Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunga Kematian
Langit desa Gunungjati malam itu gelap pekat, tanpa bulan, seolah alam pun enggan menatap apa yang sedang tumbuh di bawahnya. Angin dingin menggesek genting rumah-rumah tua, membawa bau tanah basah dan sesuatu yang lebih halus… seperti dupa, atau bangkai.
Di dalam rumah kayu sederhana milik pasangan Rokif dan Ningsih, televisi tua menyala di ruang depan. Suaranya cempreng, menyiarkan sinetron re-run yang tak lagi lucu bagi siapapun kecuali mereka yang ingin sekadar mengisi sunyi. Rokif duduk di kursi rotan, bersarung dan berbaju dalam, mengunyah keripik singkong. Di sebelahnya, Ningsih bersandar sambil menyulam, sesekali ikut tertawa kecil meski matanya tampak lelah.
Jam dinding berdetak pelan. Pukul 22.01.
“Kok anginnya makin kenceng, ya?” gumam Ningsih tanpa menoleh.
Rokif tak menjawab. Pandangannya tertarik ke layar TV yang tiba-tiba berbintik-bintik—suara mendesing menyusup, mengalahkan dialog sinetron. Ia meraih remote, memukul-mukul bagian belakangnya. “Ah, rusak lagi…”
Tiba-tiba... crrkk! Layar gelap total.
Lampu ruang tamu berkedip dua kali, lalu mati. Sunyi menyergap, hanya suara angin dan gesekan pohon di luar yang terdengar.
Rokif bangkit, menggerutu, “Listrik PLN kampret. Udah bayar juga tetep mati.”
Ningsih berdiri pelan, menoleh ke jendela. Matanya menyipit. “Mas... itu apaan di depan rumah?”
Di luar, di bawah cahaya samar dari lampu jalan yang meredup, tampak sesuatu. Sebuah sosok berdiri diam di tengah jalan tanah—gaunnya panjang, koyak-koyak. Rambutnya panjang menutupi wajah. Kakinya telanjang, dan di sekitarnya, bunga kamboja putih berserakan, seperti habis dilempar dari liang kubur.
Rokif menelan ludah. “Anak siapa malem-malem gitu...”
Sosok itu tidak bergerak. Tapi tiba-tiba, suara gamelan pelan terdengar. Lirih. Seperti dari kejauhan. Menyeret perasaan mereka turun ke lubang tak terlihat.
Lalu... suara tangisan bayi. Lirih. Jelas. Padahal mereka tak punya anak kecil. Dan tetangga terdekat berjarak puluhan meter.
Ningsih menggenggam lengan suaminya. “Mas... kita masuk kamar. Sekarang.”
Tapi saat mereka berbalik, TV menyala sendiri. Bukan siaran. Tapi rekaman tua—hitam putih—dengan gambar seorang wanita berpakaian adat, memegang pusaka. Wajahnya menghadap kamera. Matanya menatap tajam, hidup.
Dan wanita itu tersenyum.s
Rokif dan Ningsih tersentak mundur. Rokif buru-buru mematikan TV—tapi tombol remote seolah tak berfungsi. Layar itu terus menyala, wanita berpakaian adat tadi kini menunduk perlahan… seolah menyembah. Namun di bawah kain kebayanya, terlihat genangan darah perlahan-lahan merembes keluar.
“Mas… ayo. Sekarang.” Ningsih menarik lengan suaminya, hampir berlari ke kamar.
Mereka masuk terburu-buru dan mengunci pintu rapat. Jendela dikunci. Tirai ditarik. Rokif mencari sesuatu di bawah tempat tidur—sebuah parang tua yang biasa ia pakai menebas ilalang. Sementara itu, Ningsih bersimpuh di pojok ruangan, mulutnya merapalkan doa dengan suara gemetar.
Di luar kamar, suara langkah kaki terdengar. Bukan satu… tapi seperti beberapa, pelan… berat… menyeret. Krekk… kressh… krek…
Mereka saling menatap, napas tertahan.
Kemudian, dari bawah celah pintu… asap tipis mengalir masuk. Bukan asap biasa. Baunya… anyir, seperti rambut terbakar dan darah basi.
Lampu kamar berkedip, lalu mati total.
Gelap.
Tok… tok… tok…
Seseorang—atau sesuatu—mengetuk pintu kamar mereka tiga kali.
Lalu… suara pelan, seperti desahan dari liang kubur:
“Buka, Ningsih… aku tahu kau mendengar…”
Mulut Ningsih ternganga. Itu suara ibunya—almarhumah ibunya—yang telah meninggal lebih dari sepuluh tahun lalu.
Rokif mendekap istrinya. Di luar, suara gamelan kembali berdenting… lebih keras. Bunga kamboja tiba-tiba mulai berjatuhan dari ventilasi atap, satu per satu, membentuk lingkaran di lantai kamar mereka.
Dan di dinding—dengan darah—tertulis kata yang baru terbentuk malam itu:
IBU SUDAH BANGKIT.
Bersambung....