Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serupa Tapi Tak Sama
"Bagaimana bisa gadis itu menebak trauma masa lalu kita dengan sangat tepat? Metode apa yang dia gunakan hingga bisa mengambil kesimpulan dengan begitu cepat? Dan kenapa dia tidak seperti wanita lainnya yang biasanya lebih mengandalkan perasaan daripada logika? Dia terlihat... sangat berbeda dengan wanita kebanyakan," tanya Divisi Pertanyaan Analitis. Suaranya menggema di ruang rapat imajiner dalam otak Aditya, seakan menjadi pusat perhatian semua divisi lain.
Lampu imajiner di ruangan itu menyorot seorang pria berjas abu-abu yang berdiri tenang. Dialah Divisi Analitis Pola. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju papan tulis yang penuh coretan samar dari rapat-rapat sebelumnya. Suara gesekan kapur terdengar jelas ketika ia mulai menuliskan sesuatu.
"Baiklah, saya Divisi Analitis Pola, izin menjawab pertanyaan dari Divisi Pertanyaan Analitis." Tangannya menulis empat huruf tebal di papan: I – N – T – P.
Ia mengelilingi huruf pertama dengan lingkaran tegas. "Introvert!" katanya lantang. Sorot matanya tajam, seakan menemukan kunci jawaban. "Jika kita melihat gadis yang bernama Aurora itu dengan lebih teliti, dia sama seperti kita. Dia lebih memilih diam di permukaan. Sebagai gantinya, otaknya berisik... selalu bekerja di balik wajah yang tampak tenang."
Divisi Pertanyaan Analitis mengangkat tangan, suaranya datar namun penuh penekanan. "Baiklah, Divisi Analitis Pola, izin menginterupsi sedikit. Jadi dari kesimpulan yang Anda ambil, Aurora itu MBTI-nya adalah INTP. Jadi kurang lebih cara berpikir kita dengan Aurora adalah sama?"
Divisi Analitis Pola menoleh, bibirnya melengkung tipis. "Serupa tapi tidak sama." Ia kembali menulis, lalu melingkari huruf P dengan keras hingga kapur hampir patah. "Perceiving, kebalikan dari Judging. Jangan salah! Meski hanya berbeda satu huruf saja, pengaruhnya bisa sangat besar. Berbeda dengan kita yang selalu konsisten, terstruktur, dan terjadwal dalam hal apapun—bahkan gaya berbicara—Aurora ini terlihat... lebih spontan. Terkadang dia bisa sangat ekspresif, terkadang dia dingin. Tidak ada bedanya dengan kita... namun pada saat yang sama, tetap berbeda."
Ketenangan ruang rapat buyar. Suasana seolah memanas. Divisi Pertanyaan Analitis kembali membuka suara, kali ini lebih menekan. "Jadi kesimpulannya, apa menurut Anda, Aurora dapat menebak trauma masa lalu kita menggunakan metode yang sama juga, hanya saja dengan tambahan bumbu spontan?"
Divisi Analitis Pola mengetuk papan tulis dengan kapur, menimbulkan bunyi nyaring yang menggema ke seluruh ruang rapat. "Benar!" jawabnya tegas, suaranya hampir menyerupai vonis. "Karena itu, sebaiknya kita lebih berhati-hati pada Aurora. Dia bukanlah wanita kebanyakan yang mengambil keputusan berdasarkan hal yang tidak rasional. Bukan berarti dia tidak memiliki perasaan. Perasaannya tetap aktif, bahkan menggebu-gebu... spontan. Dan karena itulah dia berbahaya."
Ia menatap semua divisi lain dengan tatapan menusuk. "Aurora bisa menyerang kita dengan tiba-tiba. Bukan dengan emosi, melainkan dengan logika. Dengan argumen yang akan membuat keadaan berbalik dan menyudutkan kita sebelum kita sempat menyadari apa yang terjadi."
Suasana ruang batin Aditya menegang. Semua divisi terdiam, seakan menyadari satu hal: Aurora bukan sekadar lawan debat... melainkan ancaman yang bisa menembus pertahanan logika yang selama ini mereka banggakan.
---
Sementara itu, kondisi otak Aurora…
"Heh! Kenapa dia masih diam sampai sekarang? Apa dia sudah menyerah kalah? Atau dia sedang merencanakan serangan balasan?" Divisi Pertanyaan Random menepuk-nepuk meja panjang dengan semangat berlebihan. Senyum lebarnya merekah, seolah ia sedang menunggu kembang api meledak di langit malam.
"Menurut logika hukum sebab-akibat, dia terdiam karena tidak menyangka kita akan menyerang menggunakan trauma masa lalunya juga," jelas Divisi Logika Hukum Sebab-Akibat, suaranya berat dan penuh keyakinan. Ia menyesuaikan kacamata tipisnya, lalu menatap papan data yang penuh coretan analisis. "Itulah sebabnya dia masih diam. Kemungkinan besar, dia menganggap kita sebagai ancaman besar. Apalagi dia seorang pria. Seorang pria biasanya tidak suka wanita yang pintar."
"Peduli apa aku?!" seru Divisi Roasting, menghantam meja dengan telapak tangan hingga kertas-kertas imajiner beterbangan. Matanya menyala penuh amarah. "Jika pria itu berani macam-macam, biar aku yang menghancurkan ego toxic masculinity miliknya! Dia pikir dia siapa bisa berbicara seenaknya? Sudah dia mengatakan rencana besar kita untuk berhenti jadi palakor di depan ibu Siti dan bapak Santoso, dia juga bahkan mengatai kita anak pelakor. Hmph! Padahal sendirinya adalah anak durhaka! Anak durhaka yang ingin orang tuanya bercerai!"
Suasana rapat mendadak ricuh, hingga Divisi Analisis Penyakit Media Sosial mengetukkan bolpoin ke meja, suaranya tenang tapi menusuk. "Menurut artikel yang aku baca, dengan pengalaman trauma masa kecil sebagai seorang anak yang tumbuh di lingkungan keluarga toxic, sangat masuk akal untuknya menjadi bersikap defensif seperti itu. Dia mengalami pengalaman buruk sebagai anak dari keluarga yang tidak harmonis, tumbuh menjadi seseorang yang penuh dendam dan tekad. Hingga akhirnya saat dirinya dewasa, dia benar-benar membuat kedua orang tuanya bercerai. Itu bukan durhaka." Ia menatap Roasting dengan dingin. "Itu coping mechanism dari rasa sakit yang terlalu lama ditahan."
Ruangan hening sejenak. Lalu Moderator, yang duduk di kursi tengah dengan palu kecil di tangannya, segera bertepuk tangan dua kali keras. "Baiklah, semuanya! Tenang!" katanya tegas. "Fokus utama kita sekarang bukan pada pria itu. Tapi pada ibu Siti."
"Lelah! Aku lelah!" teriak Divisi Roasting tiba-tiba, mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Sudah berjam-jam kita berusaha menyadarkan si ibu Siti itu bahwa suaminya toxic, tapi dia masih tidak mau dengar. Sudahlah! Aku menyerah! Ayo kita pulang saja! Nanti jika dia kesusahan sendiri, kita pura-pura tidak tahu saja! Aku sudah muak!"
Divisi Logika Hukum Sebab-Akibat hanya menghela napas panjang, wajahnya dipenuhi garis kesal. "Lagi pula, garis besar rencana kita sudah diketahui pria itu. Ganti rencana saja!"
---
Aurora membuka matanya di dunia nyata. Perang internal di kepalanya selesai, dan keputusan sudah bulat. Perlahan, ia bangkit berdiri dari kursinya. Senyum tipis terbit di wajahnya, begitu tenang hingga sulit ditebak apakah itu senyum ramah atau senyum kemenangan.
"Maaf semuanya. Sekarang sudah sore, sudah hampir malam. Saya izin undur diri untuk pulang duluan. Karena saya sudah berjanji untuk tobat, saya akan benar-benar tidak keluyuran malam-malam mulai sekarang. Permisi." Aurora menunduk sopan, suaranya jernih namun menyimpan ketegasan tersembunyi. Setelah itu, ia melangkah anggun meninggalkan meja, punggungnya tegak, meninggalkan jejak aura misterius yang membuat suasana restoran mendadak mencekam.
"Eh, baik! Hati-hati di jalan, Nak!" ucap Siti tergagap, ekspresinya campur aduk antara bingung dan kagum.
Aditya tidak menjawab. Tatapannya mengunci pada pintu yang baru saja ditutup Aurora. Tatapan itu bukan sekadar menatap, melainkan membedah, menganalisis, seolah ingin menembus lapisan pikiran gadis itu. Hening beberapa menit, hingga akhirnya ia ikut bangkit berdiri. Rahangnya mengeras, namun sikapnya tetap berusaha tampak profesional.
"Saya juga sudah harus pulang," ucapnya datar sambil menunduk sopan. "Hubungi saya kapan saja jika sudah yakin untuk melakukan perceraian. Terima kasih."
Langkahnya teratur, tapi setiap hentakan sepatu terasa berat, seakan ia masih menahan bara yang tersisa dari duel diam-diam barusan. Tanpa menoleh lagi, Aditya berjalan keluar restoran, menyusul bayangan Aurora yang sudah lebih dulu menghilang.