Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.
Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.
Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.
Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 13 (Di Ambang Perubahan)
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
Bulan telah menyelesaikan tugasnya, menyerahkan langit pada matahari yang perlahan naik di ufuk timur. Semalaman, Zidan dan Aya setia menjaga Ibu mereka di rumah sakit, bergantian terjaga dalam kelelahan yang mereka sembunyikan demi satu sama lain.
Ketika sinar pagi mulai menyusup melalui celah tirai jendela, Zidan menoleh pada adiknya yang tertidur meringkuk di kursi. Ia bangkit dari duduknya dan membungkuk sedikit, lalu memanggil pelan.
“Aya…”
Aya mengerjap, suaranya masih serak mengantuk. “Hmm?”
“Udah pagi. Pulang dulu, ya. Habis itu siap-siap ke sekolah,” ujar Zidan lembut, menatap mata adiknya yang mulai terbuka.
“Tapi Ibu...”
“Tenang, biar abang yang jagain Ibu. Abang juga nggak masuk kerja hari ini, udah izin.”
Aya tampak ragu, tapi melihat kesungguhan dalam mata kakaknya, akhirnya ia mengangguk pelan. Ia bangkit dari duduknya dan melangkah ke sisi ranjang Ibu mereka.
“Ibu, Aya pulang dulu ya… nanti sepulang sekolah Aya ke sini lagi,” bisiknya, meskipun Bu Puspa masih tertidur tenang.
Dengan penuh kasih, Aya mengecup pipi ibunya yang tampak lemah. “Cepat sembuh ya, Bu,” tambahnya pelan, seolah berharap kata-katanya bisa menembus alam bawah sadar sang ibu.
Setelah melangkah keluar kamar, Zidan menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia menghela napas panjang, mencoba menepis lelah yang menumpuk sejak semalam. Di antara rasa letih dan khawatir, ia tahu—hari ini belum selesai, dan perjuangan masih panjang.
Pagi itu, Zidan mengawali harinya dengan tubuh letih dan pikiran yang masih berat. Berbanding terbalik dengan Letta, yang justru menyambut pagi dengan semangat membara. Hari ini, rencana besar yang ia susun perlahan akan mulai dijalankan.
Sebelum memulai aktivitas, Letta sudah lebih dulu meminta Etan menyiapkan beberapa dokumen penting—bagian krusial dari langkah awal yang akan ia ambil.
Waktu berlalu cepat. Tanpa terasa, jam istirahat pun tiba. Letta yang sedari tadi tenggelam dalam tumpukan berkas akhirnya meregangkan tubuhnya sejenak. Saat itulah suara ketukan pelan terdengar dari pintu ruangannya.
Tok... Tok...
“Masuk,” ucap Letta singkat.
Pintu terbuka, dan Etan melangkah masuk dengan sebuah map cokelat di tangannya.
“Selamat siang, Nona,” sapanya sopan, sembari menyodorkan dokumen yang diminta.
Letta menjawab dengan senyum singkat, lalu menerima dokumen itu. Namun sebelum ia sempat membukanya, Etan mengangkat suara—sesuatu yang jarang ia lakukan.
“Umm… apakah Nona benar-benar yakin akan melakukan ini?”
Letta mengangkat alis, menoleh dengan bingung. “Kenapa? Ada yang salah?”
Etan menghela napas, lalu berkata pelan namun tegas, “Bukan soal salah atau benar secara teknis… Tapi Nona tahu ini bukan tindakan yang sepenuhnya benar. Ini bisa mengubah hidup seseorang secara drastis.”
Letta terdiam sejenak, menatap Etan yang untuk pertama kalinya berbicara begitu jujur. Ia tahu maksud Etan baik, tapi hatinya sudah bulat.
“Kadang, Etan… untuk membebaskan seseorang dari penderitaannya, kita harus jadi orang yang tega. Bukan untuk menghancurkan, tapi untuk menyelamatkan,” ucap Letta tenang, meski ada sedikit keraguan yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
Etan menunduk, tak berani membantah. Ia tahu, ketika Letta sudah memutuskan sesuatu, maka tak ada jalan mundur.
Dan Letta pun membuka map itu perlahan, menatap lembar demi lembar dokumen yang bisa menjadi awal dari perubahan besar—bagi Zidan, bagi Felicia, dan mungkin... bagi dirinya sendiri.
Setelah memastikan tidak ada kesalahan dalam dokumen yang disiapkan Etan, Letta menutup map tersebut dengan tenang. Ia bangkit dari kursi kebesarannya, suaranya mantap.
“Kita ke rumah sakit sekarang. Aku ingin menjenguknya.”
Etan mengangguk singkat, langsung bersiap mendampingi sang Nona. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa sunyi. Namun tidak bagi Etan—pikirannya berkecamuk, matanya sesekali mencuri pandang ke arah Letta yang duduk diam di sampingnya.
Di lubuk hati terdalam, Etan gelisah. Ia tahu Letta tengah menjalankan sesuatu yang besar, namun ia juga sadar betapa gilanya rencana itu jika dilihat dari sudut pandang orang luar. Ia bisa membayangkan betapa terkejutnya Tuan dan Nyonya nantinya, saat tahu apa yang tengah dilakukan oleh putri semata wayang mereka.
Lamunannya buyar ketika Letta tiba-tiba membuka suara.
“Di mana dia sekarang?”
Etan tersentak kecil, buru-buru menjawab, “Dari laporan terakhir, Bu Felicia sedang bertemu teman-temannya… di sebuah kafe.”
Letta mengerutkan kening dan mendengus lirih. “Bahkan saat ibu mertuanya dirawat di rumah sakit, dia masih sibuk bersenang-senang,” gumamnya, nyaris seperti gerutuan yang lolos tanpa sengaja.
Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi perlahan memasuki area parkir rumah sakit. Letta menarik napas dalam, menyiapkan dirinya untuk pertemuan yang mungkin akan menjadi titik balik dari segalanya.
Letta turun dari mobil dengan langkah mantap dan penuh percaya diri. Di sampingnya, Etan seperti biasa setia mendampingi. Sepanjang koridor rumah sakit, beberapa orang sempat mencuri pandang ke arah Letta—penampilannya memang selalu mencuri perhatian.
Setibanya di depan ruang rawat ibu Zidan, Letta menarik napas pelan, berusaha menenangkan dirinya sebelum mengetuk pintu. Tak lama, pintu terbuka, memperlihatkan sosok Zidan yang tampak terkejut melihat kehadiran Letta.
Zidan berdiri mematung, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Letta mengerutkan kening, bingung. Apa aku tidak diperbolehkan masuk? batinnya.
“Apa aku tidak boleh masuk?” tanya Letta, suaranya lembut namun cukup untuk menyadarkan Zidan dari keterkejutannya.
“Ah, maaf... silakan masuk,” ujar Zidan akhirnya, mempersilakan Letta dan Etan yang membawa bingkisan untuk masuk.
Sesampainya di dalam, pandangan Letta langsung tertuju pada ibu Zidan yang tengah terbaring dengan mata terpejam. Ini adalah pertama kalinya Letta melihat sosok ibu kandung Zidan secara langsung. Ia teringat masa lalu—betapa Zidan selalu datang sendirian ke setiap acara sekolah, termasuk saat kelulusan. Tak pernah sekalipun orang tuanya hadir.
“Ibu baru saja minum obat, jadi... maaf, dia masih tertidur,” kata Zidan, terdengar sedikit sungkan.
“Tak apa, biarkan beliau beristirahat,” jawab Letta tenang, lalu menoleh pada Etan.
“Ini ada sedikit buah tangan,” ucap Letta ketika Etan meletakkan bingkisan buah-buahan di atas meja nakas di samping tempat tidur.
“Bagaimana kondisinya?” tanya Letta, meski sebenarnya ia sudah tahu dari laporan Etan.
“Sudah jauh lebih baik,” jawab Zidan singkat.
Sejenak suasana menjadi hening. Tak satu pun dari mereka bicara, hingga akhirnya suara pintu terbuka memecah keheningan. Seorang wanita masuk, dan itu adalah Felicia. Matanya membulat, terkejut mendapati Letta di ruangan itu.
Menyadari situasinya, Letta segera angkat bicara. “Kalau begitu, kami pamit.”
Tanpa menunggu tanggapan, Letta melangkah keluar bersama Etan, memberi ruang bagi Zidan dan Felicia untuk bicara—walau hatinya tahu, badai belum benar-benar reda.
Sepeninggal Letta, Felicia melangkah masuk ke ruang rawat dengan raut wajah sedikit cemas. Ada ketegangan dalam langkahnya, seolah tahu bahwa kehadirannya tidak akan disambut hangat.
Zidan menatapnya tajam, emosi yang sejak tadi ia pendam akhirnya meletup. “Dari mana kamu? Kenapa baru datang sekarang?” tanyanya, suara rendah namun penuh tekanan.
Ia benar-benar geram. Di saat sang ibu terbaring lemah di rumah sakit—karena pertengkaran mereka pula—Felicia justru menghilang tanpa kabar.
Felicia mendesah pelan. “Aku tadi bersihin rumah, Mas... Lagipula Ibu kan udah dijagain sama kamu dan Aya,” jawabnya enteng, seolah lupa bahwa keadaan mereka sedang genting.
Zidan menggeleng, tidak percaya dengan sikap istrinya. Tapi kali ini, ia memilih menahan diri. Tak ingin memperpanjang pertengkaran, terutama di tempat seperti ini.
Ia hanya menarik napas panjang, lalu kembali duduk di samping tempat tidur ibunya, berusaha menenangkan amarah yang masih membara dalam diam.
Keheningan menyelimuti ruang rawat itu, hanya terdengar suara detak jam dinding yang lambat. Zidan dan Felicia, meski berada dalam ruangan yang sama, tak saling bersuara. Bahkan ketika ibu Zidan terbangun, mereka tetap diam, terjebak dalam ketegangan yang tak terucapkan.
Felicia akhirnya memutuskan untuk pulang. Zidan tidak menghalanginya; ia tahu, lebih baik istrinya pergi daripada terus berada di sini dan memperburuk keadaan.
Begitu Felicia keluar dari ruang rawat, sebuah hembusan napas lega terdengar dari mulutnya. Ia menggerutu pelan, merasa terbebas dari ketegangan yang membelenggunya. Langkahnya semakin cepat, berusaha melupakan beban yang masih mengikutinya.
Namun, langkahnya terhenti saat suara yang tak asing lagi menyapa telinganya. “Bisa kita bicara berdua?” Suara Letta, tenang namun tegas, memecah keheningan.
Felicia menoleh, terkejut mendengar permintaan itu. Letta berdiri di ujung koridor, matanya penuh tekad.
Misi dimulai, batin Letta, sambil menyusun langkah berikutnya dalam rencananya.
TBC...