Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbincangan Singkat
Sering diabaikan, tidak memberi kabar saat bepergian berhari-hari, jarang berkomunikasi, tidur terpisah, tidak begitu mengenal satu sama lain, bahkan aku mengetahui isu jika dia anak dari keluarga kaya bukan dari dirinya langsung. Apakah pernikahan ini akan berjalan lancar jika di antara kami terdapat dinding pemisah yang tebal dan sulit untuk dirobohkan.
Aku memperhatikan jam di dinding, detaknya semakin mengantarkan kepada malam yang kelam, tetapi aku masih setia menunggu.
Menunggu ia pulang untuk membicarakan sesuatu hal dengannya. Aku menatap ke bawah dari balkon apartemen. Pukul 11.45 malam, akhirnya aku melihat mobil yang sama yang menjemputnya setiap pagi. Cukup lama menunggu seseorang keluar dari dalam mobil itu.
Beberapa hari aku memperhatikan, mas Elham akan berangkat dan pulang diantar jemput oleh seseorang dengan mobil yang sama. Pernah sesekali aku melihat jika dia diantar jemput oleh seorang wanita berparas cantik, berbadan kecil, dan berambut panjang sedikit ikal. Beberapa kali juga aku memperhatikan jika itu wanita yang sama.
Seperti itukah wanita tipenya? Selama ini dia bebas pulang pergi dengan wanita itu, sedangkan aku merasa posisiku sebagai istri sah agak tercoreng dan tidak diakui jika dia selalu bersikap dingin setiap hari. Mungkin, harus aku yang memulainya lebih dulu. Tidak mungkin wanita lain lebih berkuasa di hati suamiku sendiri.
Mungkin, suatu saat aku akan menaklukan hati dan juga hidupnya lewat caraku yang apa adanya.
Aku masih memantau dari kejauhan. Beberapa menit kemudian sosoknya keluar dari mobil, kini aku beranjak dan menunggunya di dekat pintu masuk apartemen ini.
Telinga kutempelkan pada daun pintu dan ketika terdengar langkah kaki semakin mendekati pintu, tanganku bersiap untuk membuka pintunya dengan sigap.
Pintu apartemen yang semula terkunci terdengar berisik--suara jari seseorang menekan beberapa angka untuk membuka akses pintu berteknologi smart key. Dia berhasil membuka akses smart key.
Ting. The door is unlocked!
Sayangnya, sebelum dia sempat mendorong pintunya, aku sudah lebih dulu menariknya. Dia kalah cepat membuka pintunya.
"Eeeh!" teriakku.
Tubuhnya tiba-tiba terhuyung ke depan dan menimpa tubuhku sepenuhnya, kami terbaring di atas lantai sebab ia tak siap melangkah saat pintu aku tarik ke dalam secara cepat.
"Aiss..." desisku ketika terasa dadaku terhantam oleh tubuhnya yang tak sengaja menubruk tubuhku hingga kami terkapar di lantai. Namun, terdapat tangan yang menadah belakang kepalaku hingga benturan itu tidak membuat kepalaku terbentur langsung di lantai.
"Apa-apaan kamu?! You, okey?" sentak dia, meski diakhiri dengan pertanyaan dengan nada khawatir. Ia langsung berguling dari atas tubuhku ke samping. Dia berjongkok dan membantuku berdiri dari posisiku yang kesulitan untuk bergerak bangkit.
Tanganku digenggamnya, sedangkan sebelah tangannya digunakan untuk mendorong leherku naik sampai aku bisa terduduk. Aku pun tersenyum, "Terima kasih."
"Gimana? Makanya, jangan bercanda!"
Aku mengusap kepala bagian belakangku. Sebuah penyesalan, kesakitan, dan menahan malu akibat terjungkal bersama aku rasakan bersamaan menimbulkan senyum getir tak terelakan. "Hehe, aman. Niatnya mau kasih kejutan, malah kejedot lantai."
"Mas abis lembur, ya?" tanyaku ketika menarik tangannya untuk kukecup selayaknya istri pada umumnya yang menyambut kepulangan suami dari bekerja dengan ramah tamah dan ceria.
"Hem," jawabnya pendek, tidak mengindahkan ekspresiku. Dia sibuk melepas sepatunya, lagi dan lagi sebelum dia meraih rak sepatu, aku lebih dulu membuka raknya untuk mempermudah dia meletakkan sepatunya.
Dia menatapku datar.
"Mas, mau makan? Aku sudah memasak," tanyaku saat dia meletakkan sepatu pada rak yang sudah kusediakan terbuka di sisi dekat pintu.
Dia menggeleng, tidak berucap apapun. Dia melepas segala pernak-pernik di tubuhnya, dasi, jam tangan yang dia letakkan di meja dekat ruang televisi, begitu pula dengan tas kerjanya.
"Aku sudah memasak ikan dory asam manis sama--," tawarku selagi berjalan mendahuluinya menuju meja makan,
"Gak, sudah makan."
Agak kecewa mendengar penolakannya karena dia tak mau melihat dulu apa yang telah aku masak untuknya.
"Ouh." Aku terpaksa menutup kembali tudung saji di atas meja makan.
Dia berjalan mendekat ke dapur, sebelum ia membuka rak untuk mengambil gelas, aku telah menuangkan segelas air untuknya, lalu menyodorkannya.
Dia kalah cepat, aku tersenyum menang, ia hanya menatapku dan gelas di tanganku secara bergantian. Mungkin dia bingung mengapa aku bersikap begini malam ini.
"Mau minum, kan?" tawarku sambil tersenyum.
Ia tidak menolak, tetapi ragu menerima meski pada akhirnya dia meneguk juga isinya. Aku memperhatikan sepanjang dia meneguk air dari gelasnya.
Sejenak aku masih berdiri di depannya, dia mengernyit dan menatapku seperti melihat ada keanehan. Bibirnya terbuka dan terkatup bergantian seolah ingin bertanya sesuatu.
"Kenapa tingkahmu seperti ini?"
"Kenapa? Aku ini istrimu, kan? Memangnya ada yang salah kalau ... melayani suami sendiri?" ujarku semakin menunduk dan ragu-ragu.
Ia terlihat tenang setelah meneguk segelas air itu. "Mas, oh ya! Ada yang mau aku bicarakan sebentar."
"Apa?"
"Mau minta izin. Besok aku mau pergi bersama guru sekolahku menemui investor," ujarku duduk di kursi ruang makan, sedangkan dia tengah mencuci tangan di wastafel dekat dapur.
Tangannya ia keringkan pada hand dryer, lalu mendekat ke arahku. "Menemui investor? Untuk apa?"
"Pengunduran diriku dari pimpinan sekolah itu," jawabku. Dia masih menatapku meminta penjelasan lebih.
"Maksudku, aku ingin memberitahu pihak mereka jika sekolah itu bukan lagi aku yang pimpin, tetapi pindah alih ke tangan Vika."
"Kenapa?" tanya dia mengerutkan alisnya.
"Aku pikir karena aku ... sudah menikah, dan tinggal di kota yang berbeda, jauh untuk mengajar dan melakukan pengawasan. Aku tidak mungkin mengurusnya dari jauh, dan juga sebenarnya aku ... mau fokus kehidupan di sini saja. Menjadi ibu rumah tangga."
"Jadi, boleh kan besok aku pergi?" tanyaku selanjutnya dengan ramah.
Ia berbalik menatapku dingin dan bertanya, "Harus?"
Aku mengangguk, ini akan menjadi pertemuan terakhirku berurusan dengan sekolah itu.
"Ya," jawabnya sembari berlalu menuju ruang kerjanya.
"Mas Elham, boleh aku bertanya lagi?"
Ia menghentikan langkahnya tak jadi membuka pintu ruang kerjanya. "Devy mengatakan kalau Mas bukan seorang karyawan biasa, boleh aku tahu apa pekerjaanmu sebenarnya?"
Dia berbalik badan. "Bukankah sudah aku katakan sebelumnya? Mana yang lebih kamu percaya?"
"Maksudku, aku hanya ingin lebih tahu tentangmu dari mulutmu yang sejujurnya. Biar aku tidak bertanya-tanya sendiri saat orang lain bertanya siapa suamiku. Benarkah dia seorang yang kaya raya, anak dari pengusaha yang pernah mengusai pasar elit global pada masa jayanya itu? Apakah benar dia keturunan seorang Galih Wicaksono atau bukan?"
Selangkah aku mendekat padanya. "Dan kalau benar, kenapa putranya seakan tidak bangga mengakui dan tidak mau jujur kepada istrinya sendiri? Kenapa aku mengetahuinya dari orang lain? Bukankah seharusnya aku bisa berbangga hati dan bahagia menjadi menantunya pak Galih seperti yang orang lain bilang padaku. Katanya sebuah keberuntungan besar menjadi menantu keluarga Galih yang berarti orang itu spesial dan siap-siap akan diistimewakan. Lalu apa yang bisa aku bangga dan sebutkan keistimewaan menjadi bagian dari keluarga Galih, sedangkan aku tidak tahu apalagi merasakannya?"
"Aku bukan anak Galih yang kamu maksud," ketusnya, lalu menutup pintu ruang kerjanya dengan kasar.