Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Api
Api unggun membara di tengah perkemahan Kaelith. Malam itu, seluruh pasukan berkumpul, berteriak, bersorak, dan menunggu tontonan.
Di tanah, sebuah lingkaran luas digambar dengan darah binatang. Sepuluh prajurit pilihan Kaelith berdiri di dalamnya, bersenjata lengkap: tombak, kapak, pedang, rantai berduri.
Darius berdiri seorang diri, tanpa perisai, hanya dengan pedangnya yang mulai tumpul.
Sorakan terdengar:
“Pengkhianat Hale!”
“Bakar dia!”
“Sepuluh lawan satu, biar darahnya jadi api malam ini!”
Kaelith duduk di kursi kayu berukir tengkorak, matanya dingin. “Bertahan hidup, dan kau akan punya tempat di sini. Kalau mati, maka kau hanya abu yang tertiup angin.”
Teriakan perang menggema saat sepuluh prajurit menyerbu.
Darius menggeram, tubuhnya bergerak lebih cepat dari pikirannya. Ia menangkis tombak pertama, memutar, dan menusukkan pedang ke perut penyerang. Darah muncrat, sorakan pecah.
Tapi tak ada waktu. Kapak besar menghantam dari sisi kanan. Darius berjongkok, mendengar angin maut di atas kepala, lalu menebas kaki lawannya. Jeritan mengiris malam.
Tiga prajurit langsung menerjang bersamaan. Pedang Darius menahan satu, bahunya tertembus tombak yang lain. Ia meraung, tapi tidak jatuh. Dengan tenaga putus asa, ia mencabut tombak dari bahunya, lalu menghantamkannya ke wajah musuh.
Darah panas bercampur keringat. Nafasnya mulai berat. Tapi matanya—matanya menyala.
Di tengah kekacauan, Darius mulai merasakan sesuatu. Setiap ayunan pedangnya terasa lebih berat, tapi juga lebih kuat. Setiap tetes darah yang jatuh seolah menyulut bara dalam dadanya.
Bisikan kabut kembali, samar tapi jelas:
“Ini dirimu, Darius… ini api sejati… bukan pedang biru, bukan kerajaan… hanya kekuatanmu sendiri!”
Ia berteriak, menebas rantai berduri yang diarahkan padanya, lalu memutar, menebas dada musuh hingga terbelah.
Sisa prajurit mundur sejenak, ngeri melihat mata Darius yang kini berkilau merah samar, seolah api asing menari di irisnya.
Tinggal tiga prajurit tersisa. Mereka menyerbu bersamaan, mencoba mengakhiri.
Darius menerima serangan pertama dengan bahunya, merasakan dagingnya robek. Tapi ia tidak peduli. Dengan kekuatan yang nyaris gila, ia menghunus pedang lurus ke tenggorokan musuh.
Yang kedua mencoba menusuknya dari belakang—tapi Darius berputar cepat, menebas kepala prajurit itu bersih dari tubuhnya.
Yang terakhir menjerit, mencoba kabur, tapi Darius melempar pedangnya. Senjata itu menembus punggung prajurit, menjatuhkannya ke tanah.
Sunyi. Hanya suara api unggun dan nafas Darius yang tersisa.
Kaelith berdiri dari kursinya. Sorakan pasukan meledak seperti badai.
“DARIUS! DARIUS! DARIUS!”
Darius, berlumuran darah, berjalan perlahan ke arah Kaelith. Tubuhnya goyah, tapi matanya tetap menyala.
Kaelith menepuk tangannya, lalu tertawa keras. “Luar biasa! Sepuluh prajuritku jatuh, dan kau masih berdiri! Mulai malam ini, kau bukan lagi pengkhianat Hale. Kau adalah api liar, dan kau akan menyala bersama kami!”
Ia mengangkat tangan Darius, dan sorakan semakin menggema.
Darius hanya menunduk, wajahnya tak terbaca. Tapi dalam hatinya, bara itu terus membesar. Ia tahu—ini baru awal.
Malam itu, pasukan Kaelith bersorak merayakan kelahiran bara baru dalam lingkaran mereka.
Di Hale, pada saat yang sama, Edrick berlatih tanpa henti, Ashenlight berkilau di tangannya, seolah bersiap menghadapi badai.
Api unggun menjulang tinggi di tengah perkemahan Kaelith. Daging dipanggang, arak mengalir deras, dan sorak-sorai tentara bayaran mengguncang langit malam.
Di antara mereka, nama Darius kini disebut dengan kagum.
“Sepuluh prajurit! Hanya dengan satu pedang!”
“Dia bukan pengkhianat… dia iblis Hale!”
Darius duduk agak terpisah, darah di tubuhnya sudah mengering. Sorak-sorai itu tidak membuatnya tersenyum, tapi juga tidak ia tolak. Ia tahu: inilah awal. Dengan kekuatan, ia bisa menyalakan api yang lebih besar dari sekadar kebencian.
Seorang prajurit perempuan dengan rambut dikepang mendekat. Wajahnya keras, matanya penuh tanya.
“Namaku Selene. Kau mungkin menang malam ini, tapi jangan kira semua akan tunduk padamu. Di sini, kau harus terus membuktikan dirimu, atau kau akan jadi abu esok hari.”
Darius menatapnya sebentar, lalu berkata datar.
“Kalau api ini padam, maka biarkan aku terbakar habis. Tapi selama masih menyala, aku akan berjalan sampai akhir.”
Selene mengangguk tipis. “Kata-kata yang berbahaya. Aku ingin melihat apakah kau bisa membuktikannya.”
Kaelith memanggil Darius ke tendanya. Tangan pria itu masih memegang cangkir arak, tapi matanya tajam, penuh perhitungan.
“Kau membuat pasukanku berteriak namamu. Itu hal yang jarang terjadi. Mereka hanya mengakui kekuatan. Dan malam ini, mereka melihatnya.”
Darius menunduk sedikit, tapi tidak merendah. “Aku tidak mencari pengakuan. Aku mencari tujuan.”
Kaelith tertawa. “Tujuan, ya? Api yang besar butuh kayu bakar. Hale adalah kayu bakar yang sempurna. Kau ingin balas dendam? Aku ingin tahta. Kita bisa berjalan bersama—untuk sementara.”
Darius hanya menatap, lalu menjawab pelan.
“Selama jalan kita menuju ke arah yang sama, aku akan berjalan di sisimu. Tapi jangan salah, Kaelith… aku tidak akan jadi bayangan siapa pun.”
Kaelith menyeringai. “Aku menyukai keberanianmu. Tapi ingat, Darius, api yang terlalu liar bisa menghanguskan dirinya sendiri.”
Sementara itu, di istana Hale, Edrick berdiri di halaman latihan, memimpin barisan prajurit yang akan dibawa ke timur.
Ashenlight menyala di tangannya, dan cahaya biru itu membuat para prajurit menatap dengan campuran kagum dan takut.
Rowan mendekat, wajahnya masih keras setelah pertikaian mereka.
“Kau benar-benar akan membawa pasukanmu ke timur? Kau tahu itu jebakan.”
Edrick mengangguk. “Justru karena itu aku harus pergi. Kalau Kaelith dibiarkan, Hale akan jatuh tanpa perlawanan. Lebih baik kita membakar jalan kita sendiri daripada menunggu api datang menghancurkan.”
Lyra berdiri di belakang mereka, berdoa. Miriel, meski lemah, duduk di kursi roda kayu, menyaksikan dengan mata basah.
“Kau membawa Hale bersamamu, Edrick. Jangan biarkan api itu padam.”
Malam itu, dua api menyala di dua tempat berbeda.
Di timur, api unggun Kaelith menerangi wajah Darius, yang kini mulai menarik pengikut diam-diam, prajurit-prajurit yang terpesona oleh keberanian dan ketegasan dinginnya.
Di barat, obor Hale bersinar di atas menara istana, menyinari Edrick dan pasukannya yang bersiap berangkat.