Aku Raima Nur Fazluna, gadis yang baru saja menginjak usia 21 tahun. Menikah muda dengan Sahabat Kakakku sendiri yang sudah tertarik sejak awal pertemuan kita.
Namanya Furqan Hasbi, laki-laki yang usianya berbeda 5 tahun di atasku. Dia laki-laki yang sudah menyimpan perasaannya sejak masa sekolah dan berjanji pada dirinya sendiri akan menikahiku suatu saat nanti ketika dirinya sudah siap dan diantara kita belum ada yang menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Sepulangnya dari toko buku,
Bang Daffa sudah berada di Rumah saat ini. Dia menatap sinis melihatku yang baru saja turun dari angkutan umum.
"Kenapa Bang?" tanyaku heran.
"Abis darimana kamu?"
"Abis dari toko buku, kan tadi udah izin sama Mamah," jawabku, "kenapa gitu?" balik bertanya.
"Bukannya ketemu sama Septian?" celetuk Bang Daffa. Mataku membulat mendengarnya.
Aku mengangguk mengiyakan, "tapi itu gak sengaja."
Bang Daffa terlihat kesal sekarang. Dia menggusar rambutnya kasar, membuatku terheran-heran dengan tingkahnya.
"Abang kenapa sih?" tanyaku penasaran, "terus kok bisa tau aku ketemu Septian?"
"Abang cuman mau bilang kalau Furqan udah berangkat lagi ke Riau," ujar Bang Daffa.
Aku terkejut mendengarnya, "kok bisa?"
"Ya bisa, dia mutusin itu setelah liat kamu ketemu sama Septian," jawab Bang Daffa sembari masuk ke dalam rumah.
Aku segera menyusulnya masuk, "tapi Bang itu cuman salah paham. Lagian aku gak ada perasaan lagi sama Septian."
"Abang gak mau ikut campur tentang urusan kalian," ujar Bang Daffa.
Aku duduk di sampingnya pada sofa ruang tengah. Menatapnya dengan mata yang mulai memerah karena takut salah paham.
"Bang bantu jelasin sama Kak Furqan," pintaku dengan menggoyangkan lengan kaosnya.
Bang Daffa menoleh padaku, "abang gak bisa bantu tapi kamu harus selesaikan berdua sama dia."
"Jelasin sama Furqan kalau yang dia liat itu cuman salah paham," sambung Bang Daffa, "coba nanti hubungi dia!"
Aku mengangguk lalu masuk ke kamar setelahnya. Benar-benar bingung untuk menjelaskannya mulai darimana.
Aku mulai menangis setelah menunggu kabar darinya yang tidak kunjung ada. Dia sama sekali tidak memberikan kabar akan berangkat siang itu. bahkan mengirim pesan singkat pun tidak.
Malam harinya,
Aku merasa dia pasti sudah sampai di sana. Mulai mengetik bertanya tentang kabarnya, tapi rasanya terlalu ragu dan takut.
"Kak Furqan," hanya pesan singkat itu yang terkirim.
Setelah melihat nomornya tercentang 1, aku tidak lagi berniat untuk mengirimkan pesan berikutnya.
Hingga pagi berikutnya, berulang kali aku melihat kontak Kak Furqan itu tetap tidak terbaca.
2 hari bahkan sudah berlalu, semua media sosial Kak Furqan bahkan terlihat tidak pernah aktif sedikit pun. Aku mulai khawatir dengan keadaannya.
Apa Kak Furqan kecewa banget sama Nur?
Pertanyaan itu sudah berputar cepat di kepalaku. Bingung, kalut, dan khawatir menjadi satu saat ini.
Bang Daffa kembali bertanya, apakah aku sudah mendapatkan kabar dari sahabatnya. Aku hanya menggelengkan kepalaku dengan wajah yang tidak bersemangat.
Bahkan setelah masalah itu, aku sama sekali tidak bersemangat untuk melanjutkan menulis naskah cerita.
Aku memeriksa tabunganku, berniat untuk menyusul Kak Furqan, melihat keadaannya secara langsung mungkin bisa memperbaiki hubungan kita berdua yang belum lama ini terjalin.
Hari ini,
Bang Daffa dan Kak Asya kembali tinggal di Rumahku. Mabuk kehamilan Kak Asya pun sudah sangat jarang di bulan ke-3 nya ini.
Aku ikut duduk bersama di kursi meja makan sebelum sarapan. "Bang, kalau Nur nyusul Kak Furqan ke Riau gimana?" tanyaku.
Bang Furqan tersedak kopinya, "serius kamu mau nyusul dia?" balik tanya Bang Daffa.
Aku mengangguk mengiyakan dengan cepat. Mamah yang mendengarnya bahkan masih bingung sembari menatapku.
Aku menggenggam tangan Mamah meminta restu, "mah izinin ya!" pintaku memohon.
"Yaudah Mamah izinin, tapi kamu harus pulang lagi sebelum Bapak kamu pulang dari Palembang," syarat dari Mamah.
"Emangnya Bapak pulang kapan?" tanyaku.
"Minggu depan," jawabnya.
Aku setuju dengan syarat dari Mamah, Bang Daffa juga membantuku untuk memesan tiket pesawat dan menanyakan alamat rumah atau kantor Kak Furqan pada Ibunya.
Kak Furqan masih belum mengabari hingga saat ini. Bahkan sebelum aku pergi Bang Daffa berpesan, "kalau nanti kamu kecewa, pulang aja ya!" Seakan sudah tau akan terjadi apa setelah ini.
± 2 Jam Perjalanan,
Aku sudah berada di perjalanan ke Kantor Kak Furqan karena ini hari kerja.
"Pak ini masih jauh kantornya?" tanyaku pada sopir taksi.
"Sebentar lagi kok Mbak," jawabnya.
Sesampainya di sana, aku segera masuk dan bertanya pada seorang staff resepsionis di lobi.
"Permisi!"
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mau ketemu sama Furqan Hasbi ada?" tanyaku cukup ragu.
"Ada, sebentar saya hubungi dulu ya!" Aku mengangguk mengiyakan.
"Mari saya antar ke atas Dek!" ucapnya setelah menghubungi Kak Furqan.
Aku mengikutinya, berjalan ke ruangan tempat bekerja Kak Furqan. Banyak pasang mata yang melirikku dengan sinis.
"Apa baju aku terlalu kuno ya?" batinku sembari melihat gamis yang aku pakai.
"Adek masuk aja! terus nanti tinggal cari meja atas nama Furqan ya!" ucap staff resepsionis-nya.
Aku dengan kebingungan hanya berdiri di ambang pintu ruangan itu. Terlihat orang-orang di dalamnya sedang sibuk.
Seorang laki-laki yang sadar aku kebingungan menghampiriku untuk bertanya. "Adek mau cari siapa?" tanyanya.
"Saya cari Kak Furqan? Ada?" tanyaku beruntun.
"Oh Furqan-nya lagi di pantry. Yuk saya anter aja!" ajaknya bersedia.
Aku mengikuti langkahnya masuk ke dalam ruangan itu.
"Oh iya saya Alex, temennya Furqan. Kamu...." ucapnya bingung.
"Saya Nur," jawabku singkat dengan senyuman.
Kak Furqan sedang membawa kopinya menuju meja kerja tapi kopi panasnya itu tertabrak oleh rekan kerja wanitanya.
"Aw.." teriak bella tangannya panas terciprat air kopi.
"Maaf Bel," ucap Kak Furqan.
Aku dan Kak Alex baru saja sampai, sebelum menyapanya ternyata kejadian itu sudah terjadi.
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kalau laki-laki itu sedang meniup tangan Bella dengan lembut.
"Furqan," panggil Alex membuatnya langsung melepaskan tangan Bella begitu saja.
"Ada apa Lex?" tanya Kak Furqan.
"Ada yang nyari kamu," tunjuk Kak Alex pada belakang tubuhnya.
"Hantu maksud Lo?"
Alex memutar tubuhnya, dia kebingungan kemana aku pergi.
"Tadi ada di sini loh dia," ujar Alex.
"Siapa namanya?" tanya Kak Furqan.
Alex mengingat namaku cukup lama, "Nur kalau gak salah."
Mata Kak Furqan langsung terkejut, dia berlari begitu saja meninggalkan Alex dan Bella yang meringis sejak tadi.
"Siapa Furqan dia Lex?" tanya Bella dengan tatapan kesalnya.
Alex hanya mengangkat kedua bahunya, "mungkin pacarnya."
Bella mendelik sinis pada Alex mendengar ucapannya. Wanita itu langsung pergi sembari menggerutu, "sia-sia dong gw terluka kayak gini."
Kak Furqan bahkan keluar dari perusahaannya mencari. Tapi aku sudah pergi entah kemana tujuanku sekarang.
Aku hanya ingin menenangkan pikiranku yang sejak tadi terus memutar kejadian yang aku lihat.
Sopir taksi itu melirikku dari kaca depannya, "Dek, kalau Bapak boleh tau, kamu kenapa?" tanyanya.
"Saya gak apa-apa kok Pak!"
"Sekarang tujuannya mau kemana?" tanyanya.
"Tolong antar saya ke bandara aja ya Pak!" pintaku dianggukinya.
Kak Furqan mulai menghubungiku. Dia beberapa kali menelepon bahkan mengirimkan banyak pesan singkatnya.
Setelah sampai di bandara, aku mematikan ponsel dan segera membeli tiket untuk keberangkatan paling cepat kembali ke Jakarta.
Sepanjang perjalanan, aku masih menangisi kejadian itu. Mengingat perkataan Bang Daffa sebelum berangkat tadi pagi.
Aku bingung harus bagaimana, malam ini aku menginap di salah satu hotel terdekat dengan bandara di Jakarta.
Enggan pulang karena pasti banyak pertanyaan yang akan dilontarkan dari Mamah ataupun Bang Daffa.
Aku bahkan membuang kartu perdanaku, terus mematikan ponselku hingga besok pagi.
Jam 10 pagi, Jakarta.
Aku baru terbangun dengan mata yang sudah sembab karena menangis semalaman. "Kalau dari awal aku gak buka hati buat Kak Furqan gak bakal sesakit ini ngeliat dia lagi pegangan tangan sama cewek lain."
Kepalaku mulai pusing, bingung dan tidak bersemangat sama sekali. Bahkan untuk perjalanan jauh kembali ke Rumah.
Aku mulai mengumpulkan energiku untuk pulang. Sepanjang perjalanan itu aku hanya melamun memikirkan bagaimana ke depannya.
Jam 5 sore,
Aku baru saja turun dari mobil online yang aku pesan. Aku langsung masuk begitu saja ke dalam rumah.
Bang Daffa dan Kak Asya bahkan heran melihatku langsung mengunci pintu kamar.
toktoktok...
"Nur," panggilnya.
Bang Daffa mendengar isakan tangisku. Dia langsung mengurungkan niatnya untuk bertanya sekarang.
merinding jadinya
jangan sampai thor kasihan si ica