[Apakah Tuan Rumah ingin melakukan check-in?]
"Ya, tentu."
[Selamat, Tuan Rumah, telah memperoleh sebuah bangunan Apartemen mewah di kompleks perumahan Luxury Modern, uang tunai sebesar $100.000, serta sebuah Ferarri 458. Anda juga menerima....]
[Tuan Rumah, uangnya sudah ditransfer ke rekening Anda. Dokumen apartemen dan kunci mobil telah dimasukkan ke dalam inventaris sistem...]
Pesan inilah yang mengubah hidup Gray selamanya.
Dari seorang yang tak berarti, yang berjuang melewati keras dan suramnya kehidupan, menjadi orang terkaya dan paling berkuasa di dunia. Bahkan di seluruh realitas?
Inilah kisah penuh petualangan Gray Terrens.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZHRCY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
VORTEX PRIME CLUB
Tempat Parkir Bawah Tanah, Vortex Prime Club.
Ban mobil Gray berhenti perlahan di samping coupe perak milik Viona di garasi bawah tanah yang remang-remang.
Pencahayaan bersinar samar di sepanjang balok langit-langit, memantulkan nuansa dingin di atas lantai beton yang mengilap dan menonjolkan keanggunan kendaraan-kendaraan yang diparkir di zona VIP eksklusif.
Gray keluar, menarik sedikit bagian depan jas Langford biru tua yang ia kenakan.
Gerakan itu menyesuaikan jaket dengan pas di dadanya, membuat kain lembutnya jatuh rapi mengikuti tubuhnya.
Ia menghembuskan napas pelan, masih belum terbiasa dengan ide memasuki sebuah klub malam. Saat Viona mengatakan bahwa teman-temannya sedang mengadakan pertemuan, dia tidak memberitahu bahwa tempatnya di klub malam.
Rasanya agak aneh datang ke tempat seperti ini, tapi ia juga benar-benar menantikan pengalamannya.
“Gray,” suara Viona memanggil hangat.
Dia berdiri beberapa langkah jauhnya, siluet tubuhnya terlihat anggun di bawah cahaya parkir yang lembut.
Dia tampak chic tanpa usaha dalam gaun safir gelap yang ia kenakan, dipadukan dengan tas clutch sederhana dan sepatu hak tinggi.
Gray berjalan menghampirinya, menyamakan langkah saat mereka mendekati sebuah pintu yang dijaga di sudut ruangan.
“Tempat parkir bawah tanah ini hanya untuk anggota VIP saja,” jelas Viona sambil melirik ke arahnya ketika mereka berjalan. “Kau bisa melewati pintu utama dan antrean dengan cara ini. Lebih... Cepat.”
Gray mengangguk. Ia menghargai penjelasannya, tapi lebih dari itu, ia menghargai cara Viona mengatakannya tanpa kesombongan.
Ketika mereka tadi melewati pintu utama, ia sempat melihat kerumunan orang—antrean panjang orang-orang yang menunggu giliran, ponsel di tangan, penjaga pintu yang sibuk mengatur kekacauan. Dibandingkan dengan jalur pribadi ini, rasanya seperti dunia yang berbeda.
Perlahan ia mulai mengerti bagaimana dunia orang-orang kaya bekerja. Ia memang merasa hal ini menyenangkan—perlakuan istimewa.
Uang memang benar-benar bisa membuka pintu.
Penjaga pintu—seorang pria tua bertubuh kekar dengan setelan hitam rapi—segera mengenali Viona dan tanpa sepatah kata pun, dia membukakan pintu untuk mereka berdua.
Mereka melangkah masuk ke lorong sunyi. Ruangan itu sempit, dengan dinding hitam matte dan lampu tersembunyi yang menerangi jalan tanpa silau. Di ujungnya berdiri pintu keamanan hitam ramping, menyatu dengan dinding dan tanpa tanda apa pun kecuali pembaca kartu kecil.
Viona mengeluarkan kartu hitam tipis dengan logo klub yang timbul mengkilap. Dia menempelkan kartu itu pada sistem dan bunyi bip lembut terdengar.
Dia membuka pintu dan menahannya sedikit untuk Gray, yang masuk tepat di belakangnya.
Di sisi lain terdapat koridor lebar, yang mengejutkan karena terang, dengan beberapa pintu kedap suara berat berjajar di kedua sisi. Bagi Gray, tempat itu lebih mirip lorong suite mewah di hotel bintang lima daripada apa yang dia bayangan tentang klub malam.
“Ruangan kita ada di sana,” kata Viona.
Mereka menuruni beberapa anak tangga dan sampai di salah satu pintu, yang kemudian dibuka Viona dengan dorongan lembut.
Di dalam, ruangan yang hampir seperti lounge pribadi—cukup luas untuk menampung sepuluh orang dengan nyaman. Ada sofa beludru berbentuk L berwarna abu-abu arang yang mengelilingi meja koktail hitam matte, lampu gantung ambient lembut di atasnya, serta rak bar yang diterangi dari belakang di sepanjang dinding, menampilkan minuman premium di bawah kaca berlapis emas.
Di sofa itu duduk enam orang lainnya—pemuda dan pemudi berusia akhir belasan hingga awal dua puluhan, semuanya berpakaian seperti baru keluar dari majalah fashion. Mereka sedang asyik berbincang dan tertawa ketika pintu terbuka. Ruangan langsung terdiam seketika.
Semua kepala menoleh ke arah pintu.
Mereka melihat Viona terlebih dahulu. Lalu, seorang pria asing dengan pakaian elegan berdiri di sampingnya.
Mereka langsung penasaran ingin tahu identitas orang itu dan bagaimana hubungannya dengan Viona.
“Viona...” Paula, sahabatnya, mengangkat alis, nadanya setengah terkejut setengah kagum.
“Teman-teman,” sapa Viona dengan ceria, lalu sedikit menoleh. “Ini Gray. Gray, kenalkan, mereka teman-temanku.”
Sejenak semua perhatian langsung terarah penuh pada Gray.
Viona melihat ekspresi mereka—mata yang terkejut, tatapan penuh pengenalan samar, rasa ingin tahu yang ditahan. Ia tersenyum tipis pada dirinya sendiri. Sama seperti yang dia pikirkan. Setelah Edwin menceritakan tentang pemilik Regalia Crest Residence Complex, nama Gray mulai berarti sesuatu di lingkaran sosial mereka. Dan apakah Gray ini benar-benar pemilik properti itu atau bukan, cara dia membawa diri sudah cukup membuat orang mengira dia adalah pemilik tempat itu.
“Gray,” Viona menunjuk ke arah lounge. “Silakan, buat dirimu nyaman.”
Gray mengangguk sekali dan duduk di sudut jauh di samping seorang pemuda yang tampak sedikit lebih tua darinya, mungkin dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun.
Dia memberikan anggukan sopan kepada pria itu. Pria itu, berusaha tetap santai, mengangguk balik, meski rasa penasarannya jelas terpancar.
Viona duduk di kursi kosong di samping Paula.
Paula, di sisi lain, menatap Gray seperti sebuah teka-teki hidup yang tak sabar ingin ia pecahkan.
Merasa ketegangan mengencang seperti tali yang ditarik.
Viona berdehem cepat.
“Teman-teman, kalian semua menatapnya. Kalian akan membuatnya tidak nyaman."
Sihir pun pecah dan tawa canggung terdengar memenuhi ruangan. Pria di samping Gray batuk kecil ke dalam genggamannya lalu akhirnya menoleh.
“Maaf, bro,” katanya sambil tersenyum. “Namamu tadi... terdengar sangat familiar. Aku tidak bermaksud menatapmu.”
“Tidak apa-apa,” kata Gray dengan santai, suaranya tenang tapi hangat. “Akhir-akhir ini aku memang sering menjadi pusat perhatian.”
Viona kembali berdeham—kali ini canggung—dan mengalihkan pandangan. Dia jelas merasa tersindir.
Pria itu terkekeh. “Baiklah.”
Dia mengulurkan tangan. “Namaku Willy.”
“Gray,” jawabnya, menjabat tangan itu.
Sisanya pun ikut memperkenalkan diri satu per satu—Erica, Edwin, Sasha, Devon, Ava, dan terakhir Paula.
Gray menanggapi mereka semua dengan anggukan atau senyum sopan.
“Kalian belum pesan apa-apa?” tanya Viona setelah duduk.
“Sudah,” jawab Willy. “Sebentar lagi makanannya akan segera sampai.”
Viona bersandar, menyilangkan satu kaki di atas yang lain. “Baiklah.”
“Jadi, Gray,” tanya Paula sambil memiringkan kepalanya, “bagaimana kau dan Viona bisa bertemu?”
Viona meringis. Tentu saja itu pertanyaan pertama. Itu pertanyaan yang wajar dan masuk akal, tapi tidak mengurangi rasa malu yang dia rasakan saat mengingat betapa canggungnya interaksi pertamanya dengan Gray.
Gray tidak melewatkan perubahan halus di ekspresi Viona. Dia tersenyum tipis dan menjawab, “Kami tinggal di kompleks yang sama.”
Semua orang mengangguk dengan pemahaman saat mendengar jawaban Gray. Itu tidak mengejutkan, tapi mereka tidak bisa menahan perasaan bahwa memang ada sesuatu di antara keduanya.
“Kalau begitu kau pasti baru pindah ke sana?” Paula bertanya lagi, kali ini dengan senyum tulus.
“Ya,” jawab Gray singkat.
Mendengar itu, semua orang mengangguk lagi. Tapi hal itu membuat mereka semakin penasaran dan bingung tentang bagaimana Gray dan Viona bisa saling mengenal begitu cepat.
Hal ini terutama berlaku bagi Viona. Dia sangat bingung.
Sebagai teman-temannya, mereka tahu karakter Viona dan fakta bahwa dia hampir tidak pernah berinteraksi dengan siapa pun di kompleks itu. Tapi karena dia mengundang Gray ke sini, pasti ada sesuatu yang lebih dari itu.
Meski begitu, mereka tidak menanyakan lebih jauh. Mereka mengalihkan topik kembali ke alasan mereka berada di sini sejak awal—sebuah pertemuan santai untuk merayakan sesuatu.
Saat itu juga, pintu ruangan terbuka dan dua pelayan masuk, membawa baki berisi gelas-gelas tinggi koktail berkilau keemasan dan hidangan pembuka yang ditata dengan indah.
kamu lupa kasih koma nanti orang yang baca jadi aneh