NovelToon NovelToon
Aku Yang Untukmu

Aku Yang Untukmu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Teen Angst / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Angst / Pihak Ketiga
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: jewu nuna

Dari sekian banyak yang hadir dalam hidupmu, apa aku yang paling mundah untuk kau buang? Dari sekian banyak yang datang, apa aku yang paling tidak bisa jadi milikmu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

AYU 13

Hari ini adalah hari selamat bergabungnya Biyan kembali ke sekolah. Walau masih dengan beberapa tambalan luka yang belum kunjung kering. Tapi pria itu memilih untuk berangkat.

 "Bi, mau makan apa?" Gue meletakkan segelas coklat hangat didepan Biyan sambil sedikit menaikkan nada bicara gue karena kantin mulai ramai.

 "Soto boleh"

 Gue mengangguk. Meninggalkannya untuk memesan. Daffa dan Kara sedang menikmati makan siangnya berdua di sudut kantin. Sementara Haris? Pria itu bahkan lebih memilih bermain game dari pada menemani Abiyan yang sembari tadi diam.

 Gue kali ini datang dengan dua mangkuk soto. Memberikannya pada Biyan dan Haris walaupun pria itu tidak meminta.

 "Lo ngga makan?"

 Gue menggeleng, "hari ini kamis"

 Abiyan yang paham mulai memgangguk, pria itu menatap gue sebelum menyantap sotonya.

 "Ga mau dikelas aja?"

 "Lo mikir iman gue lemah ya?"

 Abiyan, pria yang beberapa hari lalu mengungkapkan perasaannya sama gue. Sampai detik dimana gue sadar kalo ngga bisa sama dia, dia terlalu baik buat gue, dia terlalu sempurna. Manik matanya yang indah, coba lihat bagaimana cara Biyan makanpun sempurna. Bagaimana bisa kesempurnaan itu justru menyukai hal bodoh seperti ini?

 Gue menghela napas resah. Bahkan jika dibandingkan dengan Adista. Gadis yang katanya adalah mantan kekasih Abiyan. Bukankah gadis itu cantik dan anggun, gadis pekerja keras yang rela memutuskan sekolahnya demi meneruskan perusahaan orang tuanya yang terancam bangkrut.

 Sayangnya dari kisah Abiyan dan Gibran, hanya satu yang sampai detik ini masih belum gue pahami. Tentang perselingkuhan.

 Bahkan orang seindah dan semenawan Abiyan terutama Gibran pun melalui hal semacam itu. Gimana dengan gue nanti?

 "Kenapa, Na?"

 Abiyan memecah lamunan gue tepat saat sotonya sudah habis. Bahkan pikiran pikiran liar gue selama ini selalu menyita banyak waktu.

 Gue menggeleng pelan sambil tersenyum.

 Saat Abiyan pulang, gue sempet bantuin dia. Ada Jihan juga yang bantuin waktu itu dan kita sempet makan siang bareng. Hari dimana sebelum gue mau berangkat lagi ke rumah sakit, Abiyan cerita banyak hal tentang Adista. Seperti yang dikatakan Haris dan Daffa di rumah sakit. 

 Adista pindah saat kenaikan kelas berlangsung, tepat setengah tahun setelah kepindahannya ke Kanada. Gadis itu memilih menghentikan pendidikannya karena alasan satu dan lain hal. Gue ngerasa ngga pantes denger cerita ini dari mulut Abiyan. Tapi dia selalu berusaha bikin gue supaya tau tentang kisah dia dengan Adista kala itu.

 Saat hampir satu tahun hubungan mereka, Abiyan berniat memberi kejutan dengan pindah ke Jakarta. Tepat saat Ayahnya Abiyan juga lagi dipindahtugaskan ke Jakarta saat itu. Dengan dalih ingin satu sekolah dengan Adista, supaya ngga LDR lagi.

 Tapi ternyata setengah tahun terakhir, gadis itu berbohong. Adista tak benar benar ada di Jakarta. Dia bahkan dengan bodohnya memilih mengencani pria lain disana. Saat statusnya masih menjadi kekasih Abiyan.

 Abiyan baik, dia bahkan tidak marah saat sudah cukup lama didustakan. Dia bahkan terkesan tak ingin dikasihani saat menceritakan hal semacam ini sama gue.

 Tepat hari dimana gue ngelihat Adista buat pertama kalinya. Adista datang dengan sengaja untuk Abiyan. Meminta pria itu kembali padanya. Tapi sudah gue tebak sejak awal, Abiyan tidak sebodoh itu. Bahkan sampai detik dimana gadis itu memilih singgah beberapa saat di Jakarta. Abiyan tetap tidak ingin mengulangi buku yang sudah pernah dia baca.

 "Nana?"

 "Apa sih?! Ngelamun mulu lo" kali ini gue bisa denger suara Haris mendominasi.

 "Lagi mikirin apa, Na?" Kara menoleh.

 "Engga kok, cuman capek aja"

 "Balik aja ke kelas" ajakan Abiyan kali ini gue terima.

 Setelah membayar pesanan tadi, gue sama Abiyan berjalan beriringan menuju kelas. Lebih tepatnya mengarah pada taman depan kelas Abiyan.

 "Ngelamunin apa sih, Na?"

 "Adista masih di Jakarta, Bi?"

 Abiyan menghela napas.

 Saat terakhir kali gue lihat Adista datang ke rumah Biyan. Detik itu juga gue lihat gestur tubuh Biyan yang seolah mengusirnya tepat didepan pintu. Mungkin itu juga sudah jadi jawaban dari pertanyaan gue barusan.

 "Udah pergi dia"

 "Ngga mau balikan?"

 "Apa yang diharapkan dari buku yang sama, Na? Gue bisa maafin semua kesalahan dia tapi engga buat orang ketiga"

 Gue sejenak terdiam. Kayanya gue salah kalo bahas Adista disekolahan.

 "Lo mau tau kesalahan gue dimata dia apa? Gue ngga selalu ada waktu buat dia, Na"

 "Udah deh ngga usah dibahas, Bi"

 "Tapi dari semua kesalahan yang gue sengaja ataupun engga ke dia, semua jawabannya akan tetap sama, manusia ngga akan pernah merasa cukup"

 Abiyan menoleh, memberikan senyuman tipis saat gue lebih memilih diam karena ucapannya barusan.

 "Saat ada anak kecil dibilang jangan, dia justru ngelakuin kan?"

 Gue dan Biyan masih saling pandang. Tak peduli dengan beberapa murid yang sembari tadi sibuk saling membisik atau mengamati kita berdua.

 "Andai aja gue punya banyak uang,"

 "Lo bilang dia cuma butuh waktu lo"

 Abiyan terkekeh, "dengan banyak uang gue bisa ngintilin dia kemana mana"

 "Bucin amat"

 "Kan jadi ngga selingkuh"

 "Yaelah, Bi. Selingkuh tuh tabiat, mau lo ngintilin dia sampe manapun kalo dia punya celah buat itu ya udah, selingkuh aja"

 "Lo bener"

***

Sore ini gue dateng sendirian. Karena Haris lagi ada beberapa hal yang harus di urus di kantor polisi. Sementara Daffa ngintilin Kara buat beli persiapan ulang tahunnya lusa.

 Gue sejenak terdiam saat menemui pintu kamar Gibran terbuka sedikit. Tanpa peduli dengan siapa yang ada didalam, tepat saat gue memegang knop pintu itu, gue menghentikan langkah. Suara yang sampai detik ini tidak pernah gue lupain.

 "Maafin aku"

 Suara isak tangis yang sedikit berbeda dari suara yang menggema kala mencegah Gibran untuk berhenti berkelahi. Gue bisa denger dengan jelas Laras menangis disana, tepat didekapan Gibran.

 "Udah ngga usah di tangisin, dia emang brengsek"

 Gue melepas genggaman knop pintu itu dan sedikit menunduk. Menyaksikan tangan kekar yang biasa mengusap puncak kepala gue justru mengusap rambut gadis lain, sungguh menyakitkan. Walau gue juga bisa tau Gibran ngga ngebales pelukan Laras.

 "Bantuin aku, Gib. Banguin aku lepas dari Reno, aku takut"

 "Bantuan gue cuma bisa sampe saat itu aja, Ras"

 Gue menghela napas, memilih keluar dari pada harus mendengarkan hal yang tak sepantasnya gue dengar. Duduk di kursi taman rumah sakit, sambil nunggu Laras pergi mungkin ide yang bagus.

 "Nak"

 Gue mendongak, Ibu nya Gibran ada disana. Dengan pakaian kantor yang masih lengkap, memilih duduk disebelah gue setelah gue persilahkan. Jangan lupakan sekantong makanan yang baru saja dia berikan ke gue.

 "Siang ini Gibran ngga mau makan, suster bilang sama tante kalau tekanan darah Gibran turun"

 Gue menelan ludah susah payah. Gue ngga tau apa yang lagi terjadi sama Gibran. Dan apa yang memperngaruhi kondisi Gibran yang kian hari kian menurun. Pria itu? Ah rasanya kaya udah ngga ada semangat hidup!

 Gibran beberapa kali drop! Dan sampai saat ini gue ngga tau pemicunya apa!

 "Cuma saat sama kamu dia happy"

 Gue tersenyum.

 "Kayanya tante kangen ngeliat dia bisa happy kaya gini lagi, saat sama kamu dunia Gibran terlihat lebih cerah" Ibunya Gibran tersenyum lebar. Mengusap puncak kepala gue dengan senyum yang masih merekah.

 "Maaf kalau Gibran merepotkan kamu, Nak"

 "Ayuna suka di repotkan Gibran, tante"

 "Kamu kenal Laras?"

 Gue mengangguk pelan, "teman satu sekolah"

 "Dia bilang sudah selingkuh dari Gibran dan minta maaf ke tante," wanita paruh baya itu terkekeh "kenapa sih kalian ini? Masih kecil tau apa soal perselingkuhan?"

 "Anak remaja selalu mendramatisir perasaan tante, tante juga sudah pernah muda kan?"

 Ibunya Gibran tersenyum, "Ayuna, hidup itu lebih keras dari yang kalian pikirkan. Dunia tidak berporos cuma buat kamu aja"

 "Tapi memang kenyataannya seperti itu, tante. Manusia itu egois, tidak pernah bisa merasa cukup"

 "Sebelum bilang seperti itu, cari tau dulu alasannya kenapa dia merasa tidak cukup"

 "Maksudnya?"

 "Kadang hal hal sepele justru dilupakan"

 Gue mengerjab. Menatap Ibunya Gibran berdiri dan memilih berpamitan. Meninggalkan gue yang masih terduduk bingung disini.

 Bicara dengan orang tua tuh memang seperti ini ya? Membingungkan.

 Gue menghela napas panjang sebelum beranjak kembali ke kamar Gibran. Yang kali ini hanya ada sang pemilik disana. Tertidur dengan siaran televisi menyala entah sejak kapan.

 Gue bisa melihat makan siang yang belum disentuh sekalipun dimeja. Beberapa snack yang dibawa Haris pun masih utuh diatas sofa. Tak lupa buah yang hanya ada gigitan apel di sudut nakas. Bahkan apel itu terlihat lebih menggemanaskan dari pada yang mengigitnya.

 "Suster bilang lo ngga mau makan?" Gue mengeluarkan piring di laci dan meletakkan makanan yang dibeli Ibunya Gibran.

 Pria itu membuka matanya. Entahlah dia benar benar tidur atau pura pura saja. Yang pasti matanya terlihat sedikit merah dan ada bekas air mata dipipinya.

 "Gib, kenapa ngga mau sembuh?"

 Gibran menghela napas panjang sebelum menatap gue, "gue udah sembuh, mereka aja yang lebay"

 Gue menyodorkan hasil tes tadi pagi tepat didepan wajah Gibran. Beberapa tes menunjukkan bahwa pria itu sempat drop dan beberapa gangguan lain tercatat disana.

 "Gue cuma butuh tidur" Gibran meletakkan kertas itu di meja.

 Perubahan mood Gibran yang ketara. Dia bahkan terlihat lebih murung dari sebelumnya.

 "Kalau ngga mau cerita ya udah, tapi makan ya?" Gue duduk sambil menyodorkan sesendok nasi dan lauk ke mulut pria itu.

 "Gue ngga tega sama Laras, Na" bukannya memakan suapan itu, Gibran justru menatapnya dengan sendu. Ucapan yang sampai detik ini masih belum bisa gue pahami. Suara berat dengan lamunan yang belum pernah gue lihat dari Gibran.

 "Reno nyakitin dia lagi"

 Gue meletakkan makanannya kembali, "nyakitin gimana?"

 Mengkesampingkan semua ego. Rasanya sungguh berat melihat orang yang lagi gue sukai justru kembali dekat dengan masa lalunya. Menceritakan kisah kelam itu justru dengan orang yang sedang jatuh cinta dengannya. Sungguh menyakitikan sekali, dia bahkan seolah tidak sadar telah melakukan hal itu.

 Perselingkuhan itu terjadi karena paksaan. Laras datang hanya untuk berbagi luka atas hal yang sama sekali tidak dia mau. Dipaksa menjadi kekasih Reno atau pria itu akan menyakiti Gibran.

 Pilihan macam apa kalau pada akhirnya justru gadis itulah yang tersakiti sekarang? Jadi budak atau apapun yang menurutnya buruk, Gibran bahkan menangis saat menceritakan hal ini. Bukankah dia adalah pria yang tulus?

 Gue menghela napas, memeluk tubuh pria yang beberapa hari lalu membuat gue jatuh cinta, kali ini seakan menjatuhkan semua ekspektasi dikepala. Rasanya berantakan, hancur disaat yang bersamaan. Mendengar seseorang yang kau cintai justru menceritakan masa lalunya adalah seperti minum racun perlahan.

1
suka baca
good
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!