Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31 : Bagaimana luka parah itu bisa sembuh?
Lian Hua meletakkan piring di meja, lalu merogoh sakunya. Sebuah botol kecil berisi ramuan berwarna pekat ia angkat tinggi saat langkahnya mendekat ke sisi tempat tidur. Tatapannya menajam, suaranya dingin namun tenang.
"Kalau kau masih tidak mau menyentuh makanan, mungkin kau harus minum ramuan ini setiap pagi, siang, dan malam sebagai gantinya. Bagaimana, Yang Mulia?"
Wei Ming tertegun, wajahnya memerah karena emosi. Tangannya menunjuk ke arah Lian Hua dengan kasar. “Apa kau berniat mengancamku sekarang?”
Lian Hua mengangkat bahu seolah itu bukan hal besar. “Mungkin iya, mungkin tidak. Semuanya tergantung kau mau bekerja sama atau tidak. Ramuan sebelumnya tidak akan banyak berguna kalau kau tetap menolak makan dan hanya berbaring sepanjang hari. Itu sama saja membiarkan obat ini sia-sia di tubuhmu.”
Wei Ming mendengus keras, tatapannya penuh perlawanan. “Aku tidak akan pernah minum obatmu seolah itu waktu makan. Rasanya aku lebih cepat mati karena ramuanmu daripada karena penyakitku.”
Lian Hua memutar matanya dengan malas, jelas tidak terpengaruh oleh sikap keras kepala itu. Pandangannya kemudian beralih ke Xueli. “Biar aku saja yang mengurusnya.”
Xueli menatapnya terkejut. “Apa kau yakin?”
“Ya,” jawab Lian Hua singkat. “Lagipula aku tidak nyaman kalau terlalu banyak orang.”
Xueli terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk. Ia memberi isyarat pada pelayan dan para penjaga untuk keluar dari aula. Namun sebelum pergi, ia berpesan lembut, “Kalau butuh sesuatu, penjaga ada di luar. Panggil saja.”
Lian Hua mengangguk pelan sebagai tanda terima kasih. Saat pintu tertutup dan ruangan kembali sepi, Wei Ming mendengus dengan wajah masam. “Kata-katamu seolah aku ini anak kecil yang tidak bisa diatur.”
Lian Hua menoleh, bibirnya melengkung tipis. “Kau benar. Itulah kenyataannya.”
Wei Ming menggeram, lalu meraih bantal di sampingnya dan melemparkannya tepat ke arah Lian Hua. “Kau benar-benar gadis yang tidak punya sopan santun!” hardiknya.
Namun Lian Hua hanya mengangguk ringan, seolah tuduhan itu bukan sesuatu yang baru. “Benar. Aku memang tidak punya sopan santun.” jawabnya datar.
Sikap tenang itu justru membuat darah Wei Ming semakin mendidih. Tangannya mengepal di atas selimut, seolah menahan diri untuk tidak melempar lebih banyak benda ke arahnya.
Di sisi lain, malam semakin larut ketika Yi Chen baru tiba di kediamannya. Tandu berhenti di depan tugu batu, dan ia turun dengan wajah muram. Qian Bo, pengawal setianya, segera menyambut dengan langkah tergesa. Matanya menoleh ke arah tandu yang kosong, rautnya penuh tanda tanya.
“Yang Mulia… wanita itu, di mana?” tanyanya hati-hati, enggan menyebut nama.
Yi Chen tidak menjawab. Hanya diam, langkahnya berat, seolah enggan membicarakan hal itu. Bo Qiang yang turun setelahnya menenteng sebuah kotak kayu. “Kotak ini mau ditaruh di mana, Yang Mulia?” tanyanya.
“Letakkan di kamarku,” jawab Yi Chen singkat tanpa menoleh. Pandangannya beralih ke Qian Bo. “Tabib sudah datang hari ini untuk memeriksa Wei Jie?”
Qian Bo menggeleng cepat. “Tidak ada satu pun tabib istana yang dipanggil. Dan… Bibi Ya Ting juga berkata kalau tidak ada lagi yang perlu diperiksa. Kondisi Wei Jie sudah membaik dengan sendirinya.”
Langkah Yi Chen terhenti, keningnya berkerut dalam. “Membaik?” suaranya merendah, sarat keterkejutan. “Belum ada seminggu, bahkan belum sebulan… bagaimana mungkin luka parah di matanya bisa sembuh begitu saja?”
Qian Bo menelan ludah, lalu menjawab pelan. “Saya juga tidak tahu, Yang Mulia. Tapi begitulah yang dilaporkan. Bengkak dan sakit di matanya sudah hilang.”
Mata Yi Chen berkilat curiga. Ia menghela napas dalam, lalu bertanya, “Bibi Ya Ting ada di mana?”
“Di belakang paviliun, sedang menyiapkan sarapan bersama para pelayan,” jawab Qian Bo.
Tanpa menunggu lebih lama, Yi Chen langsung berbalik dan melangkah cepat meninggalkan mereka, bayangan tubuhnya menghilang ke arah paviliun dalam cahaya lampu minyak yang bergoyang diterpa angin malam.
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂