Key, gadis kota yang terpaksa pindah ke kampung halaman yang sudah lama ditinggalkan ayahnya. Hal itu disebabkan karena kebangkrutan, yang sedang menimpa bisnis keluarga.
Misteri demi misteri mulai bermunculan di sana. Termasuk kemampuannya yang mulai terasah ketika bertemu makhluk tak kasat mata. Bahkan rasa penasaran selalu membuatnya ingin membantu mereka. Terutama misteri tentang wanita berkebaya putih, yang ternyata berhubungan dengan masa lalu ayahnya.
Akankah dia bisa bertahan di desa tertinggal, yang jauh dari kehidupan dia sebelumnya? Dan apakah dia sanggup memecahkan misterinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kiya cahya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Petunjuk dari Bu Marni
Kami berjalan menuju ruang guru, melewati gerbang depan lagi. Berharap orangtuaku belum menunggu di sana.
"Key, kamu lihat apa ke gerbang? Nyari laki-laki yang mencurigakan lagi?" tanya Nisa mengagetkanku.
"Lhoh, iya ya. Kemana dia? Tadinya sih, aku liat gerbang cuma buat memastikan sudah dijemput atau belum. Tapi kamu malah ingetin aku."
"Memang, ciri-cirinya seperti apa? Mungkin aja aku kenal. Kan rumahku deket-deket sini."
"Orangnya sih gak terlalu tinggi, cuma masih terlihat cakeplah di usia matang. Maksudnya di usia setengah tua gitu." jawabku sedikit bercanda, supaya kami bisa lebih akrab.
"Waduh, kalau cakep aja inget." ucap Nisa sampai terbahak-bahak.
"Eh, bentar. Tadi aku sempet ambil foto dia kok. Niy fotonya." jawabku sambil menunjukkan foto di kamera hp.
"I..ini kan ayahnya Mbak Yuni."
"Kamu kenal? Atau pernah ketemu orangnya?"
"Aku pernah tau saat pengambilan raport. Dan ku tanya ke Mbak Yuni, katanya itu ayah tirinya. Cuma pas jawab gitu, mbak Yuni kliatan sedih kayaknya."
"Ayah tiri?"
"Iya, cuma dia gak crita apa-apa lagi."
Sesampainya di ruang guru, hanya Bu Marni yang duduk di kursinya. Kebetulan yang sangat kunantikan.
"Selamat siang, bu. Ini saya mau mengembalikan kunci. Trimakasih."
"Kamu sudah dijemput?" tanya Bu Marni.
"Belum bu, tapi kami sudah cukup bosan ada di sana sendirian. Sepi banget. Ibu belum mulai rapat?" tanyaku mulai basa basi.
"Belum, masih nunggu pak Kepala Sekolah yang masih harus kembali ke kantor polisi lagi untuk menyerahkan buku dan arsip Yuni."
"Oow, trus kenapa ibu sendirian di sini?" tanya Nisa mulai tertular virus kepo dariku.
"Saya masih belum percaya, Yuni yang kemarin ku ajak ngobrol di perpustakaan sudah pergi dengan cara seperti itu. Padahal sewaktu kecil, Yuni anak yang periang. Dulu dia sering main ke rumah ibu setiap pulang sekolah. Dia sudah seperti anakku sendiri."
"Jadi ibu mengenal dekat dengan keluarga Mbak Yuni?" tanyaku yang mulai kepo juga.
"Dulu Yuni dan keluarganya sangat bahagia, ayahnya pun pernah bekerja di sini. Sebagai guru matematika. Cuma beliau sudah meninggal karena kecelakaan, sepeda motornya masuk ke jurang."
"Trus kata Nisa, Mbak Yuni dan ibunya pindah rumah? Apa karena itu juga, bu?"
"Setelah ayahnya meninggal, setahun kemudian ibunya menikah lagi. Dengan laki-laki yang kebetulan ayah dari anak yang pernah meninggal juga di sini. Kalau gak salah namanya Ria. Mungkin kejadiannya sekitar sepuluh tahun yang lalu." cerita Bu Marni yang membuat kami tercengang.
Semakin yakin, kejadian hari ini ada hubungannya dengan ayah tirinya. Kami terus memancing dan berusaha membuat Bu Marni menceritakannya.
" Bu, maaf sebelumnya kalau kami lancang menanyakan lebih jauh. Tapi kami bener-bener butuh informasi itu. Sepertinya Mbak Yuni belum tenang." ucapku dengan menyerahkan rangkaian tulisan di bukuku.
"Maksudnya ini apa?" Bu Marni bertanya setelah membaca tulisan itu.
"Sepertinya itu ungkapan hati Mbak Yuni yang ditinggalkannya di novel kesukaannya di perpus. Maaf tadi kami cuma bermaksud mencari itu di sana."
"Sepertinya memang hubungan Yuni dan ayah tirinya kurang baik. Setiap hari, dia seperti enggan pulang. Waktunya lebih banyak dihabiskan di perpustakaan sebelum kami para guru pulang. Kemarin, hari terakhir aku bertemu dengannya. Setelah sempat aku mengikutinya sampai di aula. Tapi dia bilang tidak ingin ku antar pulang, karena ada hal yang harus diselesaikan katanya. Tapi tak kusangka, hal itu adalah kematiannya. Hikss....andai saja aku menunggunya "cerita Bu Marni yang membuat kami semua menangis.
"Sudah bu, tidak perlu disesali. Semua sudah terjadi. Berarti mungkin ini ada hubungannya dengan ayah tirinya. Boleh ibu menunjukkan rumahnya sekarang?" tanyaku memotong acara menangis bersama.