"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Dimana Jessy?
"Fik, kamu sudah pulang?"
Langkah kaki Fika terhenti saat ia bertemu dengan Justin di sebuah mall. Ia baru saja menyelesaikan aktivitas belanjanya.
"Eh, Justin. Kamu sedang apa di sini?" tanya Fika.
"Aku nemenin Mommy belanja. Masih pilih-pilih tas di dalam," kata Justin sembari menolehkan wajahnya ke arah toko barang mewah yang ada di depannya.
"Oh ...." Fika mangguk-mangguk. Ia tahu Justin anak yang sangat penyayang terhadap ibunya.
"Kamu pulang kapan? Jessy mana?" tanya Justin.
Seketika Fika tertegun. "Aku pulang seminggu yang lalu. Jessy juga sudah pulang. Memangnya kamu belum bertemu dia?"
Fika merasa terkejut Justin menanyakan Jessy. Ia kira Justin pasti dikabari terus oleh temannya itu.
Justin menggeleng. "Sudah seminggu lebih dia tidak bisa aku hubungi. Dia juga tidak mengirimkan pesan apapun," katanya dengan ekspresi wajah murung.
Fika jadi bingung sendiri. Setahu dirinya, Jessy pulang sehari lebih cepat dari dirinya.
"Eum, dia sempat kecopetan memang di London, Justin. Nomor dan ponselnya juga sudah ganti pakai ponsel lamaku. Sepertinya nomormu tidak tersimpan jadi, mungkin Jessy bingung mau menghubungimu," kata Fika.
"Kalau tidak tahu nomorku kan bisa tanya kamu," bantah Justin.
"Iya juga, ya!" Fika menggaruk kepalanya sendiri karena bingung.
"Ah, iya. Dia bilang selama liburan mau pergi ke kampung halaman mamanya karena ada urusan penting," imbuh Fika.
"Memangnya Fika masih punya saudara selain keluarga Rindi?"
Fika berpikir sejenak. Ia memang tidak pernah mendengar Jessy bercerita tentang saudaranya yang lain. "Mingkin juga masih punya, aku tidak begitu tahu. Kamu kan pacarnya, seharusnya lebih banyak tahu tentang Jessy."
Justin merasa bersedih tidak bisa bertemu Jessy. Ia berharap selama liburan bisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan pacarnya itu. Kenyataannya, ia sama sekali tidak bisa bertemu Jessy. Bahkan ia sudah bolak-balik ke tempat kos Jessy, pemiliknya bilang jika Jessy belum kembali.
"Berikan aku nomor Jessy yang baru," pinta Justin.
"Ah, iya." Fika membuka ponselnya dan mengirimkan nomor baru Jessy kepada Justin.
"Kalau kamu mau menghubungi Jessy, lewat aplikasi chat saja," kata Fika.
"Terima kasih," kata Justin seraya menyimpan nomor baru yang diperolehnya.
"Loh, ini Fika, ya?"
Ibu Magda berjalan keluar dari toko menenteng dua paper bag dari toko yang baru saja dikunjunginya. Ia penasaran melihat putranya tengah berbicara dengan seorang wanita. Sengaja ia dekati ternyata wanita itu adalah salah satu mahasiswanya.
"Selamat siang, Bu," sapa Fika dengan sopan.
"Kamu dari mana, Fika?" tanya Bu Magda.
"Belanja bulanan seperti biasa, Bu. Kalau Anda sendiri?" tanya Fika balik.
"Ah, ini. Baru saja membeli tas untuk hadiah ulang tahun sepupu Justin. Dia meminta Ibu untuk memilihkan hadiah," jawab Bu Magda.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Bu. Mau langsung pulang," pamit Fika.
"Kamu tidak sekalian mau makan siang dengan kami?" tanya Bu Magda.
"Terima kasih, Bu. Mungkin lain waktu. Setelah ini saya juga ada janji dengan teman." Fika berusaha menolak dengan halus.
"Justin, aku pulang dulu, ya," pamit Fika. Ia mempercepat langkah saat berhasil menjauh dari Justin dan ibunya. Meskipun Bu Magda tidak galak, namun bertemu dosen di luar perkuliahan selalu membuat perasaan menjadi was-was.
"Fika itu pacar kamu?" tanya Bu Magda secara tiba-tiba.
Justin menghela napas. "Kenapa setiap orang yang dekat dengan Justin selalu Mommy curigai sebagai pacar? Nanti kalau aku dekat dengan cowok Mommy bakalan anggap aku penyuka sesama jenis?" protesnya.
"Ya, ini kan Mommy kamu sendiri. Masa tidak boleh tahu kehidupan percintaan putranya sendiri?"
"Kalau sekedar ingin tahu itu boleh, Mom. Tapi, kalau sampai ikut campur, itu sangat menyebalkan!" Justin menahan kekesalannya setiap ibunya berusaha menggali tentang hubungan percintaannya.
"Kapan Mommy ikut campur? Mommy tidak pernah melakukan apapun."
"Tapi Mommy sering mengingatkan Justin untuk memilih pacar dari kalangan yang sepadan dengan kita."
"Apa itu salah? Perbedaan strata sosial itu sangat sulit dijalani. Keluarga besar pasti akan banyak yang menentang. Jadi, dari pada kamu sakit hati, lebih baik jangan main hati dengan sembarang wanita."
"Memangnya siapa yang bisa mengatur dengan siapa kita akan jatuh cinta, Mom?"
"Kalau kamu bicara seperti itu, Mommy jadi yakin kamu sedang menyembunyikan sesuatu," kata Bu Magda.
"Ah! Mommy!" kesal Justin. Ia merebut kantong belanja dari tangan ibunya dan membantu membawakannya. Justin sengaja berjalan di depan ibunya karena kesal.
realistis dunk