Cerita yang memberikan inspirasi untuk wanita diluar sana, yang merasa dunia sedang sangat mengecewakannya.
Dia kehilangan support system,nama baik dan harapan.
Beruntungnya gadis bernama Britania Jasmine ini menjadikan kekecewaan terbesar dalam hidupnya sebagai cambukan untuk meng-upgrade dirinya menjadi wanita yang jauh lebih baik.
Meski dalam prosesnya tidak lah mudah, label janda yang melekat dalam dirinya membuatnya kesulitan untuk mendapat tempat dihati masyarakat. Banyak yang memandangnya sebelah mata, padahal prestasi yang ia raih jauh lebih banyak dan bisa di katakan dia sudah bisa menjadi gadis yang sempurna.
Label buruk itu terus saja mengacaukan mental dan hidupnya,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Label buruk sialan!
Selamat membaca
.
.
.
Setelah menunggu Nathan hampir setengah jam tidak turun juga, bu Widia memilih untuk mengalah, menemui sang putra di ruangannya. Kedatangannya mengisyaratkan aura ketegangan sudah terasa bahkan dari luar pintu.
"Kamu sibuk banget sampai nggak mau nemuin Bunda, hmm?" Suara Bu Widia terdengar sedikit kesal. Nathan masih saja terpejam, bersandar pada kursinya, seolah enggan menghadapi percakapan mereka.
"Ada apa, Nda? Mau ngajakin Aku jalan sama Vania lagi?" Nathan bertanya tanpa membuka mata, ia sudah sangat jengah dengan hobi bundanya yang kerap menjodohkan dia dengan anak dari teman-temannya. Sejak Nathan sampai di Indonesia terhitung sudah lebih dari lima kali ia harus menemui gadis-gadis pilihan bundanya. Dari semuanya tidak ada satupun yang bisa membuat Nathan tertarik, seperti ketika ia melihat Britania.
"Iyaa, sudah waktunya kamu punya pendamping lagi, Nath. Ren juga butuh sosok ibu dalam hidupnya, kamu Bunda minta pulang ke Indo itu salah satu alasannya adalah untuk menikah, mau sampai kapan kamu hidup sendiri? Kamu jangan egois seperti itu... Ren butuh ibu." desak Bu Widia, wajar beliau khawatir. sejak Ren berusia dua bulan sampai saat ini tidak pernah sekalipun bu Widia melihat Nathan dekat dengan perempuan.
Tiap kali mengikuti arisan atau kumpul bersama teman-teman sosialitanya pasti yang mereka tanyakan adalah tentang Nathan, yang belum menikah juga setelah ditinggal istrinya pergi bertahun-tahun lamanya.
"Aku udah punya calon istri dan ibu untuk Ren, Bunda nggak usah repot-repot menjodohkan Aku lagi dengan siapapun." Nathan menjawab tegas, kali ini matanya terbuka, menatap sang ibu sungguh-sungguh.
"Brietania maksud Kamu?" pertanyaan Bunda sontak membuat Nathan terkesiap, membuka matanya lebar.
"Bunda tahu?" Nathan balik bertanya, terkejut.
"Britania memang cantik, pintar, baik dan Ren juga menyukainya, tapi kamu nggak boleh sama Dia, Nath. Kamu belum tahu latar belakangnya seperti apa." Suara Bu Widia kini lebih serius, penuh peringatan.
"Apa pedulinya latar belakang sih, Ndaaa? Aku udah memilih Dia berarti itu hanya Dia, Nda, nggak akan ada yang lainnyaa." Suara Nathan meninggi, menunjukkan betapa ia tak mau lagi didikte. Tangannya mengepal erat hingga buku-bukunya memutih. Ia tidak suka pembahasan seperti ini. Bundanya terlalu kolot,
Bu Widia makin tersulut emosi, "Nath, dia ituu pernah gagal berumah tangga. Apa kata keluarga besar kita nanti?" Ada nada khawatir tak beralasan yang Nathan dengar, realistis sebenarnya bu Widia hanya terlalu peduli pada apa omongan orang nantinya, tapi ia tidak mau mendengar omongan anaknya sendiri.
"Aku tahu, Nda, lalu apa bedanya sama aku sih? Aku pun pernah gagal berumah tangga." Nathan membalas, mencoba menyamakan posisi mereka, sebuah kenyataan pahit dari masa lalunya sendiri, yang tak jauh berbeda dengan Britania.
"Beda, Nath, Kamu laki-laki dan dia perempuan, label buruk itu akan terus melekat dalam dirinya. Walaupun dia terlihat hampir sempurna penampilannya." Bu Widia tak mau kalah tinggi bicaranya.
Sebenarnya percuma saja mendebat wanita itu, seorang ibu pasti akan sangat mempertimbangkan calon menantunya. Dan di mata ibunya, Britania, dengan status itu, seperti sebuah aib besar. Semua prestasi yang pernah ia raih untuk perusahaan itu seolah tak ada artinya, hanya karena status sialan itu.
Perdebatan sengit ibu dan anak itu sialnya bisa Britania dengar dengan jelas. Karena saat itu ia pun berniat untuk memberikan laporan akhir bulan pada Nathan. Langkahnya terhenti kala mendengar suara nyonya besar di dalam. Berikutnya, kalimat-kalimat yang beliau ucapkan terdengar begitu jelas terasa memukulnya untuk mundur.
Seharusnya Britania sudah terbiasa mendengarnya. Sejak ia menyandang status sialan itu, ia memang sering dihadapkan pada cemoohan dan cacian yang sama. Direndahkan, difitnah, dan diumbar semua kejelekannya itu hal biasa. Namun kali ini, setelah sekian tahun ia berhasil mengubur semua fase menyakitkan itu, kenapa harus terjadi lagi? Harus ia dengar lagi? Terlebih itu dari mulut seseorang yang selama ini selalu menyanjungnya atas segala pencapaaian yang ia lakukan untuk perusahaan.
Tidak adil rasanya, seluruh usahanya untuk memperbaiki diri, meng-upgrade diri menjadi wanita yang berkelas dengan bekerja keras ternyata tetap saja dipandang sebelah mata hanya karena status gila itu.
J.A.N.D.A!
Tidak ada yang salah memang, mau sesempurna apapun Britaniaa, tetap saja label itu akan terus melekat seumur hidupnya. Andai bisa, Britania pun ingin menghapus dua bulan di masa lalu buruknya itu. Waktu yang sangat singkat untuk merusak seumur hidupnya. Nyeri itu kembali, menggerogoti setiap celah kepercayaan diri yang telah susah payah ia bangun. Ingin rasanya Britania menghujat, namun mneghujat siapa? Siapa yang patutu disalahkan atas kejadian itu?
***
Kembali dalam mode Britania yang bukan perempuan menye-menye, perempuan cantik itu paksakan untuk tersenyum lebar setelah mengusap kasar air matanya. Kini ia sedang mengendalikan mobilnya ke sebuah bar elite yang biasa ia dan Chacha kunjungi tiap kali pikiran sedang ruwet.
Bukan di tempat yang berisi para lelaki dan perempuan yang berjoget asyik di arena dance, dengan musik berdentuman diiringi lampu gemerlap di setiap sudut. Sudut ruang yang Britania kunjungi suasananya sangat elegan, banyak orang yang berada di dalam sana tapi semuanya tengah asyik dengan dunia mereka sendiri. Duduk santai menikmati minuman di depannya atau banyak juga yang sama sepertinya, mengambil tempat duduk di tepian bar agar bisa langsung menatap gemerlap lampu kota dari dinding kaca di sebelahnya.
Segelas minuman yang Britania pesan tadi kini sudah bertambah sampai tiga gelas sloki, dan isi botol kaca di sampingnya pun sudah tinggal separuhnya. Britania memainkan gelas di tangannya dengan gerakan tenang, terlihat mempesona meski ada gurat lelah yang teramat sangat di wajahnya. Seharian ini pekerjaannya sudah sangat menyita waktu sekaligus tenaganya. Ditambah lagi harus menyaksikan kejadian yang melelahkan lebih dari beban apapun dalam dirinya.
Bukan ia sedang meratapi nasib. Britania tidak lagi seperti itu sekarang. Ia berada di sini sedang mencoba menghukum dirinya sendiri atas apa yang terjadi di masa lalu. Masa lalu yang kini terus memenjarakannya dari menikmati dunia. Ia seolah berada di dalam belenggu yang memberinya label buruk. Setiap pencapaian baik yang ia dapatkan akan hilang dan tak berarti begitu saja, hanya karena label itu terus melekat dalam dirinya.
Bangsatt! Babi! Memang laki-laki itu, kalau diberi kesempatan untuk bertemu dengannya lagi sudah Britania pastikan akan membunuhnya saat itu juga. Kemarahan itu membuat Britania hilang kendali, sebuah cara untuk menyalurkan rasa sakit yang tak terungkap.
Sudah dari sejak Briella masuk di tempat ini, beberapa pesan dan panggilan yang masuk di ponselnya berlalu begitu saja, tidak berniat sedikit pun ia ingin mengeceknya. Pikirannya kosong, tidak sedang ingin membicarakan apapun dengan siapapun.
***
"Kenapa nggak pulang ke rumah aja, Babe?" Brianda terus mengomel karena tidak bisa menginap di Appart Chacha malam ini seperti biasanya. Chacha memintanya untuk diantar ke apartemen Britania.
"Ini darurat, babe, Brii lagi ada masalah pasti kan? Kamu bilang Brii sempat nangis di kantor. Nggak bakalan kayak gitu kalau memang Bri lagi nggak ada masalah besar, dan tadi dia udah telepon aku, Kamu sih gangguin mulu kan jadinya aku nggak dengar suara telepon." cerocos Chacha tanpa bisa dijeda oleh kekasihnya itu.
"Bibir Kamu terlalu manis kalau tidak diganggu, babe." Brianda terkekeh dan terus mengikuti langkah Chacha sampai di depan apartemen Britania. Chacha memiliki akses masuk karena memang mereka sudah berbagi password sebelumnya.
Chacha terus mendial nomor Britaniaa yang menyambungkan panggilan namun tak dijawab. Dia terus mengitari isi ruangan namun tidak menemukan keberadaan Brii. Sahabat terbaiknya itu semakin panik, dia segera menghubungi Rayyan dan Brianda ia suruh menghubungi bosnya.
Gimana menurut kalian? Siapa yang salah di sini?
Brii, Bundanya Nathan, Nathan atau mantan suaminya Brii?