Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.
Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.
Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.
Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:
“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”
Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.
Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 — Nyai Melati dan Sumpah Lama
Rendra meninggalkan rumah Dimas, langkahnya cepat dan waspada. Ia kini bergerak bukan hanya melawan ancaman di luar, tetapi juga melawan ancaman di dalam—kehadiran basah yang mengikuti, yang bisa menariknya ke Sumur Tua saat ia tertidur.
Hujan masih turun dengan warna keruh kemerahan yang tipis, namun membebani. Aroma besi di udara terasa semakin mencekik. Setelah hujan merah semalam, desa itu terasa semakin mati. Tidak ada seorang pun yang berani keluar dari rumah.
Rendra berjalan menuju gubuk Nyai Melati, yang terletak di perbatasan tebing. Ia harus mendapatkan jawaban segera, terutama mengenai dua hal yang Pak Darmo dan Rani sebutkan: film Ayahnya, dan penodaan ritual Laras.
Saat Rendra mendekat, ia melihat gubuk Nyai Melati tampak utuh, namun hening. Ia mendapati Nyai Melati duduk di teras, di antara botol-botol air hujan yang kini sebagian besar berisi cairan merah pucat. Nyai Melati tidak lagi kejang seperti saat Rendra meninggalkannya. Ia tampak tenang, kembali ke persona dukun desa yang penuh teka-teki, meskipun kini mata kirinya yang putih susu terbuka lebar, menatap lurus ke dalam tirai hujan.
“Aku tahu kau akan datang, Nak Rendra,” kata Nyai Melati, suaranya tenang, seolah ia hanya menunggu di tengah hari yang cerah. “Dia mengikutimu. Aku bisa merasakan dinginnya air yang menempel di punggungmu.”
Rendra duduk di bangku kayu yang sama di hadapan Nyai Melati. Ia langsung pada intinya.
“Dimas menghilang, Nyai. Pak Darmo kabur. Dan batu Sumur Tua sudah aku buka. Aku butuh kebenaran penuh. Bukan lagi legenda. Kenapa Yang Basah sangat marah? Rani bilang itu tentang penebusan dosa Ayahku.”
Nyai Melati mengangguk perlahan, mata kanannya menatap Rendra, sementara mata kirinya yang putih susu tetap terpaku pada hujan.
“Aku akan memberitahumu semua, Nak Rendra. Dengarkan baik-baik. Ini adalah Sumpah Lama yang mengikat desa ini dalam darah.”
Nyai Melati memajukan tubuhnya. Ia mulai bercerita dengan nada yang rendah dan dalam, seolah sedang membaca kitab kuno.
“Tiga puluh tahun lalu, kekeringan melanda desa ini. Tiga tahun tanpa setetes air. Sungai kering, sawah mati. Penduduk saling bunuh demi air minum. Kami, para penjaga tradisi, memutuskan bahwa satu-satunya cara menghentikannya adalah dengan Pengorbanan Suci. Kami harus mengorbankan Gadis Perawan yang baru menginjak usia dewasa, dari luar desa, yang belum terkontaminasi oleh kekeringan dan dosa kami.”
“Kami mendatangkan Laras. Gadis berusia 16 tahun dari desa seberang. Dia seorang yang berhati murni. Rencananya, ia akan dikorbankan, dikubur hidup-hidup di dasar sumur, agar jiwanya menjadi air yang tidak akan pernah kering.”
“Malam ritual itu tiba. Hujan sudah mengancam, seolah alam tahu pengorbanan itu akan terjadi. Laras telah diselimuti kain putih, siap diturunkan ke sumur. Tapi… saat itulah malapetaka terjadi.”
Nyai Melati terdiam. Ia meraih segenggam melati kering di sampingnya, meremasnya hingga hancur. Aroma manis yang kuat menyebar.
“Rombongan orang kota datang malam itu. Wartawan, peneliti urban legend. Mereka datang untuk mendokumentasikan keanehan desa yang berani melakukan ritual kuno. Ayahmu, Nak Rendra, adalah salah satu dari mereka. Dia datang sebagai fotografer yang mencari scoop besar.”
“Tetapi salah satu dari rombongan itu—bukan ayahmu, tapi salah satu rekannya—dia adalah pria yang tidak punya hati. Dia melihat Laras, melihat kesuciannya. Dia melihat keindahan tragisnya.”
Wajah Nyai Melati menunjukkan rasa jijik yang mendalam.
“Sebelum Laras diturunkan ke sumur, dalam kekacauan persiapan ritual di tengah malam, pria itu menyeret Laras ke sudut. Dia menodainya. Dia merusak kesuciannya. Dia menjadikan Pengorbanan Suci itu menjadi Pengorbanan yang Kotor.”
Rendra merasakan dingin yang menusuk. Ini adalah penodaan yang sesungguhnya. Penodaan spiritual yang merusak seluruh tujuan ritual.
“Saat Laras diturunkan ke sumur, dia tidak lagi murni. Jiwanya hancur. Tubuhnya kotor. Para tetua desa, dalam kepanikan mereka, tetap melanjutkan ritual. Mereka menguburnya hidup-hidup. Dan saat lumpur terakhir ditutup, hujan turun. Tapi itu bukan hujan anugerah. Itu adalah darah dan air mata kemarahan Laras.”
Nyai Melati menatap Rendra, matanya yang putih susu tampak memancarkan cahaya dingin di bawah langit yang muram.
“Yang Basah tidak marah karena kami mengambil nyawanya. Dia marah karena kami mengambil kesuciannya sebelum ia bisa menjadi tumbal yang benar. Ia tidak bisa beristirahat. Ia tidak bisa menjadi air yang memberi kehidupan. Ia hanya bisa menjadi air yang menuntut pembalasan.”
“Laras ingin yang menodainya ikut tenggelam. Dia ingin darah dari orang itu mencuci kotoran di jiwanya, dan di tanah ini. Tapi pria itu—rekan ayahmu—segera melarikan diri bersama rombongan setelah hujan datang.”
“Dan Ayahku?” tanya Rendra, suaranya parau.
“Ayahmu… dia menyaksikan penodaan itu. Dia memotretnya. Dia memotret wajah pria itu. Dia memotret kesedihan Laras. Film itu bukan hanya tentang ritual. Itu adalah bukti kejahatan yang menodai sumpah suci. Dia membawa film itu, membawa kebenaran yang bisa menenangkan Yang Basah. Tapi dia pengecut. Dia kabur, memilih hidup tenang di kota, meninggalkan kami untuk tenggelam dalam hujan darah selama tiga puluh tahun.”
Rendra merasakan kebencian yang dalam. Ayahnya tidak hanya lari dari pembantaian massal. Ayahnya lari dari kebenaran spiritual yang menciptakan kutukan ini.
“Rani tahu ini?”
“Ya. Dia membaca jurnal lama Ayahmu. Dia tahu tentang roll film yang disembunyikan. Dia tahu kau membawa sisa film itu ke sini.”
Nyai Melati mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya menjadi bisikan yang conspiratorial.
“Yang Basah membiarkanmu hidup, Rendra. Dia menarikmu keluar dari sumur. Dia menelanjangimu dan membuatmu basah kuyup di kamar terkunci. Dia menempelkan airnya padamu. Dia melakukan itu karena dia ingin kau kembali ke Sumur Tua dengan film itu.”
“Dia ingin film itu sebagai ganti dirinya. Dia ingin bukti itu untuk menenangkan jiwanya yang ternoda. Dia ingin kau menyingkap wajah pria yang menodainya di hadapan seluruh desa, di hadapan air. Hanya itu yang bisa menghentikan hujan ini.”
Rendra mengeluarkan tas kamera ayahnya. Ia merogoh ke dalam, mencari roll film lama yang ia temukan di rumah Rani.
“Aku punya filmnya, Nyai. Aku akan memberikannya. Tapi bagaimana dengan Dimas? Pak Darmo bilang Dimas masih bisa diselamatkan. Dia bilang Dimas akan dijadikan tumbal berikutnya.”
Wajah Nyai Melati berubah serius.
“Pak Darmo benar. Penduduk desa akan mengadakan Ritual Darah lagi. Mereka percaya, hujan ini semakin parah karena Yang Basah menuntut darah keturunan pelaku penodaan Laras. Tapi mereka salah. Yang Basah tidak mau darah Dimas. Dimas adalah anak dari korban penentang. Dimas adalah anak dari darah yang suci. Jika mereka mengorbankan Dimas, kemarahan Laras tidak akan lagi bisa dikendalikan.”
Nyai Melati berdiri. Ia berjalan ke tepi teras, menghadap hujan merah yang encer.
“Yang harus dikorbankan adalah darah keturunan pelaku pertama,” ujarnya, mengulang kata-kata dari ramalan.
Nyai Melati menoleh, mata kirinya yang putih susu memancarkan cahaya aneh, menatap Rendra dengan intens.
“Ayahmu adalah saksi mata kejahatan. Tapi dia lari. Rani mencoba menebus dosa itu. Dan kau… kau adalah keturunan dari kebohongan yang lari dari kebenaran. Kau adalah pewaris dosa Ayahmu. Kau adalah target Yang Basah.”
Ia kemudian mengucapkan kalimat yang membuat seluruh tubuh Rendra dingin.
“Tapi yang harus diwaspadai adalah pelaku penodaan. Pria itu… dia punya keturunan di luar desa. Dan mereka juga akan datang. Darah keturunan pelaku penodaan itulah yang akan menghentikan hujan. Bukan kau, Nak Rendra.”
Rendra merasakan kengerian yang baru. Ayahnya bukan pelaku. Rekannya adalah pelaku. Dan jika rekan Ayahnya punya anak…
“Siapa nama rekan Ayahku, Nyai? Siapa nama pria yang menodai Laras?”
Nyai Melati memejamkan mata, air mata merah mengalir di pipinya.
“Aku lupa namanya, Nak. Tapi aku melihatnya di mata kiriku semalam. Dia akan datang. Dia membawa foto lama.”
Nyai Melati membuka matanya lagi. “Sekarang, pergilah. Cari Dimas. Dia ada di Balai Desa. Mereka akan melakukan ritual malam ini. Dan jika mereka mengorbankan Dimas, desa ini akan tenggelam dalam air mata darah selamanya.”
Rendra berlari keluar, meninggalkan Nyai Melati yang kembali duduk, menatap hujan merah. Ia kini membawa beban yang lebih berat: film Ayahnya, dan pengetahuan bahwa ada pelaku sebenarnya di luar sana, yang akan membawa bencana yang lebih besar bagi Desa Waringin.