Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13
Beberapa hari berlalu setelah makan malam heboh di rumah keluarga Mahesa.
Tiwi kembali sibuk dengan rutinitas barunya di rumah besar Tristan rumah yang sebenarnya terlalu sepi untuk ukuran seorang dokter tampan, sukses, dan kaya raya. Rumah itu memang dekat dengan rumah sakit, tapi tetap saja, menurut Tiwi, rasanya seperti rumah vampir yang ditinggali satu penghuni dingin nan misterius.
Pagi itu Tiwi sudah datang sejak jam 6 pagi. Ia menyalakan dapur, menyiapkan sarapan, sambil sesekali menempelkan sticky note kecil di pintu kulkas. Kali ini pesannya berbunyi:
"Dokter Vampir, jangan lupa sarapan. Kalau nggak sarapan, pasien bisa nulis review: 'dokternya lebih lemes dari pasien'."
Sambil cekikikan sendiri, Tiwi menggoreng telur dadar, menanak nasi, dan menyiapkan sup hangat. “Udah kayak ibu-ibu komplek aja aku. Padahal statusnya ART limited edition. Kalau bos lain punya ART, mungkin dapetnya yang pendiam, rajin, kalem. Lah, Tristan Mahesa ini dapat aku super cerewet plus plus.”
Namun, pagi itu terasa berbeda.
Biasanya, Tristan sudah keluar dari kamar dengan pakaian rapi lengkap jas dokter, membawa tas kerja, dan hanya sempat melirik sarapan sebentar sebelum berangkat. Tapi kali ini, hingga jam menunjukkan pukul tujuh, pintu kamarnya masih tertutup rapat.
Tiwi menunggu sambil mengetuk sendok ke meja. “Eh, tumben. Biasanya jam segini udah kayak kereta cepat tuh orang. Apa jangan-jangan hari ini libur? Nggak mungkin, dokter itu kan kerjaannya nggak ada libur.”
Jam setengah delapan, tetap tidak ada tanda-tanda kehidupan dari kamar Tristan.
Tiwi mulai gelisah. “Jangan-jangan… dia lagi melakukan ritual vampir. Astaga, jangan-jangan beneran ya? Aduh, gimana kalau dia lagi nyedot darah di kamar? Gawat! Ntar aku juga kena hisap.”
Ia mengendap-endap mendekat ke pintu kamar. Dari luar, suasana sunyi. Tiwi menempelkan telinganya, berharap mendengar suara langkah atau aktivitas. Tidak ada.
“Waduh, ini nggak bener,” gumamnya. Tanpa pikir panjang, ia memutar gagang pintu pelan. Ternyata tidak dikunci.
Begitu pintu terbuka, mata Tiwi langsung melebar.
Di ranjang besar berseprai putih, Tristan masih terbaring. Wajahnya pucat pasi, keringat membasahi pelipis, napasnya berat.
“YA ALLAH!” Tiwi hampir teriak. “Dokter kok malah jadi pasien? Astaga naga, ini plot twist macam apa sih?!”
Ia buru-buru mendekat, menepuk-nepuk pipi Tristan. “Dok! Hey, Vampir! Bangun, jangan bikin aku panik. Aku kan jago ngomel, bukan jago nyadarin orang pingsan.”
Tristan mengerang pelan, matanya setengah terbuka. “Tiwi… kenapa kamu di sini?”
“Kenapa aku di sini? Ya ampun, ini rumah siapa, hah? Rumah kamu! Aku ART limited edition di sini! Kalau bosnya pingsan, ya aku yang panik! Astaga, wajah kamu pucet banget. Jangan-jangan kamu anemia? Atau darah rendah? Atau… jangan-jangan kamu kebanyakan mikirin aku?”
Tristan menatapnya lemah, jelas tidak punya tenaga untuk membalas komentar sarkastis itu.
Tiwi langsung sigap. Ia meraih tisu, mengelap keringat di dahi Tristan. “Astagfirullah, panas banget. Dokter kok nggak bisa jagain diri sendiri? Apa kata dunia kalau pasienmu tau kamu sendiri tumbang? Bisa-bisa rumah sakit bikin promo, diskon rawat inap kalau berhasil bikin dokternya ikut sakit.”
Sambil ngoceh, Tiwi mengambil baskom, mengisi air hangat, dan membawa handuk kecil. Ia menaruh kompres di dahi Tristan, lalu memandang wajah dingin itu dengan cemberut.
“Dok, jangan bikin aku panik gini dong. Aku kan orangnya kuat, tapi kalau liat orang sakit, apalagi bos sendiri, rasanya jadi mellow. Nih, aku aja udah kayak emak-emak lagi ngerawat anaknya demam.”
Tristan menutup mata, suaranya serak. “Kamu ribut sekali…”
“Ya jelas lah ribut! Kalau aku diam, nanti kamu makin dingin. Eh, tapi dingin kamu ini bukan aura vampir kan? Tapi beneran demam tinggi? Aduh, jangan sampai aku harus manggil UGD buat ngangkut kamu. Malu-maluin banget kan dokter spesialis bisa sakit parah gini.”
Tiwi mendesah keras, lalu meraih ponselnya. “Oke, aku telepon Mama Tina aja biar beliau tau anaknya tumbang.”
Namun, Tristan buru-buru meraih tangan Tiwi, meski lemah. “Jangan… jangan bilang Mama…”
Tiwi tertegun. “Lho? Kenapa? Mama kamu pasti panik lah kalau tau kamu sakit. Normal dong. Masa kamu pengen aku diem aja liat kamu megap-megap?”
Tristan berusaha tersenyum tipis. “Mama… sudah terlalu khawatir. Aku nggak mau tambah beban.”
Tiwi menatapnya lama, lalu menghela napas. “Ya ampun, dokter satu ini. Pantesan dingin banget, ternyata hatinya penuh beban. Oke deh, deal. Aku nggak bakal kasih tau Mama kamu. Tapi syaratnya satu kamu harus nurut sama aku.”
Tristan menutup mata lagi. “Aku nggak janji…”
“JANJI AJA SEKARANG!” bentak Tiwi, lalu cepat-cepat menepuk pipi Tristan. “Eh, eh, maaf, maaf. Jangan kebanyakan emosi, nanti kamu makin pingsan. Tapi serius, Dok, kalau nggak nurut sama aku, aku sumpah bakal tempel sticky note segede kardus di depan rumah sakitmu: ‘DOKTER VAMPIR SAKIT, JANGAN DIGANGGU’.”
Tristan sampai menghela napas berat. “Kamu keterlaluan…”
“Biarin! Keterlaluan asal kamu sembuh. Udah, diem aja, aku bikinin bubur ayam. Jangan macem-macem, kalau kamu kabur kerja, aku sumpahin pasien kamu nanya terus kapan kamu nikahin aku.”
Tristan hampir tersedak napasnya mendengar itu. “Kamu… selalu…”
“Selalu bawel? Ya emang itu keahlianku, Dok. Jadi bersyukur lah kamu punya aku di rumah. Kalau ART lain, mungkin mereka udah kabur panik liat kamu pucat gini. Lah aku? Bukannya kabur, aku malah siap jadi perawat dadakan.”
Sekitar setengah jam kemudian, Tiwi kembali ke kamar membawa semangkuk bubur hangat. Ia meniupnya sebentar, lalu duduk di tepi ranjang.
“Oke, pasien Tristan, buka mulut. Aaaaa…”
Tristan meliriknya dengan tatapan dingin. “Aku bisa makan sendiri.”
“Ya bisa lah. Tapi kamu lemes banget, nanti malah tumpah. Udah diem aja, anggap aja aku perawat cantik gratisan. Nih, buruan buka mulut. Jangan bikin aku emosi, nanti buburnya aku lempar ke muka kamu.”
Dengan pasrah, Tristan akhirnya membuka mulut. Tiwi menyuapi perlahan, sesekali tersenyum puas.
“Nah gitu dong. Pinter, anak Mama!”
“Aku bukan anak Mama kamu…” gumam Tristan lemah.
Tiwi tergelak. “Ya siapa tau nanti jadi, kan? Hahaha. Udah ah, jangan mikir aneh-aneh, makan dulu biar sembuh.”
Setelah selesai makan, Tiwi menata mangkuk di meja. Ia duduk lagi, menatap Tristan yang mulai terlihat sedikit lebih segar.
“Dok, serius deh. Kamu tuh kayak es batu. Keliatannya kuat, dingin, nggak bisa pecah. Tapi pas sakit gini, aku baru sadar… kamu juga manusia biasa. Kamu butuh orang yang cerewet jagain kamu, ngerti nggak?”
Tristan menoleh pelan, menatap wajah Tiwi yang polos tapi penuh perhatian. Ada sesuatu di sana yang membuat dadanya hangat sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Namun, alih-alih mengucapkan itu, ia hanya berkata pelan, “Kamu ribut sekali…”
Tiwi mengibaskan tangan. “Yaudah lah, kalau aku nggak ribut, rumah ini sepi kayak kuburan. Kamu sembuhnya bisa makin lama. Jadi biarin aja aku ribut, biar kamu inget terus kalau ada Tiwi limited edition yang siap bawelin kamu tiap hari.”
Tristan menutup mata, tapi kali ini bibirnya melengkung tipis. Senyum samar, yang Tiwi nyaris tidak percaya benar-benar ia lihat.
Malam itu, Tiwi tidur di sofa ruang tengah, tapi setiap satu jam sekali ia bangun untuk mengecek kondisi Tristan. Cerewet, bawel, tapi penuh perhatian.
Dan di dalam kamar, Tristan yang masih demam berbisik lirih pada dirinya sendiri:
“Mungkin… memang tidak salah Mama bilang… dia spesial.”
Bersambung…
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥