Bagi Nadin, bekerja di perusahaan besar itu impian. Sampai dia sadar, bosnya ternyata anak tetangga sendiri! Marvin Alexander, dingin, perfeksionis, dan dulu sering jadi korban keisengannya.
Suatu hari tumpahan kopi bikin seluruh kantor geger, dan sejak itu hubungan mereka beku. Eh, belum selesai drama kantor, orang tua malah menjodohkan mereka berdua!
Nadin mau nolak, tapi gimana kalau ternyata bos jutek itu diam-diam suka sama dia?
Pernikahan rahasia, cemburu di tempat kerja, dan tetangga yang hobi ikut campur,
siapa sangka cinta bisa sechaotic ini.
Yuk, simak kisah mereka di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Kamar
Nadin merasa kepalanya berat, pandangannya kabur. Langit-langit gedung terlihat berputar-putar ketika langkah Aulia dan Gibran menyeretnya menuju lift di sudut ruangan. Musik pesta dari lantai bawah terdengar makin jauh, berganti dengan suara ding lembut pintu lift yang tertutup.
“Aku ... mau pulang...” lirih Nadin sambil mencoba menepis tangan Gibran, tapi tubuhnya terlalu lemah.
Aulia menatapnya sekilas dengan senyum tipis yang sulit ditebak. “Sabar, Nad. Kamu cuma butuh istirahat sebentar.”
Lift berhenti di lantai atas, area yang biasanya hanya digunakan untuk tamu VIP. Suasana jauh lebih sepi, pencahayaan remang, dan aroma wine dari pesta bawah seolah tak mampu menembus ke sini. Begitu pintu lift terbuka, Aulia menggandeng Nadin menuju salah satu ruangan kosong. Namun saat mereka sampai di depan pintu, Gibran menahan langkahnya.
“Udah, aku urus aja. Kamu balik ke bawah biar nggak kelihatan mencurigakan.” Aulia menatap Gibran lama, seolah menimbang sesuatu, lalu menunduk dan pergi tanpa sepatah kata. Kini hanya Gibran dan Nadin di ruangan itu. Nadin terduduk di kursi, rambutnya berantakan, matanya sayu. Ia memegangi kepalanya sambil berusaha fokus.
“Pak Gibran ... aku mau pulang...” gumamnya, suaranya gemetar seperti anak kecil. Gibran mendekat perlahan, senyum samar di wajahnya tak bisa dibaca apakah simpati atau sesuatu yang lain.
“Kamu kelihatan lemah banget. Duduk dulu, ya. Aku cuma mau bantu.”
Tangannya hampir menyentuh bahu Nadin, namun tiba-tiba Nadin menepis lemah.
“Jangan ... aku mau pergi ke Pak Marvin...” katanya dengan nada nyaris menangis.
Sementara itu di bawah, suasana pesta masih riuh, tapi Marvin tak lagi memperhatikan apa pun. Ia sudah menyisir hampir seluruh ruangan dari area tamu sampai koridor dapur tapi tanpa hasil.
“Pak Marvin, Anda mencari seseorang?” tanya salah satu staf.
“Istriku, kau lihat dia?”
“Barusan, sepertinya Nona Nadin naik lift bersama Nona Aulia dan Pak Gibran.”
Mata Marvin menajam, dia langsung berlari ke ruang kontrol CCTV.
Begitu layar-layar menampilkan rekaman, dadanya berdegup keras terlihat jelas Nadin yang tampak limbung dituntun oleh Aulia dan Gibran ke arah lift.
“Putar kamera lantai atas!” perintahnya dengan nada tajam.
Operator segera melakukannya, dan pada layar lain terlihat Gibran menuntun Nadin masuk ke ruangan kecil di ujung koridor, sementara Aulia berbalik meninggalkan mereka. Rahangnya mengeras, napasnya memburu.
Marvin langsung melepas dasinya, berbalik cepat, dan melangkah menuju lift tanpa bicara apa-apa. Langkahnya berat, matanya gelap, tangan kanannya mengepal kuat hingga buku jarinya memutih.
Di layar CCTV, bayangan Gibran tampak makin dekat dengan Nadin yang menunduk tak berdaya. Namun di waktu yang sama, lift di sisi kanan terbuka, menampakkan sosok Marvin yang baru tiba.
Gibran membuka pintu ruangan yang sepi itu, cahaya temaram dari lampu gantung menyorot lembut ke arah sofa di tengah. Dengan tubuh Nadin yang setengah tak sadar, ia membantunya duduk. Tapi ketika mata Gibran menatap wajah Nadin yang kemerahan, bibir mungilnya yang merengek pelan memanggil nama Marvin, napasnya justru terasa makin cepat.
“Nadin...” panggilnya pelan, menunduk sedikit untuk memastikan keadaan gadis itu. Namun tatapan matanya mulai berubah. Ada sesuatu yang lain bukan sekadar kepedulian.
Perempuan di depannya ini cantik, bahkan dalam keadaan tak berdaya sekalipun. Nadin mengerang kecil, mencoba menyingkirkan tangan Gibran yang kini menyentuh lengannya.
“Aku ... mau pulang ... Pak Marvin...” katanya dengan nada lirih.
Gibran menarik napas panjang, berusaha menahan diri tapi pandangannya tetap tak bisa lepas dari wajah itu.
“Kamu selalu sebut nama dia ya? Padahal aku di sini, Nad. Kamu liat baik-baik siapa yang di depan kamu!"
Tangannya terulur, mencoba menepuk pipi Nadin pelan agar gadis itu membuka mata. Tapi begitu ia semakin mendekat, suara langkah tergesa dari luar terdengar makin keras.
Brak!
Pintu ruangan itu terhempas terbuka keras karena tendangan seseorang. Gibran langsung tersentak mundur, sementara Nadin menunduk lemah di sofa. Dan di ambang pintu berdiri Marvin, jasnya berantakan, dasi terlepas, tatapannya dingin seperti bilah baja. Aura CEO yang biasanya tenang kini lenyap, berganti dengan sosok suami yang kehilangan kendali.
“Menjauh dari istriku,” suaranya berat, nyaris seperti geraman.
Gibran mematung, “Pak Marvin, tunggu. Ini nggak seperti yang kamu pikir...”
Belum sempat Gibran menyelesaikan kalimatnya, Marvin sudah melangkah maju. Tangannya menarik kerah jas Gibran dengan kasar.
“Aku lihat sendiri lewat CCTV, Pak Gibran. Kau kira aku bodoh?”
Gibran berusaha tenang. “Dia mabuk, aku cuma bantu...”
“Bantu? Dengan cara peluk istriku di ruangan kosong?” suara Marvin meninggi, namun tetap dengan nada rendah penuh ancaman. Tatapan matanya menusuk, membuat Gibran menelan ludah. Nadin yang mendengar suara keras itu membuka mata perlahan, menatap kabur ke arah Marvin.
“Marvin ... kamu datang...” gumamnya, lalu terkulai di pelukan suaminya begitu Marvin menghampiri dan menarik tubuhnya dari sofa. Marvin menatap Gibran tajam sekali lagi, menahan diri agar tidak menghantam pria itu di tempat.
“Kalau bukan karena dia perempuan, aku nggak akan segan menghancurkanmu malam ini,” katanya datar, lalu membawa Nadin keluar ruangan dengan langkah tegas.
Pintu menutup keras di belakang mereka, menyisakan Gibran yang terdiam sambil mengepalkan tangan. Tatapan matanya gelap bukan hanya karena amarah, tapi juga karena rasa penasaran yang aneh terhadap Nadin.
Sementara itu di lift, Nadin bersandar lemah di bahu Marvin. Pria itu menatapnya pelan, menggenggam jemarinya.
“Kenapa kamu selalu bikin aku khawatir, hm?” bisiknya lirih dengan nada setengah kesal, setengah lega. Tapi Nadin, masih setengah sadar, justru menjawab polos dengan suara serak, “Aku kan ... cuma minum jus, Marvin...”
Marvin mendesah panjang, tapi di ujung bibirnya tersungging senyum kecil.
“Mulai besok, kamu cuma boleh minum air putih kalau aku nggak ada.”
"Kamu jahat! Tapi kamu ganteng juga ya," ucap Nadin setengah sadar dalam gendongan Marvin menuju mobil yang diparkir.
rasanya pengen tak getok aja tuh kepalanya Anita biar gegar otak sekalian . jadi orang kok murahan banget mau merebut suami orang .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
sampai bacanya gemes tolong pelakor di hempaskan biyar kapok dan kena karmanya....
heeee lanjut Thor semangat 💪
tapi ingat aja Anita.... kamu gak akan menang melawan wanita bar-bar seperti Nadin Alexander .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
dan ternyata drama ibu hamil masih berlanjut terus . bukan Nadin yang hamil yang bikin heboh , tapi Marvin suaminya malah sekarang ditambah mertuanya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
tapi pantes aja sih kelakuan Anita kayak gitu , orang ajaran dan didikan ibunya juga gak bener .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
apalagi sekarang Nadin lagi hamil makin sayang dan cinta mereka makin tumbuh lebih besar .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
selamat ya Nadin dan Marvin , semoga kehamilannya berjalan lancar hingga lahiran nanti .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍