Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Di Dalam Mobil yang Sunyi
Aku menatap kartu akses parkir itu. Warnanya abu-abu tua, terasa dingin di bawah jemariku, seperti janji yang harus segera ditepati.
Di luar kamar, suara televisi di ruang tengah sudah mati. Sunyi. Aku menunggu hingga pukul 01:00 dini hari. Aku mendengar suara dengkuran halus dari kamar Kak Naira—sebuah kepastian bahwa dia sudah tertidur pulas, kelelahan setelah seharian di butik.
Tangan gemetar, aku meraih ponsel.
Aluna: 🔑
Hanya satu emoticon. Satu simbol yang membuka pintu menuju dunia terlarang.
Dalam hitungan detik, balasan Raka masuk.
Raka: Tunggu sepuluh menit. Pakai baju yang mudah bergerak. Basement P3. Jangan bawa apapun yang berbunyi.
Aku segera mengganti pakaian. Celana training hitam, kaus longgar, dan jaket hoodie. Aku terlihat seperti orang yang sedang menyelinap untuk jogging tengah malam, padahal aku sedang menyelinap untuk pengkhianatan.
Aku keluar kamar, berjalan perlahan melewati ruang tengah yang gelap. Aku mengambil kunci mobil yang Raka tinggalkan di laci sepatu. Jarak dari rumah Kak Naira ke kantor Raka hanya lima belas menit berkendara. Cukup aman, tapi sangat mematikan.
Saat aku membuka pintu garasi, udara malam yang dingin menyambutku. Aku masuk ke mobil, memasukkan kunci, dan menyalakan mesin. Cahaya mobil menerangi gang sepi, dan aku buru-buru melaju.
Pikiranku berteriak: Pulang! Putar balik! Tapi tanganku memegang kemudi dengan erat, menuju ke tujuan yang salah. Aku sudah melewati batas nalar.
Gedung kantor Raka menjulang tinggi, gelap, dan sunyi. Aku memasukkan kartu akses ke gerbang parkir.
Klik. Gerbang terbuka, dan aku masuk ke kegelapan.
Aku mengikuti petunjuk ke Lantai P3. Basement itu terasa dingin dan lembap, kosong kecuali beberapa mobil mewah yang diparkir. Lampu fluorescent memancarkan cahaya putih yang remang-remang, menciptakan bayangan panjang yang menyeramkan.
Di sudut paling gelap, aku melihat mobil SUV hitam yang kukenal. Di samping mobil itu, Raka berdiri.
Aku memarkir mobilku agak jauh, mematikan mesin, dan berjalan menuju SUV-nya.
Raka menungguku. Dia mengenakan kaus hitam dan celana training—pakaian yang sama intimnya dengan miliku.
"Kamu datang," bisiknya, suaranya mengandung nada kekaguman dan kepuasan.
"Aku takut, Mas," kataku jujur.
"Tidak apa-apa. Rasa takut itu yang membuatmu datang."
Dia membuka pintu mobil di sisi penumpang. Interior mobil itu gelap, jendelanya dilengkapi kaca film tebal.
"Masuk," perintahnya lembut, tapi mutlak. "Di sini tidak ada yang akan mendengar kita."
Aku masuk. Raka mengikuti dan menutup pintu.
Suara klik pintu yang tertutup itu terasa seperti suara penutup peti mati bagi kesetiaanku. Kegelapan di dalam mobil terasa pekat, hanya ada cahaya redup dari panel dasbor.
"Kenapa Mas Raka harus sampai seperti ini?" tanyaku, suaraku bergetar.
Raka tidak menjawab. Ia hanya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Jarak kami kini sangat sempit, hanya terhalang oleh console box di tengah.
"Aku lelah, Lun," bisiknya. "Aku lelah berpura-pura di rumah. Aku lelah dengan alibi. Di sini, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri."
Dia mengulurkan tangan dan menyentuh pipiku. Sentuhan pertamanya yang disengaja. Sentuhan yang bukan lagi sebuah kebetulan di tengah rutinitas. Jemarinya lembut, tapi membawa getaran listrik yang tak tertahankan.
Aku memejamkan mata. Aku tidak bisa memproses sentuhan ini.
"Kamu tahu, aku iri dengan kamu dan Naira," katanya, suaranya kini terdengar sangat dekat. "Kalian bisa tertawa bersama, kalian punya masa lalu yang sama. Aku hanya... pendatang."
"Mas Raka bukan pendatang," bantahku. "Mas Raka suaminya Kak Naira."
"Benar. Tapi aku ingin tahu apa yang dirasakan Naira saat dia berbagi rahasia denganmu."
Tiba-tiba, tangannya bergerak dari pipiku ke tengkukku, menarik kepalaku perlahan.
"Aku mau tahu," bisiknya, suaranya begitu dekat hingga napasnya menerpa bibirku. "Apakah kamu akan menyimpan rahasia kita ini seumur hidupmu?"
Pertanyaannya bukan lagi tentang emosi. Itu adalah pertanyaan tentang kepemilikan.
Rasa takutku terpecah, digantikan oleh gairah yang kuat.
"Aku... iya, Mas," jawabku, nyaris tidak bersuara.
Dan di tengah keheningan basement yang dingin, di dalam mobil yang gelap dan sunyi, Raka memiringkan kepalanya dan menciumku.
Ciuman itu lembut pada awalnya, hanya sentuhan, tapi kemudian menjadi mendesak. Aku tahu aku harus mendorongnya, aku harus menghentikannya, tapi sentuhan bibirnya terasa seperti pembenaran atas semua emosi terlarang yang kurasakan. Aku membalas ciumannya, menutup mata, membiarkan diriku tenggelam dalam kegelapan dan kehangatan yang ia tawarkan.
Itu adalah ciuman penuh rahasia, pengkhianatan, dan pelepasan. Dalam ciuman itu, aku mendengar suara pintu kamar Kak Naira terkunci, suara hujan yang menampar atap, dan janji terlarang di ruang tengah.
Raka melepaskan ciumannya, dahinya menyentuh dahiku. Napas kami sama-sama tersengal.
"Selamat datang, Aluna," bisiknya. "Selamat datang di ruang aman kita yang sesungguhnya."
Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya menatapnya, tahu bahwa aku baru saja melangkah melewati batas terakhir. Aku sudah mencium suami Kakakku.