NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 Pindah ke Regalsen

“Apakah kamu yang menggambar ini?” Alex menunjukkan selembar kertas pada Daisy.

Kertas itu diberikan oleh gurunya tadi sore — lewat Nic. Guru itu tampak ragu ketika menyerahkannya, lalu berkata kalau gambar Daisy sedikit aneh. Ia takut gambar itu bukan imajinasi, tapi sesuatu yang benar-benar dilihat anak itu.

Nic, yang menerima kertas tersebut, juga merasa gelisah. Gambar itu mirip dengan ciri-ciri sosok yang semalam dilihat Nelly di bawah apartemen mereka. Ia sengaja tidak menceritakan hal ini pada istrinya, tak ingin Nelly makin cemas.

Daisy menatap gambarnya dengan wajah bangga. “Ayah, apakah menurutmu ini bagus?”

Alex mengangguk ringan. “Kau menggambarnya dengan sangat baik. Tapi … bagaimana kamu bisa menggambar ini?”

“Aku hanya menggambar apa yang kulihat di depan apartemen Nelly kemarin malam,” jawab Daisy polos. “Guru menyuruh menggambar apa pun yang kita lihat. Jadi aku menggambar ini karena masih ingat dengan jelas.”

Alex menatapnya lebih dalam. “Kau benar-benar melihat orang ini? Kau sempat melihat wajahnya?”

Daisy menggeleng pelan. “Tidak. Dia berdiri seperti ini saja ….”

Gadis kecil itu menunjuk sosok pada kertas — seseorang dengan jaket hitam dan tudung besar menutupi wajah. Meski gambar anak-anak itu sederhana, cukup jelas untuk membuat bulu kuduk Alex sedikit berdiri. Mirip sekali dengan deskripsi Nic.

“Kenapa, Ayah? Apa aku salah menggambar?” tanya Daisy hati-hati.

“Tidak sama sekali,” jawab Alex cepat, tersenyum kecil agar tidak membuat anaknya takut. “Aku hanya penasaran saja. Sekarang, kau boleh kembali ke kamarmu.”

“Baik, Ayah.” Daisy turun dari pangkuannya dan berlari ke kamar Damien.

Kakaknya sedang berdiri di depan cermin, mengancingkan kemeja putih kecil yang terlalu rapi untuk ukuran anak-anak.

“Kenapa kau berpakaian seperti itu? Apa kau mau pergi, Damien?”

“Tidak,” jawab Damien tanpa menoleh. “Aku hanya melihat Ayah selalu berpakaian seperti ini, dan itu terlihat rapi.”

“Kenapa Ayah memanggilmu?”

Daisy mendekat, duduk di kursi rias. “Ayah memanggilku hanya untuk melihat hasil gambarku di sekolah.”

Dia menatap Damien lewat pantulan cermin. “Kau sendiri? Aku melihatmu menggambar serius tadi. Tapi kau bilang pada guru kalau tugasmu belum selesai. Kenapa? Apa hasilmu jelek sekali sampai kau malu menunjukkannya?”

Damien berhenti sejenak sebelum menjawab pelan, “Mungkin.”

“Kau berbohong!” Daisy mengerucutkan bibir. “Kau tidak pernah lebih buruk dariku, tapi selalu menyembunyikan sesuatu!”

Ia menyipitkan mata, mencoba menebak. “Katakan, apa yang sebenarnya kau gambar?”

“Aku tidak menyelesaikannya.” Damien menatapnya singkat, lalu melangkah ke ruang ganti.

Begitu pintu tertutup, rasa penasaran Daisy memuncak. Ia segera mencari tas Damien di dekat ranjang, membuka ritsleting dengan cepat.

Namun sebelum ia sempat menarik keluar kertas yang disembunyikan di dalam, suara langkah kaki mendekat.

“Daisy!” Damien berdiri di ambang pintu dengan wajah tegas, menarik lembar kertas dari tangannya. “Menggeledah barang orang lain itu tidak sopan.”

“Hei! Aku melihatnya tadi! Kau sudah menyelesaikan gambarmu!” Daisy berseru tak terima.

“Gambarku jelek,” jawab Damien datar, melipat kertas itu menjadi bola kusut.

“Kau menyebalkan!” Daisy mendengus keras, lalu meninggalkan kamar itu sambil menggerutu.

Ia berjalan ke kamar Ibunya, tapi berhenti sebelum mengetuk.

Dari balik pintu yang sedikit terbuka, terdengar suara Ayah dan Ibu berbicara pelan.

Nada mereka serius.

Daisy menahan napas, mencondongkan tubuh, mencoba mendengarkan.

“Jadi Daisy juga melihat orang itu?”

Suara lembut Eve terdengar dari balik pintu kamar yang tak tertutup sempurna.

“Ya,” jawab Alex pelan. “Guru mereka memberikannya pada Nic. Dia belum mengatakan apa pun pada Nelly — takut membuatnya cemas. Sampai sekarang kita belum tahu pasti siapa yang sedang diincar orang itu.”

“Jadi Nelly tidak salah lihat,” ucap Eve perlahan. “Orang itu memang mengawasi mereka saat anak-anak di sana.”

Daisy membekap mulutnya agar tak bersuara. Jantungnya berdebar cepat. Ia melangkah mundur perlahan, lalu berlari kecil kembali ke kamar Damien.

“Damien! Damien …!”

“Aku mendengar.”

“Orang yang aku gambar itu benar-benar ada!” Daisy mendekatinya tergesa. “Dia memang mengawasi apartemen Nelly kemarin malam. Aku benar! Tapi waktu itu kau tidak percaya padaku.”

“Dari mana kau tahu?” Suara Damien terdengar berat — serak, seolah menahan sesuatu.

“Ibu dan Ayah membicarakannya sekarang. Bahkan Nelly juga melihatnya. Sekarang aku tahu kenapa Ayah memanggilku tadi — karena lukisanku!”

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan. Damien tidak menunjukkan respon sama sekali. Sejak tadi hanya berbaring miring memunggunginya.

“Damien, apa kau dengar? Hei, kenapa kau tidur?”

Daisy menaiki ranjang, menunduk ke arah kakaknya. Tubuh Damien membeku — punggungnya kaku, napasnya pendek.

“Damien?”

Wajah anak itu memerah, alisnya mengerut menahan nyeri. Tangannya mencengkeram dada kecilnya kuat-kuat.

“Damien!” Daisy panik, melompat turun, lalu berlari keluar sambil menjerit, “Ayah! Ayah!”

Alex langsung menoleh dari ruang tengah, wajahnya berubah pucat. Eve di belakangnya ikut terkejut mendengar jeritan itu.

“Ayah, Damien!”

Pak Frans yang sedang di dapur ikut berlari keluar.

“Siapkan mobil!” seru Alex cepat.

Tanpa bertanya, Pak Frans segera melesat ke luar. Alex berlari menuju kamar anaknya.

Damien masih terbaring, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Napasnya tersengal berat.

Alex langsung menggendongnya. “Bertahan, Nak ….”

Eve berlari di belakang mereka, menggenggam ponsel dengan tangan gemetar, menelepon Nic.

Alex mengemudi dengan kecepatan gila, matanya fokus ke jalan, rahangnya mengeras menahan kepanikan.

Kata-kata Damien sebelum operasi dulu kembali terngiang di kepalanya— “Ayah, kalau aku tertidur lama … jangan biarkan Ibu menangis, ya?”

Begitu tiba di rumah sakit, Damien segera dibawa ke ruang gawat darurat. Dokter jaga datang, dan beberapa perawat langsung menanganinya sebelum Nic dan Nelly sempat tiba.

Menunggu di depan ruangan itu terasa seperti menunggu dunia runtuh.

Eve duduk dengan wajah tegang, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Napasnya bergetar setiap detik berlalu.

Alex berdiri tak jauh darinya, mondar-mandir, lalu berhenti di depan pintu dengan pandangan kosong. Setiap suara dari dalam membuat tubuhnya menegang.

Daisy duduk di sisi ibunya, terisak pelan tanpa berani bersuara. Pundak kecilnya bergetar.

Eve menunduk, memeluk anaknya erat. “Damien akan baik-baik saja, Sayang. Jangan menangis, ya?” katanya lembut meski suaranya sendiri bergetar.

Alex menunduk, berlutut di depan mereka. Tangannya menghapus air mata di pipi putrinya.

“Kakakmu anak yang kuat,” ujarnya perlahan, menatap mata Daisy dengan tenang yang dipaksakan. “Dia hanya kelelahan. Setelah ini, semuanya akan baik-baik saja.”

Daisy mengangguk cepat, mengusap air matanya sendiri — berusaha percaya pada kata-kata Ayahnya.

Waktu berlalu, hingga akhirnya pintu ruangan itu terbuka.

Nic keluar lebih dulu. Wajahnya datar, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang berat.

“Damien baik-baik saja,” katanya pelan. Itu saja. Namun nada suaranya terdengar seperti usaha untuk menenangkan—bukan sebuah kepastian.

Sampai akhirnya, Nic dan Nelly membawa Alex ke ruangan lain.

Alex segera mendekat. “Apa yang terjadi, Nic?”

Nic menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kondisi Damien memburuk, Alex. Sepertinya selama ini dia menahannya sendiri … menutupi rasa sakitnya dari kalian.”

Nic melanjutkan dengan suara lebih dalam, “Transplantasi jantung memang jadi jalan keluar terbaik, tapi efek pasca-operasi itu berat dan penuh risiko.”

Nelly yang berdiri di sisi Nic menimpali dengan nada lembut, berhati-hati, “Jika terus seperti ini, aku khawatir Damien tidak akan kuat bertahan lama. Kita masih bisa mencoba berbagai pengobatan, tapi prosesnya panjang dan melelahkan.”

Alex mengepalkan tangannya. “Jadi, tidak ada cara lain?”

“Ada,” jawab Nelly cepat. “Biarkan Damien tinggal di Regalsen. Tahun pertama pasca-transplantasi adalah masa paling kritis. Di sana, dia bisa berada di bawah pengawasan dokter-dokter terbaik dan mendapat pemantauan intensif setiap hari. Itu akan sangat membantu.”

Nic mengangguk pelan. “Aku setuju dengan Nelly. Mengirim Damien lebih cepat ke Regalsen adalah keputusan terbaik. Di sana, dia bisa mendapatkan semua fasilitas dan penanganan yang tidak bisa kami lakukan di sini.”

Alex terdiam lama, menunduk. Suara langkah kaki di koridor rumah sakit menggema samar, tapi di telinganya hanya terdengar detak jantungnya sendiri.

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!