Di sebuah pesta keluarga, Arga bertemu dengan Kalista, yang langsung mencuri perhatian dengan pesonanya. Tanpa ragu, mereka terjerat dalam hubungan terlarang yang menggoda, namun penuh bahaya.
Saat Arga menyadari bahwa Kalista adalah simpanan pamannya, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Arga harus memilih antara cinta yang terlarang atau melindungi nama baik keluarganya, sementara godaan terus membara.
Akankah Arga tetap memilih Kalista meski harus mengorbankan segala-galanya, atau akan ia melepaskannya demi menjaga kehormatan keluarga? Apakah ada cara untuk keluar dari cinta yang terlarang ini tanpa merusak segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindu Firdaus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aroma Parfum yang Terlupakan
Pagi itu udara terasa ganjil. Seharusnya hangat seperti biasa, namun di tubuh Arga hanya ada dingin yang menusuk hingga ke tulang. Matanya menatap kosong pada secarik kertas yang semalam ditemukan di bawah pintu. Kalista masih tertidur di sofa, mengenakan kaos tipisnya, selimut setengah menutup paha jenjang yang membuat Arga tergoda meski pikirannya kacau.
“Siapa yang tahu?” gumam Arga pelan.
Ia mencoba menganalisis kemungkinan: tetangga? Satpam? Atau... Arman sendiri?
Ia menyalakan rokok dan berdiri di depan jendela, membiarkan asap mengisi paru-parunya. Tapi tak ada satu pun tarikan nikotin yang bisa menenangkan ketakutan yang mulai merambat naik.
Kalista terbangun pelan, menyipitkan mata ke arah Arga. “Udah pagi?”
“Udah,” jawab Arga singkat, masih membelakangi.
Kalista menggeliat, kemudian duduk dan menyisir rambutnya dengan jari. “Kau nggak tidur?”
Arga menoleh. “Nggak bisa.”
Ia menyerahkan kertas itu. Kalista membaca cepat, lalu membeku.
“Ini... tulisan siapa?” bisiknya panik.
“Nggak tahu. Tapi aku nggak suka cara mereka menyampaikan.”
Kalista menarik napas panjang, lalu memejamkan mata. “Mungkin dia tahu karena parfumku.”
Arga menatap Kalista dengan kening berkerut. “Maksudmu?”
“Aku pakai parfum yang sama waktu bareng Arman. Dan semalam, aku juga pakai parfum itu. Ada orang yang tahu... mungkin mengenali aromanya. Itu parfum khas. Hanya dia yang biasa kasih.”
Arga menelan ludah. Ia baru sadar. Parfum yang Kalista kenakan semalam yang sempat menempel di kulitnya, di seprai, bahkan mungkin masih menempel di udara bisa saja menjadi bukti tak terbantahkan.
“Aroma parfum yang terlupakan,” gumam Arga, “ternyata bisa jadi pengkhianat paling mematikan.”
Kalista bangkit dari sofa dan langsung menuju kamar mandi. Ia berdiri di depan cermin, melihat pantulan dirinya sendiri. Wajah yang dulu penuh percaya diri kini tampak panik dan rapuh. Ia menyeka wajahnya dengan air dingin, berharap bisa menyegarkan pikirannya.
Sementara itu, Arga membuka ponselnya dan mulai mencari tahu siapa saja yang tinggal di lantai itu. Beberapa nama terasa asing, tapi ada satu yang mencuri perhatian: seorang tetangga bernama Dimas, yang pernah datang ke unitnya saat paket Arga tertukar.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
Nama di layar membuat darahnya seperti berhenti mengalir: Paman Arman.
Arga terdiam beberapa detik, membiarkan ponselnya bergetar di telapak tangan. Rasanya seperti waktu melambat. Nama Paman Arman berkedip-kedip di layar, menantang keberaniannya untuk menekan tombol hijau.
Dengan jantung berdegup kencang, ia akhirnya menjawab. “Halo, Paman…”
Suara di seberang terdengar tenang, seperti biasa. Terlalu tenang. “Arga. Kamu sibuk sekarang?”
“Sedikit. Ada urusan kantor,” jawabnya berbohong.
“Aku mau ketemu. Ngobrol sebentar aja. Tentang proyek keluarga yang sempat kita bahas minggu lalu.”
“Sekarang?” Arga melirik Kalista yang keluar dari kamar mandi dengan rambut basah.
“Ya. Di rumah makan favoritmu itu. Jam satu siang. Aku tunggu ya.”
Tanpa memberi waktu Arga menjawab, panggilan berakhir. Arga menatap layar ponsel, lalu menghembuskan napas berat.
Kalista menghampiri dengan wajah cemas. “Dia tahu, ya?”
“Aku nggak yakin. Tapi nadanya... paman itu pintar menyembunyikan emosi. Aku nggak bisa baca ekspresinya hanya dari suara.”
Kalista duduk di ujung tempat tidur, tubuhnya gemetar halus. “Kalau dia tahu, kita habis, Ga…”
Arga mendekat dan menggenggam tangannya. “Kita belum tahu pasti. Aku akan temui dia siang ini. Sendiri.”
“Tapi...”
“Aku harus tahu seberapa jauh dia mencium aroma pengkhianatan ini.”
Kalista menunduk, menatap jemarinya sendiri. Ada rasa bersalah yang belum sempat ia ungkap. Ia tahu, jika Arman benar-benar tahu, semuanya akan berakhir bukan hanya hubungan mereka, tapi juga karier, reputasi, dan mungkin keselamatan mereka.
Jam menunjukkan pukul 12:30 saat Arga meninggalkan apartemen. Ia tak membawa apa pun selain ponsel dan kunci mobil. Kalista hanya memandang kepergiannya dari balkon, memeluk tubuhnya sendiri, berharap semuanya tidak runtuh hari ini.
Restoran itu tidak ramai. Hanya ada beberapa pelanggan setia yang tampak sudah mengenal Arman. Ia duduk di pojok, menyesap kopi hitam dan membaca tablet.
Arga masuk dengan langkah ragu. Arman menoleh, lalu tersenyum seperti biasa. “Kau datang juga.”
Arga duduk di seberang. “Seperti janji paman.”
Mereka saling menatap. Hening sesaat.
“Aku dengar kau sering bawa tamu ke apartemenmu sekarang,” ujar Arman tanpa ekspresi.
Arga tercekat. “Siapa bilang?”
Arman hanya tersenyum tipis, lalu mencondongkan tubuh ke depan. “Kau tahu, Kalista itu... sangat mudah dikenali. Bahkan dari aroma tubuhnya.”
Deg. Jantung Arga seperti berhenti berdetak.
“Parfum yang sama selalu dipakainya. Bahkan saat bersamaku.”
Arga tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan. Dan itu berarti Arman tahu.
“Aku nggak tahu maksud Paman”
Arman meletakkan sendok kopinya pelan. “Kau pikir aku bodoh, Arga?”
Hening kembali menggantung. Arga merasa seperti dicekik oleh udara sendiri. Ia tahu, satu kata salah bisa menghancurkan segalanya.
Arman menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak marah, belum. Tapi aku ingin tahu satu hal: Sejak kapan kalian berhubungan?”
Arga membuka mulutnya, namun tak ada suara keluar.
Arga menggertakkan gigi, mencoba menenangkan diri meski tubuhnya terasa seperti meledak dari dalam. Sorot mata pamannya menusuk seperti belati, dan pertanyaan tadi menggema keras dalam benaknya.
“Sejak... sekitar dua bulan lalu,” jawab Arga lirih, namun cukup jelas untuk terdengar.
Arman mengangguk pelan. “Dua bulan... berarti tepat saat aku mulai sibuk ke luar kota untuk proyek baru. Pandai memilih waktu.” Senyumnya samar, tetapi tidak ada kehangatan di baliknya.
“Aku nggak pernah niat buat nyakitin Paman. Semua ini... terjadi begitu saja. Kami saling tertarik, dan...”
“Saling tertarik?” Arman menahan tawa sinis. “Kau pikir hubungan kalian hanya soal ketertarikan? Arga, aku mengenal wanita seperti Kalista. Ia pandai memikat. Tapi kau... kau terlalu polos.”
“Jangan hina dia,” ucap Arga tajam. “Kalista bukan perempuan seperti itu. Kami saling mencintai.”
“Cinta?” Arman mendekatkan wajahnya. “Lalu bagaimana dengan janji-janji yang ia buat padaku? Kau tahu dia pernah bilang siap meninggalkan segalanya demi aku? Apa itu bagian dari cinta juga?”
Arga tak menjawab. Matanya mulai merah, bukan karena marah, tapi karena hancur. Dunia yang ia pertahankan selama ini, rahasia, cinta, dan mungkin juga kebodohan tiba-tiba runtuh dalam satu percakapan.
“Aku tidak akan membuat skandal dari ini, Arga,” ucap Arman sambil bersandar. “Kita keluarga. Tapi mulai hari ini, kau akan menjauh darinya.”
“Tidak bisa.”
Arman menatapnya tajam. “Apa?”
“Aku tidak bisa menjauh dari Kalista. Aku mencintainya. Terlepas dari apa pun masa lalunya bersamamu.”
“Jadi kau siap menghancurkan hubungan kita demi wanita simpanan?” Arman menggeleng pelan. “Kau tahu konsekuensinya?”
“Aku tahu.”
Arman meneguk kopi untuk terakhir kali, lalu berdiri. “Kalau begitu, kita bukan lagi paman dan keponakan. Kita hanya dua pria yang jatuh cinta pada wanita yang sama. Dan dalam cinta, tidak ada belas kasihan.”
Ia meninggalkan Arga tanpa menoleh lagi.
Kalista menunggu Arga di apartemen, duduk di sofa dengan jantung tak kalah gelisah. Saat pintu akhirnya terbuka dan Arga masuk dengan wajah lesu, ia berdiri cepat.
“Bagaimana?” tanyanya cemas.
Arga memeluknya. Erat. Lama.
“Dia tahu segalanya. Dia tahu tentang kita.”
Kalista memejamkan mata, air mata jatuh tanpa bisa ditahan.
“Tapi aku bilang aku nggak akan mundur,” lanjut Arga. “Kalau harus memilih antara menjaga hubungan keluarga atau memperjuangkanmu, aku pilih kamu.”
Kalista menggigit bibirnya, menahan isak. “Arga, kau gila...”
“Gila karena cinta. Dan sekarang kita benar-benar harus berani hadapi semuanya.”
Mereka berdua terdiam dalam pelukan panjang, tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan rumitnya situasi ini. Di balik aroma parfum yang kini memenuhi ruangan, tersimpan rasa bersalah, kejujuran, dan cinta yang terlarang. Mereka sadar, langkah berikutnya tidak akan mudah. Tapi setidaknya, mereka melangkah bersama.