Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."
Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.
Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13: KERTAS PUTIH DAN PERTANYAAN YANG DIBISIKKAN LAUT
Kesendirian yang Menganga
Nirmala (Mala) duduk di sudut kamar tidurnya, jauh dari hiruk pikuk ruang tengah yang tadi dipenuhi tangisan Arka dan gambar sorban yang aneh. Hatinya terasa sakit, bukan sakit fisik, melainkan sakit karena merasa tidak dilihat.
Kenapa Bunda hanya fokus pada Arka dan gambar aneh itu?
Mala telah menyaksikan bagaimana Bunda Rina segera memeluk Arka, bagaimana Rina merespons ketenangan tiba-tiba Arka, dan bagaimana Bunda Rina menyimpan gambar aneh itu seolah itu adalah harta paling berharga di dunia. Malam itu, Mala merasa ia adalah satu-satunya anggota keluarga yang tidak memiliki koneksi ajaib, atau gema spiritual, dengan Ayahnya.
Luka intinya, rasa diabaikan dan kesunyian, menganga dalam diam.
Ia teringat janji Ayahnya yang ditujukan khusus untuk Arka, dan ia teringat bahwa ia pernah mendengar Bunda Rina membahas peluang Ayahnya tidak ditemukan, yang membuat ia semakin terpisah dari harapan.
Mala mengambil kertas putih polos dari kotak pensilnya. Ia tidak tahu alamat Ayahnya, tetapi ia harus bicara. Ia harus menyalurkan pertanyaan yang selama ini tertahan di hatinya.
Isi Surat Rahasia
Dengan tulisan tangan yang besar, tidak rapi, dan canggung khas anak lima tahun, ia mulai menulis surat rahasia untuk Ayahnya.
"Ayah," tulis Mala, "aku Mala."
Ia berhenti, menggigit ujung pensilnya. Pertanyaan yang sebenarnya, pertanyaan yang menyakitkan, ia tuliskan perlahan.
"Kenapa Ayah lama sekali?"
"Apakah Ayah tidak suka Mala?"
"Apakah Ayah lebih suka laut?"
Isi surat itu sederhana tetapi memilukan, mencerminkan puncak keraguan Mala terhadap cinta Ayahnya. Ia telah selesai. Ia melipat kertas itu menjadi dua dan menyembunyikannya di bawah bantalnya. Ia tidak ingin Bunda melihatnya, takut Bunda akan marah atau sedih.
Saat Mala menyembunyikan surat itu, Rina masuk ke kamar. Rina masih terlihat lelah setelah menolak tawaran uang dan menahan tekanan ibunya.
"Sayang, kenapa kamu di sini? Bunda hanya senang Arka sudah tenang tadi," kata Rina, suaranya dipenuhi rasa bersalah karena tahu ia mengabaikan putrinya.
Rina memeluk Mala. Tiba-tiba, ia merasakan sentuhan dingin aneh di punggungnya—sentuhan sekilas, seperti angin yang menerobos dari belakang, tetapi hanya terasa di punggung Rina, membuat merinding. Rina mengabaikannya. Ia mengira rasa dingin itu datang dari AC atau kelelahan.
Itu hanya kelelahan, Rina. Jangan berhalusinasi lagi, batin Rina, mencoba menenangkan dirinya, menolak mengakui bahwa rasa dingin itu adalah sentuhan sekilas Karomah/Divine Echo yang mengingatkannya bahwa ada yang tidak beres dengan perasaan putrinya.
Godaan untuk Melanggar Larangan
Ribuan kilometer jauhnya, di Pulau Sunyi, Bara berada di titik terendah fisiknya. Setelah Wali Allah menghilang, Bara kembali ke Cadas Sunyi. Ia telah mencoba mengaplikasikan Tawakal Murni, tetapi kelaparan ekstrem menyerang. Ia sudah dua hari tidak makan selain air dari Mata Air 'Bisikan'.
Perutnya perih. Tubuhnya gemetar. Ia mulai mempertanyakan nasihat Wali Allah di bab sebelumnya.
"Apakah Tawakal ini tidak masuk akal?" Bara bertanya ke laut. Ia berdiri di tepi pantai, melihat ombak datang dan pergi.
"Haruskah aku menyerah dan mencari pertolongan yang nyata, atau tetap di sini dan mati?" Rasa frustrasi dan lapar membuatnya mempertanyakan semua ikhtiar spiritualnya. Logika dunia kembali berteriak, menyuruhnya mencari makanan apa pun.
Bara berjalan menyusuri pantai. Ia menemukan sejenis buah berwarna kuning cerah, tergeletak di antara rumput laut. Buah itu terlihat montok dan menggiurkan, sangat kontras dengan lingkungan pantai yang tandus.
Bara memegang buah itu. Ia tergoda untuk memakannya meskipun ia tidak yakin itu aman. Ia tahu, di pulau tropis yang asing, buah berwarna cerah seringkali beracun. Melanggar larangan itu bisa berarti mengakhiri hidupnya, tetapi rasa lapar jauh lebih kuat daripada rasa takut mati.
Ia mengangkat buah itu ke mulutnya.
Tepat saat Bara akan menggigit buah yang mencurigakan itu, ia tiba-tiba mendengar suara air laut yang berbisik di telinganya. Bukan bisikan laut biasa yang membawa paranoia.
Suara itu sangat samar, tetapi memiliki ritme yang jelas. Suara itu menyerupai gema suara Mala yang kecil dan sedih.
"Apakah Ayah lebih suka laut?" bisik gema itu, memicu ingatan Bara pada Malamu di rumah.
Bara tersentak. Ia menjatuhkan buah itu ke pasir.
"Mala..." Bara bergumam. Suara itu begitu jelas, begitu memilukan.
Bara yakin, suara itu datang langsung dari Malamu. Itu adalah gema dari pertanyaan yang Mala tuliskan di suratnya.
Ujian Kelaparan yang Terhenti
Bara melihat ke buah yang ia jatuhkan. Ia menyadari betapa dekatnya ia dengan kematian jika ia melanggar Tawakal Murni dengan memakan buah yang mencurigakan itu. Ia teringat nasihat Wali Allah: Ujianmu di sini adalah untuk memurnikan keikhlasanmu, bukan untuk mencari kapal penyelamat.
Rasa lapar masih menyiksa, tetapi Bara kini memiliki benteng yang lebih kuat: koneksi spiritual dengan putrinya.
Ia memejamkan mata lagi. Ia berdoa untuk Mala, memohon agar putrinya tidak merasa sendirian dan agar lukanya disembuhkan. Ia memohon agar Mala tahu, ia adalah prioritas.
Tiba-tiba, bisikan gema itu kembali, tetapi kali ini dalam bentuk yang berbeda, seolah Bara yang berbicara pada Mala:
"Mengapa kamu menyembunyikannya?"
Bara terdiam. Suara itu terasa keluar dari dirinya, bukan dari laut, tetapi diyakini Bara sebagai pesan yang harus disampaikan kembali ke rumah.
Kertas Putih yang Tersembunyi
Di rumah, Mala sedang berbaring, mencoba tidur setelah menyembunyikan suratnya di bawah bantal.
Tiba-tiba, ia mendengar suara samar Ayahnya. Itu bukan suara fisik, tetapi suara batin yang sangat jelas.
"Mengapa kamu menyembunyikannya?"
Mala terlonjak. Ia menatap ke bawah bantalnya. Surat yang ia tulis, kertas putih itu, terasa panas dan seperti berdenyut di bawah kepalanya. Ia yakin Ayahnya tahu tentang surat itu.
Rina, yang sedang lewat di depan kamar, mendengar teriakan kecil Mala. Rina masuk dengan cemas.
"Mala, ada apa, Nak?"
"Ayah tahu," Mala berbisik, menunjuk ke bawah bantalnya. "Ayah bertanya kenapa aku menyembunyikannya."
Rina mendekat, tetapi ia tidak melihat apa-apa. "Ayah tahu apa, Sayang? Ayah masih jauh."
"Ayah... bertanya kenapa aku menyembunyikan sesuatu," Mala bersikeras.
Rina merasa merinding lagi, tetapi ia menahan diri untuk tidak panik. Ia memeluk Mala. "Tidak, Sayang. Itu hanya mimpi buruk."
Rina meyakinkan dirinya bahwa ia harus tetap waras. Ia tidak boleh membiarkan ketakutan akan halusinasi spiritual menguasai dirinya, seperti yang hampir terjadi di bab-bab sebelumnya.
"Ayo, tidur lagi. Ayah pasti baik-baik saja," kata Rina.
Di Pulau Sunyi, Bara menjatuhkan buah yang mencurigakan itu. Ia menyadari bahwa meski ia jauh, putrinya masih terhubung. Bisikan dari laut yang menyerupai suara Mala menyelamatkan hidupnya dan mengonfirmasi bahwa doanya untuk Mala masih didengar dan aktif.
Bara mengambil napas dalam-dalam. Ia kini tidak takut kelaparan, ia hanya takut jika Tawakal Murni-nya goyah. Ia kembali ke Cadas Sunyi, memejamkan mata, memfokuskan pikirannya untuk memohon kesembuhan dan ketenangan bagi Mala.
Di rumah, Mala memeluk bantalnya. Ia tahu Ayahnya mendengar pertanyaannya dan itu sudah cukup. Meskipun Rina tidak tahu, surat rahasia di bawah bantal kini menjadi jembatan spiritual terpenting bagi Mala dan Ayahnya.