jauh dari kamar Hanna, terkejut mendengar ancaman tersebut. Hatinya tergerak untuk mendekati pintu yang sangat suaminya larang.
"Yeobo?" ucapnya dengan tatapan memohon ketika pergelangan tangannya dicekal oleh suaminya.
"Jangan ikut campur urusan keluargaku."
"Yeobo, dia adikmu. Kamu tega menyisakan seperti ini demi appa? Aku tahu kamu menyayanginya, tapi caramu salah. Ini tidak benar."
Wanita muda itu melepaskan tangannya dari gagang pintu, beralih pada rahang tegas suaminya yang sangat tampan. Kulitnya yang seputih salju di tampah alis tebal yang tergaris rapih selalu membuat ia jatuh cinta.
"Yeobo tidak ingin Hanna terluka kan? Yeobo melakukannya demi melindungi Hanna, aku tahu itu. Tapi cara yeobo kurang tepat, aku tidak suka."
"Maaf, tapi aku sama sekali tidak bisa menolak perintah appa."
"Tidak perlu menolak atau membangkang yeobo, biarkan aku yang melakukannya. Aku tidak peduli jika setelah ini appa akan membenciku, yang terpenting adikku tercinta tidak bersedih."
"Aku percaya padamu."
Wanita muda itu mengangguk tanpa ragu, kembali menghampiri pintu kamar dan memutar handel pintu. Ia melempar senyum pada gadis cantik yang masih berdiri di depan pintu.
"Pergilah Hanna-ah, cari bahagiamu dan jangan pedulikan siapapun. Jika merasa itu benar maka lakukan, tapi jangan rusak dirimu dan keluargamu. Eonni-ga ...." Memegang menepuk dadanya sembari tersenyum. "Akan selalu mendukungmu."
"Gomawo Eonni." Berlari dan memeluk kakak iparnya.
Malam itu juga, Hanna meninggalkan rumah kakaknya bersama sang manajer. Seharusnya dia tidak di sini, tetapi di korea dan selalu berada di samping Kairos-pria dengan luka dihatinya yang tidak akan pernah sembuh.
"Nona Hanna," panggil sang manajer yang berlari menyusul Hanna.
Hanna pun menoleh dengan raut wajah penuh tanda tanya.
"Mianhae Hanna-ya, seharusnya aku tidak menyembunyikan sesuatu padamu. Sebenarnya aku tahu siapa yang menyebarkan rekaman itu, tapi aku takut kamu akan terluka saat mengetahuinya."