Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebatas pasal di atas kertas kontrak.
Langit mulai gelap. Hujan masih turun, membasahi kaca-kaca besar di rumah megah itu. Di dalam, rumah tampak sunyi. Raina duduk sendirian di ruang tengah, membolak-balik halaman buku yang sejak tadi tak benar-benar ia baca. Jam di dinding berdetak pelan, mengiringi pikirannya yang mulai gelisah.
Sudah lebih dari satu jam sejak Aditya keluar karena “urusan mendadak.” Raina tidak bertanya, seperti biasanya. Tapi kali ini, entah kenapa, hatinya menolak untuk tetap diam.
Matanya menatap ke arah koridor. Cahaya di bawah pintu kamar Aditya masih menyala. Ia berdiri, ragu. Kakinya bergerak pelan menyusuri lantai marmer dingin menuju kamar yang selama ini nyaris tidak pernah ia sentuh.
Tangannya menggenggam gagang pintu. Ia tarik napas, lalu memutar kenop. Pintu terbuka.
KAMAR ADITYA
Kamar itu rapi. Terlalu rapi. Seprai tertata sempurna, kemeja digantung di belakang pintu. Tapi di meja kecil dekat tempat tidur, ada satu laci nakas yang terbuka sedikit—seolah tergesa saat ditutup.
Raina mendekat, duduk di tepi ranjang. Tangannya gemetar pelan saat menyentuh laci itu. Dan di dalamnya, ia melihat sebuah album foto, tersimpan rapi dalam plastik bening.
Ia menariknya keluar.
Halaman pertama membuat napasnya tercekat. Foto Aditya—bertahun lalu. Tersenyum. Tapi bukan sendiri. Ada seorang perempuan di sampingnya.Tertulis jelas nama di balik foto ___tertulis Larasati.
Raina membalik halaman berikutnya. Semua kenangan itu tersusun dengan hati-hati. Liburan, potret hitam-putih, surat tangan yang diselipkan di balik lembar plastik. Ada dedikasi di sana. Ada perasaan.
Raina memejamkan mata sejenak. Ia tidak menangis, tapi dadanya terasa penuh. Seolah selama ini ia hanya menempati ruang kosong yang belum pernah benar-benar dibersihkan.
Ia hendak menutup album itu saat matanya menangkap sesuatu di bawah meja kerja Aditya. Sebuah dompet hitam, seperti jatuh dan tersembunyi di balik kaki meja.
Raina meraihnya, membuka pelan—tanpa niat mengintip, tapi tak bisa menahan rasa penasaran yang kini berubah jadi kegelisahan.
Kartu identitas. Kartu ATM. Kartu hitam Unlimited.kartu gym. Semua biasa saja.
Lalu, di sela lipatan dompet, ada sebuah foto kecil, lusuh, diselipkan rapi. Ia menariknya keluar.
Foto itu—perempuan yang sama.
Larasati, tersenyum, memeluk Aditya dari belakang. Foto lama, tapi disimpan dekat. Di dompet. Tempat yang hanya menyimpan hal paling penting.
Raina menatap foto itu lama. Tangannya gemetar. Tapi ia tidak merobeknya. Tidak membuangnya. Ia hanya menaruhnya kembali... dengan hati yang jauh lebih dingin dari sebelumnya.
Ia berdiri perlahan, meletakkan album kembali ke laci. Menutupnya.
Matanya kosong saat menatap cermin di sisi kamar. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil—bukan karena bahagia. Tapi karena akhirnya ia tahu, ia tidak pernah benar-benar Ada di dalam hatinya. Ia hanya pengganti yang sopan.
Raina (berbisik pada diri sendiri):
"Jadi ini... jawaban selama dua tahun pernikahan, ?"
Hujan di luar masih turun, tapi kini terasa seolah turun di dalam dirinya juga.
...****************...
Matahari baru naik. Sinar tipis menembus tirai dapur. Raina tengah menyusun sarapan di meja makan seperti biasa, tapi kali ini lebih cepat dari biasanya. Wajahnya tenang, suaranya stabil, namun ada jarak yang jelas.
Aditya masuk dengan kemeja setengah dikancing, rambut basah usai mandi.
Aditya:
“Kamu bangun pagi banget.”
Raina: (tanpa menoleh)
“Mulai besok aku akan lebih pagi lagi.”
Aditya:
“Kenapa?”
Raina:
“Aku mau mulai kerja.”
Aditya mengernyit, menghentikan gerakannya.
Aditya:
“Kerja? Kenapa mendadak? Kamu kan selama ini—”
Raina: (memotong, tenang)
“Aku butuh rutinitas baru. Aktivitas di luar rumah. Buat diri aku.”
Aditya: (menatapnya, ragu)
“Raina… aku cuma takut kamu kecapekan. Kamu nggak harus kerja kok.”
Raina: (menatap langsung, pertama kalinya pagi itu)
“Aku tahu. Tapi aku mau. Bukan karena butuh uang, tapi karena butuh... ruang untuk diri sendiri.”
Aditya terdiam sejenak.
Aditya:
“Kalau kamu memang mau kerja, kenapa nggak di kantorku aja? Aku bisa bantu urus posisi yang sesuai.”
Raina: (menggeleng pelan, senyum tipis)
“Aku nggak mau kerja di bawah bayang-bayang kamu. Aku mau berdiri sendiri, mas, dari awal.”
Aditya tak langsung menjawab. Ada bagian dalam dirinya yang terasa digeser pelan-pelan—bukan disakiti, tapi dilewati.
Aditya:
“Kamu udah ada tempatnya?”
Raina:
“Resto baru di pusat kota. Salah satu cabang dari jaringan resto terkenal itu. Mereka buka lowongan banyak, dan aku udah daftar kemarin.”
Aditya:
“Kamu udah daftar?” (kaget, tapi ditahan)
Raina: (mengangguk pelan)
“Iya. Interview minggu ini.”
Suasana hening sejenak. Raina kembali pada sarapannya, tenang. Sementara Aditya menatapnya dalam, seperti mencoba membaca sesuatu yang tak lagi bisa dibaca.
Aditya: (pelan, hati-hati)
“Kenapa kamu nggak bilang dulu?”
Raina: (masih tenang, tapi nadanya datar)
“Beberapa hal… lebih mudah dilakukan daripada dijelaskan.”
Raina tidak membentak. Tidak menuntut. Tapi juga tidak lagi menjelaskan setiap langkahnya.
Ia mulai memilih jalannya sendiri, tanpa bertanya apakah Aditya akan ikut atau tidak.
Raina baru saja selesai mencuci tangan, hendak duduk ketika suara Aditya membelah keheningan. Nada suaranya bukan lagi seperti suami yang lembut, tapi pria berkuasa yang tak ingin dikalahkan.
Aditya: (tajam, suaranya meninggi)
“Jadi kamu tetap kekeh mau kerja di luar?!”
Raina: (menahan napas, tapi tetap tenang)
“Iya. Aku sudah putuskan.”
Aditya berdiri dari kursinya. Kursi ulin berat itu bergeser kasar di lantai marmer, membuat semua pelayan menegang, pura-pura sibuk tapi jelas mendengar.
Aditya:
“Kamu lupa... kamu siapa, Raina?!”
Suara Aditya menggema. Tangan kanannya mengepal. Matanya menajam—bukan karena benci, tapi karena egonya terancam.
Aditya:
“Mungkin selama ini aku terlalu baik sama kamu sampai kamu mulai ngelunjak.
Sampai kamu merasa bebas melangkah tanpa persetujuanku.”
Raina: (menelan air liur, suara gemetar)
“Aku baru ada kesempatan berbicara,itu sekarang...”
Aditya: (menyela, nada arogan menggema)
“Dan kamu lupa satu hal penting.”
(Ia menarik napas, lalu berkata dengan dingin dan lambat—tajam seperti bilah pisau.)
Aditya:
“Kita ini... ada karena KONTRAK. Kamu setuju jadi istriku dengan syarat—semua keputusan akhir tetap di tanganku. Termasuk soal hidup kamu.”
Raina: (tertegun. Bahunya menegang. Air mata langsung menggenang di pelupuk matanya.)
Hening. Semua pelayan kini membeku, tak berani menatap. Seseorang menjatuhkan sendok, buru-buru memungutnya. Selebihnya hanya keheningan yang mencekam.
Raina mengangkat wajahnya. Air mata menetes satu-satu, tapi suara dan sorot matanya tidak lagi lemah.
Raina: (pelan, tapi menghantam)
“Jadi...
Di matamu, semua yang pernah kita jalani—semua tawa, semua pelukan, semua malam kita berbagi rahasia...
hanya sebatas pasal-pasal di atas kertas kontrak?”
Aditya terdiam. Mulutnya setengah terbuka, tapi tak ada jawaban.
Raina: (air matanya mengalir, tapi tak ada suara isak. Ini air mata luka dalam.)
“Aku menyesal, ____sudah jatuh hati dan terluka Karenamu,!!!
Tapi kamu...
kamu melihat aku hanya sebagai sesuatu yang bisa kamu atur.
Seolah aku ini benda, bukan manusia yang juga punya hati.”
Pelayan di dekat dinding pura-pura sibuk memoles vas, tapi tangannya gemetar.
Raina: (menatap Aditya lurus, gemetar tapi mantap)
“Aku juga manusia mas, aku juga punya hati.”
Aditya: (berusaha mengendalikan nada, tapi tersengal)
“Raina, aku... —”
Raina: (memotong, satu kalimat yang tajam dan dingin)
“Kamu cuma ingin aku diam. Menurut. Tanpa bertanya.”
Raina: (suara pelan, hampir seperti bisikan tapi menghujam dada)
“Aku tidak akan pergi... belum.
Tapi aku juga tidak akan tinggal dengan cara yang kamu inginkan.”
Ia menoleh, melangkah perlahan meninggalkan meja makan. Setiap langkahnya sunyi, tapi terasa seperti retakan demi retakan di lantai rumah tangga mereka.
Aditya hanya bisa berdiri, diam di tempat.
Untuk pertama kalinya, ia kalah bukan karena dibantah—tapi karena ditinggalkan secara batin oleh perempuan yang dulunya selalu memilih diam demi damai.
Note:
Cinta bukan soal siapa yang lebih berkuasa,
tapi siapa yang paling berani kehilangan egonya.