Perjalanan seorang pemuda bernama Cassius dalam mencari kekuatan untuk mengungkap misteri keruntuhan kerajaan yang dulu merupakan tempat tinggalnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mooney moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesempatan untuk bertambah kuat
Pria tua itu menaikkan alisnya sedikit, lalu tersenyum kecil. “Cassius, ya? Nama yang cukup berbobot.”
Cassius tidak menanggapi pujian itu, hanya menatap pria tua di hadapannya dengan ekspresi datar. “Lalu, siapa kau?”
Dia menyeringai lebar, tampak senang akhirnya ditanya. Ia menepuk dadanya sendiri dengan bangga. “Aku Mulgur. Seorang... mari kita bilang, penjaga hutan ini.”
Cassius mengangkat alis, meresapi jawaban itu. “Penjaga hutan? Apa maksudmu?”
Mulgur tertawa kecil, lalu mengambil segenggam air dan membasuh wajahnya. “Bukan dalam arti formal, tentu saja. Bisa dibilang aku sudah hidup cukup lama di sini, jadi aku tahu hampir sebagian besar yang terjadi di hutan ini—baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.”
Cassius memperhatikan Mulgur dengan tatapan tajam, mencoba menilai seberapa jauh ia bisa mempercayai orang tua ini. “Kalau begitu, biar kuperjelas pertanyaanku lagi. Kenapa kau bisa berada di gua itu? Dan kenapa kau tampak... seolah menyerahkan dirimu pada makhluk itu?”
Senyuman di wajah Mulgur sedikit memudar. Ia menatap air oasis dengan ekspresi lebih serius, lalu menghela napas. “Aku... tidak sepenuhnya sadar saat itu. Sesuatu telah mengganggu pikiranku, mengaburkan keinginanku. Saat aku mulai tersadar, aku sudah berada di dalam gua itu denganmu.”
Cassius menyipitkan matanya. “Jadi kau sedang berada di bawah pengaruh sesuatu?”
Mulgur mengangguk pelan. “Benar, pengaruh yang membutakan kehendakku. Aku tidak ingat siapa atau apa yang melakukannya, tapi itu cukup kuat untuk membuatku berjalan lurus menuju kematian.”
Cassius termenung sejenak. "Kalau begitu, aku datang di waktu yang tepat bukan?."
Mulgur terkekeh. “Bisa dibilang begitu. Kalau kau tidak menyeretku keluar, mungkin aku sudah menjadi batu atau makanan makhluk itu sekarang. Aku... berhutang nyawa padamu”
Cassius menyandarkan punggungnya pada batu di belakangnya, pikirannya masih bekerja mencerna semua informasi ini sebelum akhirnya memutuskan berbicara lebih jauh. "Aku sendiri ke sini karena ingin menjelajahi hutan ini. Ada banyak hal yang ingin kutemukan—dan sepertinya aku menemukan lebih dari yang kuharapkan."
Mulgur menatapnya dengan ketertarikan yang lebih dalam. "Hutan Pilgrum bukan tempat yang ramah untuk penjelajah biasa. Kau pasti punya alasan yang kuat untuk ada di sini kan...?"
Cassius mengangkat bahu. "Tentu saja, aku mencari sesuatu. sesuatu yang hanya bisa kutemukan dengan berada di tempat seperti ini."
Mulgur menyipitkan matanya, menatap Cassius dengan penuh arti sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Heh.. Sepertinya kita berdua sama-sama memiliki banyak pertanyaan, anak muda.”
Setelah menyesap air dari oasis dengan ekspresi lebih santai dan beberapa saat keheningan, Mulgur mengangkat kepalanya dan menatap Cassius dengan mata yang menyipit penuh rasa ingin tahu.
“Jadi, anak muda,” katanya, mengusap janggutnya yang menyerupai akar, “apa sebenarnya sesuatu yang kau cari itu? Yang bisa ditemukan di sini hanyalah bahaya—monster dan makhluk-makhluk mitologi yang bisa merobekmu jadi potongan daging dalam hitungan detik.”
Cassius terdiam sesaat, memikirkan kata-katanya. Ia bisa saja memberi jawaban samar atau menghindari topik ini, tapi setelah apa yang terjadi di gua, ia tahu bahwa Mulgur setidaknya bisa dipercaya—dan di atas segalanya, Cassius menyadari bahwa lelaki tua ini sekarang memiliki hutang nyawa padanya. Jika ada kesempatan untuk mendapatkan bantuan atau informasi lebih, maka ini adalah saatnya.
Cassius menghela napas pelan, lalu menatap Mulgur dengan serius. “Aku mencari kekuatan,” katanya dengan tegas.
Mulgur mengangkat alisnya, jelas tidak menduga jawaban itu. “Kekuatan?”
Cassius mengangguk. “Aku ingin lebih dari sekadar bertahan. Aku ingin bisa melawan.” Ia mengepalkan tangannya, merasakan denyut halus Loomb di bawah kulitnya. “Selama ini aku hanya bermodal kemampuan ketahanan dalam setiap pertempuran, hanya bisa menghindari kematian. Tapi bertahan saja tidak cukup. Jika aku ingin bertahan hidup di dunia ini… aku harus punya sesuatu yang kuat yang bisa kugunakan sebagai senjata.”
Mulgur menyandarkan tubuhnya ke batu besar di belakangnya sambil tertawa, ia lalu menatap Cassius dengan ekspresi sulit ditebak. “Hmph… Anak muda zaman sekarang memang selalu bicara tentang kekuatan.” Ia mendengus pelan, lalu melanjutkan, “Tapi paling tidak kau berkata jujur.”
Cassius tetap diam, membiarkan kata-kata Mulgur menggantung di udara. Ia bisa merasakan tatapan lelaki tua itu yang meneliti dirinya seolah mencoba menilai seberapa serius ucapannya.
Setelah beberapa saat, Mulgur akhirnya mendesah dan mengusap wajahnya. “Baiklah,” katanya, “karena aku punya hutang nyawa padamu, aku akan membantumu… sebanyak yang aku bisa.”
Cassius menatapnya dengan mata penuh ketegasan. “Lalu, dari apa yang kau ketahui, di mana aku bisa menemukan kekuatan semacam itu?”
Mulgur mengamati Cassius dengan tatapan penuh pertimbangan sebelum akhirnya bersuara lagi. "Kalau kau ingin mendapatkan kekuatan, setidaknya kau pasti sudah punya sesuatu yang kau gunakan untuk bertahan sampai sejauh ini, kan?"
Cassius mengangguk, sambil menyandarkan punggungnya ke batu di belakangnya. "Aku punya beberapa kemampuan yang membantuku bertahan," katanya. "Aku memiliki Loomb, meskipun aku masih mencari tahu lebih dalam tentangnya. Selain itu, aku mempelajari teknik pedang sederhana dari guruku, dan aku bisa menggunakan dua jenis sihir—Inventory dan Fireball."
Mulgur mengangkat alisnya, terlihat sedikit tertarik. "Loomb, ya?" Dia mengelus janggut akarnya. "Aku tidak terlalu tahu banyak soal itu. Aku sendiri hanya punya tiga, dan semuanya bukan tipe serangan. Jadi, aku tidak pernah benar-benar bergantung pada Loomb untuk bertahan hidup."
Cassius cukup terkejut, tapi ia tidak menunjukkan ekspresinya terlalu jelas. Jadi, Mulgur juga memiliki Loomb—dan jumlahnya tiga. Hal ini cukup mengejutkan bagi Cassius. karena jika di kerajaan, mulgur sudah tergolong kuat untuk ukuran orang tua. Seingatnya dulu, bahkan sekelas jendral kerajaan juga punya tiga loomb, Cassius berpikir apa mungkin orang tua ini setara penyihir kerajaan jika dilihat dari banyaknya loomb yang dia punya.
Mulgur menghela napas dan melanjutkan, "Tapi kalau soal sihir, itu lain cerita. Aku tahu lumayan banyak. Kalau kau memang ingin memperkuat dirimu, aku bisa mengajarkan beberapa hal yang mungkin akan berguna."
Cassius menatapnya dengan mata penuh perhitungan. Ia tahu bahwa setiap pengetahuan adalah keuntungan, dan mempelajari lebih banyak soal sihir pasti akan berguna dalam perjalanannya. Terlebih lagi prasangkanya soal pengetahuan sihir Mulgur benar. "Aku tentu tidak akan menolak tawaran itu," kata Cassius karna medapat peluang besar untuk bertambah kuat.
Mulgur menyeringai, tampak puas. "Bagus. Setidaknya kau cukup pintar untuk tidak menolak kesempatan." Dia menyesap air dari oasis sekali lagi sebelum bersandar santai. "Tapi sebelum kita mulai bicara soal itu, kau harus tahu dulu satu hal—belajar sihir itu bukan cuma soal membaca mantra dan mengayunkan tangan atau tongkat. Ada prinsip yang lebih dalam yang harus kau pahami."