Di dunia Eldoria, sihir adalah fondasi peradaban. Setiap penyihir dilahirkan dengan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, atau bayangan. Namun, sihir bayangan dianggap kutukan: kekuatan yang hanya membawa kehancuran.
Kael, seorang anak yatim piatu, tiba di Akademi Sihir Eldoria tanpa ingatan jelas tentang masa lalunya. Sejak awal, ia dicap berbeda. Bayangan selalu mengikuti langkahnya, dan bisikan aneh terus bergema di dalam kepalanya. Murid lain menghindarinya, bahkan beberapa guru curiga bahwa ia adalah pertanda bencana.
Satu-satunya yang percaya padanya hanyalah Lyra, gadis dengan sihir cahaya. Bersama-sama, mereka berusaha menyingkap misteri kekuatan Kael. Namun ketika Gong Eldur berdentum dari utara—suara kuno yang konon membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia kegelapan—hidup Kael berubah selamanya.
Dikirim ke Pegunungan Drakthar bersama tiga rekannya, Kael menemukan bahwa dentuman itu membangkitkan Voidspawn, makhluk-makhluk kegelapan yang seharusnya telah lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 – Rahasia yang Tersingkap
Lembah kabut kini hening, hanya tersisa bau tanah basah bercampur jelaga hitam dari sisa-sisa Voidspawn yang terbakar. Angin berembus lirih, seakan membawa bisikan samar dari masa lalu. Rombongan itu duduk beristirahat di bawah tebing batu. Soren membersihkan pedangnya yang masih berasap, sementara Elira mengamati dinding batu besar yang retak di sisi lembah.
“Aneh…” gumam Elira sambil mendekat. Jemarinya menyusuri pola aneh yang terukir samar di permukaan batu. “Ini bukan retakan biasa. Ada tulisan kuno di sini.”
Kael, yang masih terengah dengan tubuh penuh keringat, mendongak. “Tulisan?”
Lyra bangkit, mendekat. Cahaya dari kalungnya menyinari dinding itu. Perlahan, ukiran-ukiran muncul: simbol berbentuk lingkaran besar dengan garis-garis bercabang seperti akar pohon. Di tengah lingkaran itu, ada bentuk menyerupai mata yang setengah tertutup.
“Itu…” suara Lyra tercekat. “Aku pernah melihat lambang ini di kitab kuno. Simbol dari Gerbang Bayangan.”
Elira mengangguk. “Benar. Tapi ada yang lebih. Ini bukan sekadar lambang gerbang, ini semacam catatan. Lihat—” ia mengetuk salah satu ukiran berbentuk tulisan berliku. “Ini bahasa kuno Eldoria. Hanya sedikit orang yang bisa membacanya. Untung aku pernah mempelajarinya di Akademi.”
Soren bersandar ke batu, menghela napas. “Jangan buat kami menunggu, Elira. Apa katanya?”
Elira menyipitkan mata, membisikkan terjemahan sambil mengikuti ukiran dengan jarinya.
“Bayangan tidak pernah lahir, mereka dipanggil. Dari kegelapan purba mereka muncul, dari perjanjian darah mereka mengikat. Hanya satu yang bisa menutup gerbang, dan hanya warisan mereka yang bisa membukanya kembali.”
Keheningan jatuh. Kael merasakan tenggorokannya mengering. “Warisan… mereka?”
Lyra menatap Kael, matanya dipenuhi rasa cemas. “Itu artinya…”
“Bahwa hanya seseorang yang memiliki ikatan dengan bayangan,” lanjut Elira perlahan, “yang bisa membuka atau menutup gerbang itu.”
Semua mata kini tertuju pada Kael.
Kael menunduk, tangannya mengepal. Ia merasakan bisikan Umbra kembali bergaung dalam pikirannya. “Kau tahu itu tentangmu. Kau adalah kunci. Tanpamu, mereka tak akan bebas. Denganmu… kami akan kembali.”
Kael memukul dinding batu itu, membuat retakan kecil. “Kenapa selalu aku?” suaranya parau.
Soren berdiri, menepuk bahunya keras. “Karena kau satu-satunya yang bisa melawan mereka dari dalam. Aku tak peduli kau warisan bayangan atau kutukan apa pun, Kael. Kau bagian dari tim ini.”
Lyra tersenyum tipis, meski matanya berkaca-kaca. “Dan aku percaya kau akan memilih jalanmu sendiri, bukan jalan mereka.”
Kael terdiam, hatinya bergejolak. Ia ingin percaya pada kata-kata mereka, tapi di dalam dirinya, Umbra terus menertawakan semua itu.
Elira kemudian menemukan bagian lain dari ukiran, sedikit tersembunyi di balik lumut. Ia mengusapnya, lalu ternganga. “Ini… peta.”
Mereka semua mendekat. Terukir garis-garis yang menggambarkan pegunungan tinggi, dengan tanda khusus di salah satu puncaknya: Drakthar.
“Pegunungan Drakthar,” gumam Elira. “Konon itu tempat para penyihir kuno menyegel gerbang pertama kali. Jika kita ingin tahu kebenaran, kita harus ke sana.”
Soren mengernyit. “Drakthar? Itu jauh dari sini. Dan jalannya penuh bahaya. Apakah benar-benar perlu?”
“Elira benar,” sahut Lyra tegas. “Jika Voidspawn terus bermunculan, maka gerbang itu mungkin melemah. Kita harus tahu bagaimana cara menutupnya sebelum terlambat.”
Kael menatap simbol itu sekali lagi. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar, seperti tarikan halus yang memanggil. Ia tahu, cepat atau lambat, ia akan berdiri di depan gerbang itu.
Namun sebuah pikiran menakutkan menyelinap: apakah saat itu tiba, ia akan mampu menutup gerbang… atau justru membukanya?
Langit sore perlahan berubah gelap, dan kabut lembah makin pekat. Kael memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi bahkan dalam keheningan itu, suara Umbra tetap terdengar jelas.
“Drakthar menunggumu, Kael. Gerbang itu menunggumu. Dan saat kau berdiri di sana, kau akan tahu siapa dirimu sebenarnya…”
---