Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Setelah perbincangan yang penuh kejujuran itu, Grilyanto menggenggam tangan Sri dengan erat.
“Sri, aku ingin kamu dan Heri ikut aku ke Magelang. Aku ingin memperkenalkan kalian pada ibuku dan keluargaku.”
Sri menatap wajah Grilyanto, melihat ketulusan yang tak terbantahkan. Hatinya bergetar campur aduk antara harap dan cemas, tapi dia tahu ini adalah langkah yang tepat.
Beberapa hari kemudian, mereka mulai mempersiapkan perjalanan. Heri dengan tas kecilnya, dan Sri dengan senyum yang mulai mengembang.
Dalam perjalanan menuju Magelang, Grilyanto terus berbicara lembut pada Sri dan Heri, memastikan mereka merasa nyaman dan diterima.
Setibanya di rumah keluarga Grilyanto, suasana penuh haru dan kehangatan menyambut mereka. Ibu Grilyanto tersenyum bahagia melihat Sri dan Heri bersama anaknya.
“Selamat datang, Sri. Selamat datang, Heri,” ucap ibu dengan suara penuh kasih.
Grilyanto merasakan beban di hatinya perlahan menghilang, digantikan oleh harapan baru yang menguat.
Suasana rumah keluarga Grilyanto di Magelang tampak hangat dengan kehadiran tamu baru.
Namun, di balik senyum ramah ibu dan beberapa saudara, ada keraguan yang tersimpan.
Saat Sri dan Heri diperkenalkan satu per satu kepada keluarga besar, beberapa wajah menampakkan ekspresi berbeda, ada yang menyambut dengan hangat, tapi tak sedikit yang terlihat ragu dan berbisik pelan.
Setelah perkenalan selesai, ibu Grilyanto memanggil Grilyanto ke samping.
“Gril, ibu harus jujur padamu,” suara ibu terdengar berat.
“Keluarga kita sulit menerima kalau kamu menikah dengan seorang janda, apalagi membawa anak.”
Grilyanto menunduk, hatinya terasa perih mendengar kata-kata itu.
“Ibu, aku mencintai Sri dan Heri. Mereka adalah keluargaku sekarang.”
Ibu menatap putranya dengan mata berkaca-kaca.
“Ibu tahu, Nak. Tapi keluarga besar butuh waktu untuk menerima semua ini.”
Grilyanto menghela napas dalam-dalam.
“Aku akan berusaha, Bu. Aku tidak akan meninggalkan mereka.”
Di sudut ruangan, Sri berdiri dengan kepala tertunduk, mencoba menyembunyikan perasaannya.
Heri menggenggam tangan ibunya erat-erat, merasakan ketegangan yang belum bisa mereka pahami sepenuhnya.
Setelah beberapa hari di Magelang, suasana mulai terasa berat bagi Sri dan Grilyanto.
Penolakan keluarga besar terhadap Sri sebagai seorang janda dan Heri sebagai anaknya membuat hati mereka gundah.
Suatu sore, Grilyanto mengajak Sri duduk bersama di beranda rumah. Ia menggenggam tangan Sri dengan lembut.
“Sri, aku tahu ini sulit untuk kita semua. Aku tidak ingin kamu atau Heri merasa tersakiti terus di sini.”
Sri menatap mata Grilyanto, air mata mulai menggenang.
“Aku juga ingin kita diterima, Gril. Tapi aku tahu itu butuh waktu.”
Grilyanto menarik napas panjang, kemudian berkata tegas,
“Untuk sekarang, ayo kita pulang ke Surabaya dulu. Aku ingin kita mulai membangun hidup baru di sana, jauh dari tekanan ini.”
Sri mengangguk pelan, hatinya sedikit lega mendengar keputusan itu.
Keesokan harinya, mereka berkemas untuk kembali ke Surabaya, membawa harapan baru dan semangat untuk menghadapi tantangan bersama.
Beberapa minggu setelah kembali ke Surabaya, Grilyanto memutuskan untuk bertamu ke rumah Sri dengan niat yang tulus dan hati yang penuh harapan.
Dengan membawa sekeranjang bunga dan beberapa buah tangan, ia melangkah mantap menuju pintu rumah Sri.
Sri membuka pintu, sedikit terkejut tapi tersenyum hangat melihat kedatangan Grilyanto.
“Mas Gril, ada apa?” tanya Sri dengan suara lembut.
Grilyanto menghela napas, lalu berkata,
“Sri, aku datang bukan hanya untuk bertemu, tapi juga untuk meminta sesuatu yang sangat penting.”
Ia mengeluarkan sebuket bunga mawar merah dan menatap mata Sri dengan tulus.
“Aku ingin menikah denganmu. Aku ingin kita membangun keluarga bersama, bukan hanya aku dan kamu, tapi juga dengan Heri.”
Sri terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Setelah beberapa saat, ia mengangguk perlahan, penuh haru.
“Aku juga ingin itu, Gril.”
Grilyanto tersenyum lebar dan menggenggam tangan Sri erat.
“Terima kasih, Sri. Aku janji akan selalu menjagamu dan Heri.”
Malam itu, harapan baru mulai terbit, dan perjalanan cinta mereka semakin kuat dengan restu dan keikhlasan.
Hari pernikahan pun tiba. Meski sederhana, suasana di rumah kecil di Ngagel, Surabaya, dipenuhi dengan kehangatan dan kebahagiaan.
Beberapa kerabat dekat dan sahabat yang telah mengenal perjalanan mereka hadir, memberikan doa dan senyum tulus.
Sri mengenakan kebaya tradisional yang sederhana namun anggun, sementara Grilyanto memakai batik khas Jawa dengan rapi.
Acara berjalan khidmat dengan doa bersama, diiringi suara gamelan kecil yang mengalun lembut.
Heri, anak Sri, berdiri di samping mereka dengan wajah penuh rasa ingin tahu dan bahagia.
Setelah prosesi selesai, mereka saling bertukar janji dan ciuman hangat, menandai awal baru sebagai keluarga utuh.
Meski perjalanan penuh liku, hari itu menjadi bukti bahwa cinta dan ketulusan bisa mengalahkan segala rintangan.
Suasana di halaman rumah Ngagel terasa hangat dan penuh suka cita.
Lampu-lampu gantung sederhana berkelap-kelip, menemani tawa dan percakapan para tamu.
Grilyanto berdiri di samping Sri, keduanya tersenyum bahagia.
“Terima kasih sudah datang, teman-teman semua. Doa restu kalian sangat berarti bagi kami.” ucap Grilyanto
“Kami sangat bersyukur atas kehadiran dan dukungan kalian. Semoga kebahagiaan ini terus berlanjut.”
Heri, yang duduk di pangkuan Sri, melambai malu-malu ke arah tamu yang mengenalnya.
Seorang tetangga tersenyum dan berkata,
“Pernikahan sederhana tapi penuh kehangatan. Semoga keluarga kecil ini selalu diberkahi.”
Tawa kecil mengisi udara, dan aroma masakan tradisional tercium menggiurkan dari dapur.
Malam itu, bukan kemewahan yang menjadi sorotan, melainkan kehangatan cinta dan kebersamaan yang tulus.
Grilyanto tersenyum lembut dan mengangguk, "Baik, Sri. Aku akan menemanimu."
Mereka melangkah masuk ke kamar pengantin sederhana itu, suasana penuh kehangatan dan harapan baru menyelimuti mereka setelah perjalanan panjang yang penuh liku.
Heri tetap bersama Sri, merasa nyaman bersama ibunya, sementara Grilyanto mulai merasakan babak baru dalam hidupnya bersama keluarga barunya.
Grilyanto mendapatkan kabar gembira dari kantor, bahwa ia mendapat cuti selama beberapa hari.
Tanpa menunggu lama, ia mengajak Sri untuk mencari rumah kontrakan yang akan menjadi tempat tinggal mereka setelah menikah.
“Mari, Sri. Kita cari rumah yang nyaman untuk kita dan Heri,” ajak Grilyanto penuh semangat.
Sri tersenyum dan mengangguk, “Aku senang, Gril. Semoga kita bisa menemukan rumah yang cocok.”
Mereka berdua berjalan menyusuri beberapa gang dan lingkungan di Surabaya, menilai satu per satu rumah yang tersedia.
Grilyanto memperhatikan detail, sedangkan Sri membayangkan hangatnya kehidupan keluarga di sana.
Akhirnya, mereka menemukan sebuah rumah kecil dengan halaman mungil, cukup untuk Heri bermain dan untuk mereka membangun masa depan.
“Ini dia, Sri. Rumah yang pas buat kita,” kata Grilyanto.
Sri memandang dengan mata berbinar, “Aku setuju, Mas Gril. Ini rumah kita.”
Dengan hati penuh harap, mereka mulai merencanakan kehidupan baru sebagai keluarga kecil yang bahagia.