Nurma Zakiyah adalah seorang siswi Sekolah Menengah Umum (SMU) yang ceria, namun hidupnya seketika dilanda tragedi. Sang ayah terbaring sekarat di rumah sakit, dan permintaan terakhirnya sungguh mengejutkan yakni Nurma harus menikah dengan pria yang sudah dipilihnya. Pria itu tak lain adalah Satria galih prakoso , guru matematikanya yang kharismatik, dewasa, dan terpandang.
Demi menenangkan hati ayahnya di ujung hidup, Nurma yang masih belia dan lugu, dengan berat hati menyetujui pernikahan paksa tersebut. Ia mengorbankan masa remajanya, impian kuliahnya, dan kebebasannya demi memenuhi permintaan terakhir sang ayah.
Di sekolah, mereka harus berpura-pura menjadi guru dan murid biasa, menyembunyikan status pernikahan mereka dari teman-teman dan rekan sejawat.
Bagaimanakah kelanjutan rumah tangga Nurma dan Satria?
Mampukah mereka membangun ikatan batin dari sebuah pernikahan yang didasari keterpaksaan, di tengah perbedaan dunia, harapan, dan usia, bisakah benih-benih cinta tumbuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu tidak terduga
Pagi yang baru telah tiba, membawa serta aroma kelegaan dan janji yang terpenuhi. Cahaya matahari menembus tirai kamar, jatuh lembut di atas ranjang.
Nurma mengerjapkan mata. Hal pertama yang ia rasakan adalah sensasi nyeri yang tumpul di area inti tubuhnya, sebuah pengingat fisik akan ikatan yang baru saja mereka sempurnakan semalam. Ia mencoba bergerak, namun pelukan Satria yang kokoh di pinggangnya menahan.
Ia mendongak. Suaminya, Satria, masih terlelap pulas. Wajahnya yang damai, dengan seulas senyum tipis, terlihat jauh dari aura otoritas seorang perwira. Malam yang panjang dan penuh gairah rupanya menguras habis tenaganya.
Nurma memandangi lantai kamar. Pakaian mereka – kemeja Satria, piyama tidurnya, dan beberapa helai kain lainnya – tercecer begitu saja, sebuah pemandangan yang kacau namun manis. Pemandangan itu membawa ingatan semalam kembali menyerbu benaknya.
Jantung Nurma berdesir, pipinya memanas. Ia ingat bagaimana Satria, pria yang sangat ia kagumi dan cintai, telah melihatnya seutuhnya tanpa sehelai benang. Ia mengingat setiap sentuhan lembut yang berubah menjadi tuntutan penuh gairah, dan bagaimana ia meresponsnya dengan kerinduan yang sama.
Namun, ada satu detail yang paling memalukan: ia menangis.
Nurma kembali merasakan perihnya saat Satria mencoba masuk untuk pertama kali. Rasa sakit itu membuatnya tanpa sadar terisak dan meremas seprai. Satria yang panik sempat menghentikan aksinya, menatapnya dengan rasa bersalah.
"Maaf, Sayang... Aku tidak tega. Kita sudahi saja, ya? Kita bisa melakukannya lain kali," bisik Satria dengan suara serak.
Tetapi Nurma, didorong oleh emosi yang meluap dan keinginan untuk benar-benar menjadi istri Satria seutuhnya, menggelengkan kepala. Air mata masih mengalir, namun ia memeluk leher Satria erat-erat.
"Lanjutkan, Mas... Jangan berhenti. Aku mau jadi milikmu," pinta Nurma, suaranya tercekat. Permintaan polos itu membuat Satria tersenyum lembut, lalu kembali melanjutkan misinya, kali ini dengan kelembutan ekstra, hingga akhirnya berhasil merenggut kesuciannya.
Nurma tersipu hebat. Ia melirik seprai tebal di bawahnya. Noda darah samar masih terlihat jelas di sana. Syukurlah Ibunya tidak pulang semalam, pikirnya, merasa sedikit lega.
Perlahan, Nurma melepaskan diri dari lengan Satria dengan hati-hati. Ia harus membersihkan diri. Rasa nyeri di tubuhnya membuatnya berjalan sedikit pincang menuju kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, ia berdiri di depan cermin. Ia membiarkan air mengalir dan membasahi tubuhnya. Lalu, ia mengangkat pandangan dan fokus pada leher dan area dada.
Matanya melebar.
Bukan hanya satu atau dua, tapi ada beberapa tanda merah keunguan yang jelas tercetak di kulit mulusnya. Tanda-tanda kepemilikan yang ditinggalkan oleh Satria semalam. Wajah Nurma langsung memerah sempurna.
Ia menggigit bibir bawahnya, menahan senyum malu-malu yang ingin mekar.
"Dasar pria nakal! Mas Satria yang agresif!" bisiknya pelan ke pantulan dirinya di cermin, namun nadanya jauh dari marah, melainkan penuh kasih sayang dan kegelian.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan bathrobe, Nurma bergegas membereskan kekacauan di kamar, termasuk seprai bernoda. Ia menggantinya dengan yang baru, lalu membuka jendela agar udara pagi masuk, seolah ingin menyambut babak baru kehidupan mereka dengan udara segar.
Ia kembali menatap Satria yang masih nyenyak. Sejenak, ia berdiri di sisi ranjang, mengagumi suaminya.
"Mas..." panggilnya lembut, "Hei, pria nakal. Bangun, ini sudah pagi."
Satria hanya menggeliat dan menarik selimut lebih tinggi, menutupi kepalanya.
Nurma tersenyum. Ia mencondongkan tubuh, berbisik tepat di telinga Satria.
"Kalau tidak bangun, aku akan menggelitik perut dan juga seluruh tubuhmu.
Namun sayangnya Satria tak meresponnya, ia masih saja tertidur, Nurma menghela napasnya melihat suaminya yang sudah seperti bangkai.
.
.
Satria perlahan membuka mata. Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, dan kemudian Nurma yang sudah berpakaian rapi masuk membawa secangkir kopi.
"Selamat pagi, sayang. Hmm, tubuhku rasanya remuk semua."
Wajahnya Nurma memerah, ia meletakkan kopi di nakas. "Memang begitu kalau Mas Satria terlalu agresif. Sudah, cepat bangun. Mandi, lalu sarapan."
Satria tersenyum, menarik tangan Nurma agar duduk di tepi ranjang. "Agresif bagaimana? Aku kan sudah berusaha selembut mungkin. Tapi... memang kenapa? Apa kau tidak suka?"
Nurma menundukkan kepalanya. "Bukan begitu... Rasanya saja masih sakit. Dan kau tahu, itu baru pertama kalinya aku menangis karena perih. Aku malu sekali."
Satria menggenggam erat tangan Nurma, menatapnya penuh penyesalan. "Oh, Sayang... Maafkan aku. Aku janji, nanti akan lebih lembut. Aku hanya... terlalu bahagia karena kau akhirnya jadi milikku seutuhnya. Lihat, lehermu ini penuh 'bukti' cintaku." Satria mengusap lembut tanda merah di leher Nurma. "Kau memintaku melanjutkan, lho. Kalau tidak, aku pasti sudah berhenti."
Kemudian Nurma mencubit Satria gemas. "Itu dia! Aku yang memintamu lanjut, tapi kenapa aku yang paling malu sekarang?" Nurma tertawa kecil.
"Sudah, sana mandi. Aku siapkan sarapan yang enak untuk perayaan kebebasan kita semalam."
Lalu Satria menarik Nurma ke pelukannya erat, dan mencium keningnya. "Terima kasih, Sayang. Sekarang, pernikahan kita murni karena cinta. Aku sungguh bersyukur. Setelah ini, aku akan berangkat ke sekolah, ada rapat guru hari ini menjelang ujian Kelulusan. "
Nurma terdiam sejenak." Jadi hari ini aku libur, Mas?"
"Ya, hari ini seluruh siswa diliburkan dan kembali beraktivitas besok."
Nurma pun merasa lega, apalagi saat ini tidak bisa berjalan layaknya wanita normal, rasa ngilu di area sensitifnya masih begitu terasa.
Kemudian Satria melepaskan pelukan, matanya kembali berbinar. "ngomong-ngomong, kau yakin tidak mau aku yang memandikan mu? Sepertinya kamu terlihat sedikit... pincang."
Seketika wajahnya Nurma memerah lagi. Ia memukul bahu Satria pelan. "Dasar mesum! Cepat mandi!" Ia segera beranjak keluar, meninggalkan Satria yang tertawa puas.
.
.
Pukul sepuluh pagi. Satria sudah pamit pergi ke SMU Negeri Bhakti 01 Jakarta untuk menghadiri rapat guru yang mendadak.
"Aku pergi sebentar, ya sayang. Jangan buka pintu untuk siapapun, kecuali Ibumu sudah pulang. Ingat, tetap di dalam rumah."
"Iya, Mas ku yang bawel. Hati-hati. Pulangnya jangan terlalu sore."
Satria mencium kening Nurma dan bergegas pergi.
Nurma memanfaatkan waktu luang itu. Setelah membereskan kamar dan memastikan sarapan Satria termakan habis, ia memutuskan untuk mencuci sejenak, menghilangkan jejak noda darah di seprei miliknya. karena rambutnya masih setengah basah ia membiarkan rambut hitamnya yang panjang tergerai, ia menikmati momen santai tanpa harus mengenakan hijab.
Tok!
Tok!
Tok!
Tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu. Nurma terperanjat.
"Siapa, ya? Mas Satria kan baru saja pergi," pikirnya.
Ia berjalan ke arah pintu, mengintip melalui celah. Betapa terkejutnya Nurma. Karena di depan telah berdiri dua sahabat terdekatnya, yakni Rea dan Wina.
Nurma segera membuka kunci dan menarik pintu perlahan.
"Kalian?! Ya ampun, kenapa tidak bilang mau datang?"
Langsung menerobos masuk dengan ekspresi khawatir.
"Kami khawatir setengah mati, Nurma! Ponselmu kenapa tidak aktif? setelah kamu menjadi korban penculikan, kami ingin memastikan kondisimu Nurma, mau bertanya kepada Pak Satria di sekolah, kami agak sungkan." ujar Rea
Lalu Wina menyentuh bahu Nurma. "Iya, kami sangat mengkhawatirkanmu, Nurma. Apalagi setelah drama Pak Satria pergi untuk menyelamatkan kamu, itu sebabnya kami ingin memastikan semuanya baik-baik saja."
Nurma tersenyum lega melihat sahabatnya dan khawatir dengannya.
"Masuk, masuk. Aku baik-baik saja, sungguh. Kalian duduk dulu ya. Aku buatkan minum."
Mereka bertiga duduk di ruang tamu. Karena gugup dan terkejut, Nurma lupa bahwa ia tidak mengenakan hijab, dan rambutnya tergerai. Saat ia menunduk untuk mengambil bantal, Wina dan Rea kompak membelalakkan mata, pandangan mereka terpaku pada leher Nurma.
Rea menyipitkan mata, lalu menyeringai lebar. "W-woah... Nurma..."
"Kenapa? Ada apa, Rea?"
Wina menutup mulutnya, menahan tawa.
"Astaga, Nurma. Di lehermu... banyak sekali. Itu... tanda merah keunguan..."
Nurma langsung menyentuh lehernya. Ia benar-benar lupa tentang tanda-tanda cinta yang ditinggalkan Satria semalam. Wajahnya langsung memerah padam.
Bersambung...