 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Setelah cukup menenangkan hatinya, di pagi ini Aisy menatap koper kecil di sudut kamar, tangannya perlahan mulai menyentuh dan membukanya, dengan hati yang lepas. Tidak banyak barang yang dia bawa, karena ia tahu semua barang yang dimiliki merupakan pembelian dari Reyhan dan ibu mertuanya.
Bukannya Aisy tidak mau membawa kenangan itu, hanya saja wanita itu tidak mau terus berlarut dibayangi oleh masa lalunya.
Dengan senyum yang tulus wanita itu mulai nutup kopernya kembali. "Bismillah pagi ini aku sudah siap meninggalkan tempat yang sudah banyak menyimpan kenangan," ucap Aisy.
Sudah waktunya. Bukan untuk melarikan diri, tapi untuk melanjutkan hidup. Rumah ini telah menyaksikan banyak tangis dan doa yang tak pernah berhenti. Tapi hari ini, ia ingin rumah itu mengingat dirinya sebagai perempuan yang berhasil berdiri, bukan yang tersungkur.
Ia pergi bukan berarti kalah, namun kepergiannya merupakan simbol dari rasa cintanya, yang terlalu ikhlas meskipun di dalamnya dibungkus dengan pengkhianatan.
Langkah Aisy terdengar pelan sambil menggeret kopernya turun dari anakan tangga, Bi Jumi yang menyaksikan ini semua matanya tidak sanggup membendung cairan bening itu.
"Bu ... jangan tinggalkan aku," ucap wanita paruh baya itu dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.
Aisy tersenyum sambil memeluk tubuh ringkih itu. "Bi, jaga diri baik-baik ya, makasih banyak sudah selalu menemaniku," sahut Aisy.
Mereka pun saling berpelukan untuk yang terakhir kalinya, setelah itu Aisy mulai melepas pelukan itu senyumnya terlihat hangat seperti tidak membawa beban, langkahnya perlahan mulai keluar meninggalkan rumah yang sepuluh tahun ini tempatnya mencurahkan kasih dan sayang.
Udara luar terasa segar, matahari mulai meninggi. Ia menatap langit biru yang luas dan membiarkan cahaya itu memeluk wajahnya.
“Tuhan, aku nggak tahu apa rencanamu ke depan, tapi kali ini aku nggak akan menolak. Aku mau percaya kalau setiap luka… pasti ada tujuannya.”
Taksi yang ia pesan tadi sudah berhenti tepat dihadapannya, Aisy langsung masuk ke dalam mobil tersebut, tubuhnya sedikit berbalik menatap rumah yang terbangun kokoh itu.
"Makasih banyak sudah menjadi cinta, luka dan sembuh," ucapnya pelan.
Supir taksi masih menunggu dengan setia, hingga penumpangnya itu benar-benar masuk dan sial untuk meninggalkan pelataran rumahnya.
"Pak, kita pergi ke pemakaman umum dulu ya," ujar Aisy.
Supir itu hanya mengangguk lalu melaju dengan kecepatan sedang. Beberapa menit kemudian mobil sudah berhenti di pemakaman umum tempat kedua orang tua Aisy di semayamkan.
"Bu, sudah sampai di pemakaman," ujar supir taksi itu.
Aisy segera keluar dan mulai memasuki area pemakaman, sudah hampir satu tahun ini ia belum kembali lagi ke makam orang tuanya, terakhir tahun lalu ia kesini masih ditemani oleh suaminya, tapi sekarang ia memilih untuk sendiri, bukan karena menyerah, tapi dia ingin berdiri sendiri demi kesembuhan hatinya.
"Assalamualaikum Ibu ... Ayah ...," ucapnya dengan salam.
Aisy mulai mengambil bunga untuk ditaburkan ke makam keduanya, setelah itu ia mengirimkan doa untuk kedua orang tuanya dengan khusyuk.
Aisy masih berjongkok di depan makam kedua orang tuanya. Hening, hanya suara angin yang sesekali membuat dedaunan gugur ke tanah basah. Wajahnya teduh, meski sorot matanya menyimpan kelelahan panjang yang mulai beralih menjadi ketenangan.
“Sudah tenang, kan, Bu... Yah? Aku juga mau belajar tenang seperti kalian,” ucapnya lirih. Suaranya nyaris tenggelam di antara keheningan suasana di pemakaman ini. Ia tersenyum samar, lalu menatap langit.
“Aku pergi dulu, ya... semoga langkahku kali ini benar.”
Dari arah berlawanan, langkah seorang pria mendekat perlahan. Sepatu hitamnya sedikit berdebu, dan di tangannya ada setangkai mawar putih. Pria itu berjalan tenang menuju makam lain di sisi barat. Aisy tidak menyadari kehadirannya hingga angin membawa aroma parfum lembut yang entah kenapa terasa familiar.
Aisy menoleh sekilas hanya sekilas. Ia melihat punggung seorang pria berjas sederhana, sedang menunduk di depan nisan dengan nama perempuan terukir di sana. Ia bisa melihat cara bahunya menegang sejenak, lalu jatuh pelan, seperti seseorang yang sedang mencoba menahan rindu yang terlalu dalam.
Entah kenapa, pemandangan itu membuat dadanya ikut bergetar.
Ia kembali menunduk ke makam orang tuanya. “Ternyata bukan cuma aku yang kehilangan, ya, Bu…,” gumamnya lirih.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang anehnya terasa menenangkan.
Saat Aisy berdiri dan hendak melangkah pergi, angin tiba-tiba berembus agak kencang, menerbangkan sehelai kertas doa kecil yang tadi ia pegang. Lembaran itu jatuh tepat di dekat kaki pria itu.
Refleks, pria itu menunduk, mengambilnya, lalu melangkah mendekat sambil berkata pelan. “Permisi… ini punya ...” Suara itu membuat Aisy menoleh.
Sekilas mata mereka saling bertemu.
Dan waktu seakan berhenti sejenak.
Ada sesuatu di sorot mata pria itu ketenangan, tapi juga luka yang samar.
Aisy hanya mampu menerima kertas itu dengan senyum kecil.
“Terima kasih.”
“Sama-sama,” balas pria itu, dengan nada hangat namun asing.
Mereka saling menatap sesaat sebelum akhirnya saling mengangguk, tanpa tahu bahwa pertemuan singkat itu akan membuka bab baru dalam hidup keduanya.
Pria itu berjalan menjauh ke arah gerbang pemakaman, sementara Aisy masih memandang punggungnya sampai sosok itu lenyap di balik pepohonan.
Entah kenapa, ada rasa aneh di dadanya bukan rindu, bukan juga takut. Mungkin... tanda bahwa hatinya benar-benar mulai hidup lagi.
Aisy menarik napas panjang, menatap makam orang tuanya sekali lagi.
“Bu, Ayah... mungkin ini awal yang baru, ya.”
Ia pun berbalik, melangkah pelan menuju gerbang. Dan di kejauhan, pria yang tadi berjalan terlebih dulu Kenny sempat menoleh sejenak, memperhatikan Aisy dari jauh, dengan tatapan yang seolah menyimpan sesuatu yang tak semestinya ia rasakan.
Aisy masuk, kedalam mobil taksi yang tadi sudah menunggunya. "Pak ayo jalan," ucapnya dengan sopan.
"Baik Bu, oh ya Ibu mau kemana ya?" tanya supir itu.
Aisy terdiam sejenak bahkan ia tidak tahu harus memulainya dari mana, namun di dalam hatinya ia mempunyai tekad yang kuat untuk memulainya dari awal lagi.
"Pak kalau boleh, ada gak kontrakan di dekat sini?" tanya Aisy.
Supir itu terdiam sejenak, seperti sedang berpikir. "Kayaknya ada tapi agak sedikit jauh dari makam ini, kira-kira 2 kilo meter," sahut supir itu.
"Ya sudah Pak antar saya secepatnya," pinta Aisy yang diangguki oleh supir itu.
Aisy bernafas lega untuk pertama kalinya akhirnya ia bisa keluar dengan ikhlas tanpa merasa dendam ataupun sakit lagi.
"Tuhan ... Ternyata berdamai jauh lebih baik dari pada terus berada di titik tidak terima," ucapnya dengan senyum yang ringan seringan langkahnya hari ini.
Bersambung ....
 
                     
                     
                    