Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Suasana hati Rachel seperti gelombang pasang yang tak menentu. Rasa nyeri di tubuhnya bercampur dengan perubahan hormon membuat emosinya mudah meledak. Kadang ia ingin menangis, kadang ingin berteriak, dan di saat tertentu ia hanya ingin diam tanpa ingin diganggu.
Aiden yang memahami kondisi itu memilih untuk lebih sabar. Ia berdiri di dapur, memegang gelas bening yang setengah terisi air hangat, lalu menuangkan madu perlahan. Uap hangat dari air itu menyapu wajahnya, dan ia berharap setidaknya minuman ini bisa sedikit mengurangi penderitaan Rachel.
Namun, suara yang memotong keheningan membuat rahangnya mengeras.
“Aiden, istrimu sekarang jadi manja sekali,” celetuk Hillary sambil bersandar di meja dapur. “Minum saja kamu yang buatkan.” Nada suaranya terdengar seperti sindiran halus, tapi tatapan matanya jelas mengandung ejekan.
Aiden hanya melirik sekilas, matanya dingin. Ia tak berniat meladeni, apalagi ketika ada Nenek Hilda yang duduk di kursi dekat jendela, menatapnya dengan pandangan penuh penilaian.
“Kamu jangan terlalu memanjakan Rachel. Nanti dia ngelunjak dan bertindak semena-mena,” komentar Nenek Hilda. Suaranya memang lembut, tapi ada lapisan ketegasan yang membuat kalimat itu seperti peringatan.
Aiden menahan napas sejenak sebelum menjawab. “Rachel sedang sakit, Grandma. Aku tidak ingin ada kegaduhan di rumah karena hal-hal sepele.” Suaranya tenang, tapi tajam. Tanpa menunggu respon, ia membawa gelas madu itu keluar dapur, meninggalkan dua wanita itu dalam keheningan singkat.
Hillary dan Nenek Hilda saling menatap. Ada keganjilan di sana.
“Tuh, apa kataku, Grandma! Aiden sekarang bukan Aiden yang dulu,” ujar Hillary, mencondongkan tubuhnya sedikit agar suaranya tak terdengar pelayan.
Nenek Hilda mengernyit, kerutan di dahinya semakin jelas. “Apa kecelakaan bisa mengubah kepribadian seseorang?” gumamnya pelan, lebih seperti berbicara pada diri sendiri. “Makanya sekarang Aiden begitu perhatian kepada Rachel.”
Nenek Hilda lupa atau mungkin memilih untuk lupa bahwa dulu Aiden memang pernah begitu peduli kepada Rachel. Sampai ia sendiri dan Hillary yang menanamkan bibit kebencian di antara mereka.
Hillary mengibaskan tangan seolah menepis pemikiran itu. “Mana ada, Grandma! Yang ada sekarang, Aiden terkena ilmu pelet dari Rachel. Makanya dia jadi terlalu perhatian pada wanita itu.” Suaranya penuh keyakinan, seakan menyatakan kebenaran mutlak.
“Apa?!” Mata Nenek Hilda membelalak, sorotnya mengeras. Kedua tangannya terkepal, buku-bukunya memutih. “Berani-beraninya dia membuat cucuku seperti itu dengan ilmu hitam!”
Hillary cepat-cepat menoleh ke segala arah, memastikan tidak ada telinga lain yang mencuri dengar. Ia mendekat, lalu berbisik nyaris tak terdengar di telinga sang nenek, “Makanya kita harus segera menghilangkan pengaruh ilmu hitam itu dari tubuh Aiden.”
Nenek Hilda mengangguk, matanya menyipit seperti seseorang yang sudah merencanakan langkah berikutnya. “Aku akan minta bantuan pada Casandra. Aku yakin dia bisa mengembalikan Aiden seperti semula.”
Hillary menatap dengan rasa ingin tahu. “Siapa Casandra, Grandma?”
“Seorang wanita gipsi. Dia punya kekuatan supranatural yang sangat hebat.” Nada suaranya mengandung kekaguman, sekaligus rasa hormat.
“Gipsi? Kalau begitu akan sulit mencarinya,” komentar Hillary dengan nada skeptis.
“Tidak masalah. Mau di mana pun, aku akan menemukannya,” jawab Nenek Hilda mantap. Dalam nada bicaranya, tidak ada ruang untuk keraguan.
Jarak bukan halangan. Biaya besar pun bukan masalah. Demi “menyelamatkan” Aiden dari pengaruh Rachel atau setidaknya dari persepsi yang ia yakini. Nenek Hilda siap menempuh jalan sejauh apa pun. Ia tak pernah meragukan kemampuan Casandra, apalagi ketika menyangkut urusan keluarga dan harga diri.
Rachel memegang gelas bening itu dengan kedua tangan, merasakan hangatnya merambat dari telapak ke lengan. Aroma madu yang manis bercampur uap air hangat membuatnya sedikit rileks sebelum seteguk pertama menyentuh bibir. Begitu cairan itu mengalir di tenggorokannya, sensasi lembut dan manisnya seperti memberi jalan bagi rasa sakit di perut untuk perlahan mereda. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seakan beban di dalam tubuhnya ikut keluar bersama embusan napas itu.
Keringat masih membanjiri sekujur tubuh, membuat rambut panjangnya menempel di pipi dan leher. Aiden, yang duduk di sampingnya, mengulurkan tangan untuk memijat pelan pinggangnya. Sentuhan itu membuat Rachel sedikit merasa nyaman dan juga merasa dimanjakan.
“Sebaiknya kamu banyak istirahat. Enggak perlu pergi ke kantor,” ucap Aiden, suaranya rendah, nyaris seperti perintah yang dibungkus perhatian.
“Iya. Sakit begini mana bisa mikir,” balas Rachel lemah, nada suaranya mirip seseorang yang baru saja kembali dari ambang kematian.
Ia menatap kosong sejenak, lalu dengan nada setengah bercanda tapi penuh keputusasaan, ia berkata, “Apa kamu tahu caranya biar bulan depan tidak menstruasi lagi? Aku tidak sanggup kalau tiap bulan harus merasakan ini terus.”
Aiden tersenyum samar, tapi matanya berbinar seperti sedang memikirkan sesuatu yang nakal. “Kamu yakin tidak ingin menstruasi lagi?” tanyanya, memastikan.
“Iya,” jawab Rachel tegas, meski tubuhnya masih lemah. “Ini sakitnya minta ampun.”
“Ya ... ada sih caranya. Tapi, aku enggak tahu apa akan langsung berhasil atau gagal.” Nada suaranya dibuat penuh misteri, membuat Rachel refleks menegakkan punggung dan menatapnya serius.
“Katakan saja! Siapa tahu bisa,” desak Rachel, duduk berhadapan dengannya.
Aiden mencondongkan tubuh, menahan tawa di sudut bibirnya. “Caranya, kamu harus… hamil. Kalau hamil, menstruasi mu berhenti.” Senyum lebar muncul di wajahnya, jelas menikmati ekspresi terkejut Rachel.
“Apa?!” Mata Rachel membesar seolah Aiden baru saja menyarankan untuk melompat dari tebing. Dalam kepalanya, ia langsung terbayang risiko melahirkan—sakitnya, perjuangannya, bahkan kemungkinan mempertaruhkan nyawa.
“Gimana? Siap hamil?” tanya Aiden, kali ini nada suaranya nyaris seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.
“Ti-dak… mau. Karena itu tugas kamu,” jawab Rachel cepat, nada suaranya campuran takut dan kesal.
Aiden terkekeh. “Hei, apa kamu lupa kalau sekarang yang jadi wanita itu kamu? Jadi ya… kamu yang akan hamil.”
Rachel memelototinya, tapi tidak punya tenaga untuk berdebat panjang. “Tanyakan ke Dokter Andreas, ada enggak cara biar wanita enggak hamil dan enggak menstruasi?”
Tentu saja Aiden tahu jawabannya, tapi ia memilih bungkam. Biarlah Rachel merasakan sendiri seperti apa jadi seorang wanita, pikirnya. Setidaknya, pengalaman ini akan membuatnya lebih menghargai seorang istri.
“Ingat, saat ini kamu sedang pakai tubuhku. Jadi harus dijaga baik-baik,” ujarnya sambil menjepit kedua pipi Rachel dengan kedua tangannya, membuat wajah Rachel mengerut seperti anak kecil yang dipaksa minum obat pahit.
“Tapi aku enggak mau merasakan sakit seperti ini tiap bulan!” protes Rachel.
“Terima saja kodrat menjadi seorang wanita,” jawab Aiden santai. “Dengan begitu, kamu bisa menjalani kenikmatan hidup tanpa beban.”
Hari itu, Rachel sama sekali tidak keluar kamar. Perutnya masih sesekali berdenyut, membuatnya enggan bergerak. Makanan dibawakan Aiden, bahkan ia disuapi seperti pasien rumah sakit. Walau awalnya malu, lama-lama Rachel merasa ada kenyamanan tersendiri ketika tidak perlu melakukan apa pun.
Menjelang sore, ia mulai gelisah. Menatap langit-langit kamar terasa membosankan, bahkan suara jam dinding pun mulai mengganggu telinganya. “Rasanya aku bosan berada di dalam kamar terus,” keluhnya sambil memeluk bantal.
Aiden, yang duduk membaca di kursi dekat jendela, menutup bukunya. “Mau ikut makan malam di bawah?”
“Sebaiknya begitu, biar aku enggak mati karena bosan,” jawab Rachel sambil menghela napas panjang.
***
ttp semangattt d
sabar menunggu update nya