Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersayat sembilu
Bisik-bisik terdengar samar di telinga Camelia. Beberapa mahasiswa yang masuk bersamaan dengannya tampak asyik berbincang, namun suara mereka cukup jelas untuk sampai ke telinganya.
“Itu si introvert itu kan? Dia deket sama Pak Sena, ya? Kok berangkatnya barengan?” bisik salah satu mahasiswa yang berjalan tepat di belakang Camelia.
“Ya ampun, kok bisa sih? Emang cantik di mananya? Udah kuper, sok cantik lagi. Duh!” sahut yang lain dengan nada menyebalkan.
Telinga Camelia langsung terasa panas. Ingin rasanya ia berbalik, bahkan mencakar wajah julid mereka satu per satu. Tapi, ia masih punya hati nurani. Maka, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menunduk dan melangkah lebih cepat, pura-pura tak mendengar.
Ucapan kayak gitu cuma datang dari orang yang iri, pikirnya.
Camelia merogoh ponsel dari dalam tasnya, membuka aplikasi pesan, dan mengetik cepat pada kontak yang belakangan ini paling membuatnya tenang.
To: Gray - Hari ini aku kesel. Kesel banget!
Hanya itu yang sempat ia tulis. Ingin rasanya curhat lebih panjang, tapi waktu tidak mengizinkan. Sebab, kelas akan segera dimulai, dan ia tidak ingin datang terlambat lagi.
Di balik layar yang gelap, Camelia mencoba menenangkan dirinya. Ia masuk ke ruang kelas dengan kepala tegak. Meski hatinya bergolak, ia tidak akan membiarkan omongan orang lain menghancurkan kendalinya atas dirinya sendiri.
Di sisi lain, Sena sudah berada di ruang kerjanya. Ia duduk bersandar di kursi, menatap layar laptop tanpa benar-benar fokus. Entah mengapa, kalimat-kalimat frontal yang hanya terlintas dalam pikirannya tadi justru terasa seperti nyata dan membebaninya.
Ya ampun, kenapa aku jadi parno sendiri begini? batinnya gusar, sembari mengusap wajah dengan kedua tangan. Mungkin ini yang terjadi kalau aku terlalu jujur sama Camelia. Tapi kan... itu cuma di kepalaku, bukan beneran aku ucapin... Tapi kenapa tetap terasa seperti aku bersalah? batinnya lagi.
Pikiran Sena terus berputar, menelusuri kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya belum terjadi. Ia membenci ketidakpastian, namun lebih membenci jika harus menjadi pengecut di depan perasaannya sendiri.
Tak berapa lama, suara notifikasi ponsel di atas meja mengalihkan perhatiannya. Sena meraih perangkat itu, dan bibirnya refleks membentuk senyum kecil, mengira pesan itu datang dari seseorang yang tengah mengisi ruang hatinya saat ini.
Namun, senyum itu hanya bertahan sekejap.
From: Sasa - Sena, nanti malam aku ke unit mu ya. Ada hal yang mau aku katakan.
Raut wajah Sena berubah suram. Ia menatap pesan itu lama, tapi jari-jarinya tak bergerak sedikitpun untuk membalas.
Tidak penting, sangat tidak penting, pikirnya.
Bukan karena benci. Tapi karena masa lalu adalah sesuatu yang sudah ia pilih untuk tidak menoleh ke belakang lagi—apalagi jika itu menyangkut Sasa, seseorang yang dulu pernah mengisi, dan kini tak lebih dari bab yang sudah ia tutup rapat-rapat.
......................
Giovani—laki-laki jangkung dengan bahu bidang dan senyum hangat, kini bisa dibilang ‘teman’ bagi Camelia. Ya, mungkin sebutan itu adalah yang paling aman dan masuk akal untuk mendefinisikan hubungan mereka saat ini.
Tidak terlalu dekat, tapi juga bukan sekadar kenalan. Setidaknya, cukup untuk membuat nama Giovani muncul lebih dari sekali dalam benak Camelia akhir-akhir ini.
Sementara Camelia, gadis yang biasanya lebih memilih tenggelam dalam kesendirian dan diam, belakangan ini jadi lebih ringan tersenyum. Sebab Giovani, dengan pembawaannya yang positif dan energinya yang menular, mampu membuat atmosfer di sekitarnya terasa lebih hidup.
Sejak kehadiran pemuda itu dalam ruang lingkup studio, Camelia seakan mulai menepis pandangan lamanya bahwa 'sendiri itu lebih menyenangkan.'
Hari ini, mereka sedang berdiskusi mengenai tugas mata kuliah Fashion Construction yang menitikberatkan pada teknik draping. Di tengah kegaduhan studio dan denting alat jahit yang saling bersahutan, Giovani mencondongkan tubuhnya ke arah Camelia sambil menatap manekin miliknya dengan ekspresi serius—tapi tetap dengan gaya khasnya yang santai.
"Menurutmu, Mel, kalau kain ini aku tarik dari sisi samping dan dijahit jadi layer ganda di bagian dada, bakal kelihatan kayak kostum Superhero nggak, sih?" tanyanya, menunjuk lipatan muslin yang masih setengah jadi.
Camelia mengerjapkan mata, lalu tertawa pelan. "Nggak juga. Tapi kayaknya kamu kebanyakan nonton film aksi deh," jawabnya.
Giovani terkekeh. "Yah, lebih baik dibilang kayak kostum superhero daripada kayak taplak meja. Kamu sendiri gimana, udah cocok belum desainmu buat assignment kali ini?"
Camelia mengangguk singkat, masih malu-malu tapi kali ini tatapannya mulai berani mencuri pandang pada Giovani. "Aku coba buat siluet flowy dengan tumpukan drape di bagian pinggul. Cuma belum nemu twist-nya."
"Kayaknya kamu cocok deh mainin tekstur. Soalnya desainmu tuh, ada ‘kamu’ banget. Klasik tapi nggak ngebosenin." Ucap Giovani tulus.
Anehnya, Camelia merasa dihargai dan didengar. Bahkan untuk hal yang sederhana seperti ini. Sesuatu yang selama ini terasa langka. Belum pernah sebelumnya ia merasa bahwa hidupnya bisa punya ritme selain datar.
Tidak selalu harus penuh gejolak, tapi setidaknya, tidak lagi hening dan sepi seperti biasanya. Guyonan Giovani, cara ia bicara, bahkan caranya menatap hasil karya Camelia seolah lebih dari sekadar tugas kampus—semuanya terasa tulus.
Camelia, kini mulai membuka celah. Sedikit saja. Tapi cukup untuk merasa bahwa mungkin, menjadi sendiri bukan satu-satunya pilihan untuk merasa tenang.
Camelia kembali berkutat dengan lipatan kain muslin di atas manekinnya. Jemarinya mencoba membentuk drape yang elegan, tapi berkali-kali hasilnya jatuh—secara harfiah dan emosional. Ia menggigit bibir bawahnya, frustasi.
"Mel, boleh aku bantu?" tanya Giovani dari sisi kanan, sedikit menunduk agar sejajar dengan tinggi bahu Camelia.
Sebelum Camelia sempat menjawab, Giovani sudah lebih dulu mengambil ujung kain yang jatuh dari tangan gadis itu. Jemarinya menyentuh punggung tangan Camelia secara tak sengaja. Refleks, Camelia tersentak pelan.
"Maaf," ucap Giovani cepat, matanya menatap wajah Camelia dengan raut sungkan. "Aku lupa bilang 'permisi' dulu."
Camelia menggeleng kecil. "Nggak apa-apa," bisiknya.
Dengan hati-hati, Giovani mengangkat lipatan kain dan mulai membentuk ulang drape di sisi kanan manekin. Ia mengancingkan pin penahan di bagian dalam lipatan, lalu menoleh dengan senyum manis. "Coba kamu tahan di bagian bawah sini," ia menuntun tangan Camelia ke posisi yang dimaksud.
Sentuhan itu lagi-lagi singkat, tapi cukup membuat jantung Camelia berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
"Kayak gini?" tanya Camelia ragu, matanya menatap kain, bukan Giovani.
"Yup, tepat di situ. Nah, kamu lihat nggak efek jatuhnya sekarang? Jadi kelihatan ringan tapi berstruktur," Giovani menjelaskan dengan semangat, jari telunjuknya menunjuk detail yang ia maksud, sangat dekat dari tangan Camelia yang masih memegang ujung kain.
Camelia mengangguk. "Iya ... ternyata teknik kamu rapi juga."
"Jangan meremehkan aku, dong. Meski aku suka bercanda, aku nggak main-main soal tugas," sahut Giovani sambil terkekeh.
Camelia tersenyum. "Aku jadi belajar banyak, sih, dari kamu hari ini," ucapnya kemudian.
Giovani memiringkan kepala. "Wah, ini pertama kalinya kamu bilang gitu ke aku. Aku harus bangga, nih?"
Camelia tertawa lirih, lalu mengalihkan pandang. "Jangan GR."
Giovani tak menjawab. Ia hanya menatap Camelia dalam diam, menyadari bahwa gadis yang selama ini tampak tertutup itu sebenarnya punya banyak lapisan dan ia tak keberatan mengupasnya satu per satu, di balik senyum itu, Camelia tahu satu hal. Bahwa kehadiran Giovani—meski belum tentu lebih dari sekadar ‘teman’—telah membawa warna baru dalam hidupnya yang dulu hanya diisi oleh nuansa abu-abu.
"Mel, cewek kayak kamu tuh... cowoknya pasti cakep banget, ya?" celetuk Giovani tiba-tiba, saat mereka tengah merapikan sisa kain muslin di studio.
Camelia menoleh, keningnya berkerut mendengar kalimat barusan. "Maksud kamu?"
Giovani menyeringai. "Ya kayak di manhwa-manhwa gitu lho. Tinggi, maskulin, CEO muda, pake jas, pinter, cool... beh, pokoknya spek sempurna. Iya, kan?"
Camelia memandangnya lama, lalu menghela napas sejenak. "Gio, pertanyaanmu tuh... out of the box banget, sih. Serius deh, terlalu tinggi kriteriamu itu. Bahkan, temanku, teman cowok ya—kayaknya cuma kamu, deh. Jadi gimana caranya karakter ‘CEO manhwa’ itu bisa nyasar ke hidupku yang introvertnya akut?" jawabnya jujur.
Giovani membulatkan bibir, ekspresinya dibuat dramatis. "Hah? Nggak percaya! Boong kamu!" serunya sambil menunjuk ke arah Camelia, mata membulat tak percaya. "Mana mungkin cewek sesempurna kamu dan katanya anak orang kaya raya pula, jomblo? Mustahil banget sih, Mel," lanjut Giovani sambil menyandarkan tubuh di pinggiran meja kerja mereka.
"Kamu terlalu percaya sama apa kata orang, Gio. Sempurna itu cuma ilusi dari jauh. Dari dekat? Penuh retakan."
Giovani mengamati wajah Camelia beberapa detik. "Tapi... tetap aja, kamu punya aura yang beda. Mungkin kamu ngerasa biasa, tapi buat orang lain, kamu tuh menarik banget. Termasuk buat aku." katanya.
Camelia terkekeh, matanya kembali sibuk menatap kain yang belum selesai dibentuk. Ia belum tahu harus merespons bagaimana kalimat terakhir itu. Tapi ia merasa seru saat mengobrol dengan orang.
......................
Selesai kelas, matahari sudah condong ke barat. Langit Avanya mulai menguning dan angin sore membelai pelataran kampus dengan tenang. Camelia berjalan keluar dari gedung studio sambil menatap layar ponsel.
Sopirnya belum bisa menjemput karena ada urusan mendadak. Ia sempat berpikir akan memesan taksi daring, tapi langkah seseorang mendekat, menyela kegundahannya.
"Mel, kamu pulang sendiri?" tanya Giovani, muncul dengan jaket jeans yang sudah ia selempangkan di bahu.
Camelia mengangguk, sedikit bingung. "Iya, sopirku nggak bisa jemput. Mungkin aku bakal pesan taksi."
Giovani mengangkat alis. "Taksi? Duh, jangan, dong. Aku antar aja, ya? Motorku bukan Vespa vintage sih, tapi lumayan nggak gampang mogok," candanya, menyeringai.
Camelia sempat berpikir sejenak, tapi hari itu rasanya ia sedang tidak ingin banyak menghindar. "Yaudah, kalau kamu nggak keberatan." jawabnya.
Tak lama kemudian mereka sudah berada di parkiran kampus. Motor hitam tanpa merk mentereng itu berdiri tegak, sederhana tapi bersih. Giovani mengulurkan helm kepada Camelia, lalu membantunya memakaikannya dengan hati-hati.
"Turunin sedikit... nah, gitu. Terus talinya ditarik begini." Suara Giovani lembut, jemarinya cekatan saat mengaitkan tali helm di bawah dagu Camelia. Tatapan matanya hangat, hanya menatap seolah Camelia adalah satu-satunya yang ia pedulikan hari itu.
Camelia menunduk sedikit. Wajahnya yang biasa dingin, kali ini memerah tanpa komando. Namun jauh di seberang parkiran, sepasang mata menyaksikan semua itu dalam diam.
Girisena Pramudito.
Sena berdiri di balik pilar beton, wajahnya tegang. Tangannya menggenggam kuat gagang tas kerjanya, sementara rahangnya mengeras. Napasnya berat, dan kacamata yang biasa memperlihatkan citranya sebagai dosen bijak kini malah tergantung di tangan, seperti simbol kendali dirinya yang mulai runtuh.
Sakit.
Bahkan kata itu terasa terlalu lemah untuk menggambarkan apa yang ia rasakan. Ada sembilu di dada yang mengoyak tanpa suara, melihat sosok Camelia yang kini tersenyum pada laki-laki lain.
Dia sentuh wajahnya. Dengan tangan itu, dengan senyum itu. Brengsek!
Kalau saja ini bukan di negeri hukum, kalau saja akal sehatnya tidak menahan, mungkin Sena sudah menghampiri, menarik collar jaket Giovani dan melemparnya ke tanah. Mungkin ia akan menampar bibir laki-laki itu yang terus saja tersenyum pada gadis yang ia cintai, Camelia-nya.
Tapi, ia hanya diam. Tetap berdiri seperti patung, sambil memandangi dua insan yang melenggang pergi dengan motor tua yang tak punya harga, namun mampu membawa separuh dunia Camelia ikut bersamanya.
Sena kalah hari itu. Tapi bukan berarti ia menyerah. Karena ada saatnya cinta tidak perlu ditunjukkan dengan kata, cukup dengan diam dan usaha yang tidak disadari. Tapi jika diam terlalu lama, bisa-bisa yang kau jaga di kejauhan akan dipeluk orang lain.